Boleh dibilang, Rambat adalah lelaki pengembara yang sangat total mengamalkan pengembaraannya. Tak hanya urusan pekerjaan yang selalu mengembara (karena Rambat bekerja sebagai karyawan perusahaan ekspedisi), urusan petualangan rumah tangga pun Rambat juga suka mengembara. Ia hobi selingkuh dengan istri orang.
Namun, beberapa bulan terakhir ini, kebiasaan selingkuh Rambat benar-benar berhenti total. Sejak mendapatkan ancaman akan dibabat oleh suami selingkuhannya, Rambat memutuskan untuk bertobat. Ia tak lagi doyan klayapan buat mencari binor-binor yang bisa ia ajak sebagai kawan bermain dan belajar.
Kini, ia hanya fokus menyalurkan cinta dan hasratnya pada Dewi, istri tercintanya.
Namun dasar Rambat gendeng, walaupun kebiasaannya selingkuh dengan istri orang sudah berkurang, tetapi entah kenapa, alam bawah sadarnya masih saja mempunyai afeksi dan pengharapan pada istri-istri orang yang pernah ia selingkuhi.
Ini tentu saja menjadi masalah. Sebab, kemunculan pengharapan itu justru kerap hadir saat ia banyak menghabiskan waktu bersama Dewi.
Dalam hati, ia selalu membandingkan Dewi dengan wanita-wanita yang pernah ia selingkuhi. Intinya, Rambat selalu melihat rumput tetangga lebih hijau ketimbang rumput sendiri.
Beberapa kali Rambat kelepasan omongan membandingkan istrinya dengan istri orang lain.
Awalnya, masalah ini tidak terlalu menjadi persoalan bagi Dewi, sebab hal tersebut hanya terjadi pada urusan dasar rumah tangga saja. Misal, Rambat selalu membandingkan kelakuan Dewi yang malas nyalon dengan Ratih istri Pak RT yang memang sangat rajin perawatan ke salon sehingga wajahnya selalu nampak kencang dan cerah. Atau Rambat kerap membandingkan Dewi yang sering cemberut dengan Lastri istri Jono yang setiap hari selalu menebar senyum.
Namun lambat laun, urusan ini menjadi semakin runyam karena Rambat semakin lepas kontrol.
Kali ini, bukan sekadar urusan rumah tangga semata, namun sudah ke urusan seksual. Rambat mulai kumat membandingkan body istrinya dengan body istri orang lain.
Rambat menilai, tubuh istri-istri orang lain yang juga seumuran dengan Dewi banyak yang masih bagus dan seksi. Sedangkan tubuh istrinya sendiri, bagi Rambat, sudah mengalami evolusi-evolusi yang terlalu jauh. Kesemokannya sudah mulai luntur.
“Halah… Nggak usah iyig sama istri orang. Dewi itu kurang cantik apa? Kurang semok apa? Kamu aja yang nggak pernah bersyukur punya istri kaya Dewi sehingga masih saja main serong sama istri orang,” kata Yanto, sahabat karib Rambat saat mereka berdua nongkrong di warung kopi langganan mereka.
“Lha memang kenyataannya begitu kok, si Dewi ini sudah nggak semenarik dulu.”
“Ya kalaupun memang begitu, kamu jangan lantas bilang terus terang sama Dewi soal kekurangan-kekurangan Dewi. Dia bisa sakit hati. Kamu itu jadi suami mbok ya yang peka, pengertian, jangan goblok-goblok banget.”
Tapi yah, dasar Rambat. Walau sudah diberi nasihat oleh Yanto, tetap saja ia ndablek. Ia dengan santainya ceplas-ceplos membandingkan istrinya dengan istri orang lain. Bajingannya lagi, Rambat berani-beraninya bilang hal tersebut saat mereka berdua berhubungan badan.
“Dek, mbok kamu rajin olah raga kayak istri Pak Joko itu lho, biar tetep kenceng dan nggak mlotrok begini,” ujarnya sambil mencumbui Dewi.
Sebagai istri, Dewi memang sesabar-sabarnya perempuan. Dibilang begitu sama Rambat, dia cuek saja tidak hirau dan tetap fokus merem melek menikmati cumbuan-cumbuan yang diberikan Rambat. Maklum, kalau ditanggapi, Dewi takut malah bakal jadi ribut.
Tak puas dengan didiamkan, Rambat nyerocos kembali mengeluarkan kalimat-kalimat perbandingannya.
“Dek, minimal minum jamu atau apa gitu lho, biar tetep kinclong kayak istri Pak Karmin.” kata Rambat.
Dewi masih saja sabar.
Tapi dasar Rambat. Disabari tapi tak tahu disabari. Lagi-lagi dia kembali ceplas-ceplos.
“Dek, mbok kamu itu…”
Kali ini, Dewi hilang kesabaran. Belum habis kalimat Rambat diucapkan, Dewi sudah menyahutinya.
“Mas, Mbok ya kamu itu sekali-kali terapi alternatif, biar burungmu yang minimalis itu bisa besar dan gagah kayak punya Mas Yanto!”