Surat Pembaca

Baca cerita sebelumnya di sini.

Ketika membacanya untuk kali kedua, dia merasa kalimat pertama cerita itu semestinya ditulis “Tidak Ada Kejutan, buat Dea Anugrah”, bukan “Tidak ada kejutan buat Dea Anugrah.” Dia mengoceh dan mengoceh di kolom komentar dan mengakhirinya dengan sebuah pernyataan beracun: “Apa sih editor itu kalau bukan seseorang yang selalu membaca dengan cepat tapi keliru?” Komentar itu hanya tayang 15 menit. Dia mengetik ulang pendapatnya, plus sisipan-sisipan yang lebih mematikan, dan versi itu tayang 3 menit saja.

Kemudian ia mengirimi saya pesan lewat Facebook Messenger. “Mojok.co itu fasis, Bung,” katanya. “Kenapa sih kau dan Sabda masih mau menulis di sana?”

“Bodo amat,” jawab saya.

“Cerita itu sedih, sedih sekali,” katanya lagi. “Aku tahu itu balasan langsung untuk cerita pertamamu dalam seri Berbalas Fiksi, Narator Tahu, tetapi Dia Menunggu,’ yang versi awalnya berjudul ‘Kucing dan Manusia’, dan hampir sama sedihnya. Dari perspektif tertentu, ‘Tidak Ada Kejutan’ bahkan lebih sedih,” katanya.

“Aku tidak kenal kau dan perbuatanmu ini menjengkelkan,” kata saya.

Kedua cerita itu, katanya, berbicara tentang ketakutan terbesarnya. “Dan itu wajar sebab aku pembacamu. Kita terhubung. Akulah pembaca yang selalu kau bayangkan. Pembaca deluxe, kan, istilahmu? Kita berjumpa dalam keadaan terbenam setinggi dada di rawa-rawa kesusastraan,” katanya.

Saya mengetik “Apa-apaan, Anjing?” tetapi menunda mengirimkannya.

“Maafkan kelancanganku, tapi biar kuingatkan, kalian sudah mengambil jalur yang berbahaya. Mungkin, sangat mungkin, tak ada jalan kembali. Hemingway, Rigaut, Celan… kau tahulah maksudku. Kalian tak menulis, kalian menjerit. Kalian butuh bantuan, seperti aku butuh bantuan, tapi memangnya siapa sih yang bisa membantu kita? Hehehe.”

Saya menghapus “Anjing” dan memutuskan untuk menunggu

“Coba beri tahu aku hal paling menyedihkan dalam hidupmu,” katanya, “Jangan takut. Aku bisa membantu. Tapi yang benar-benar terjadi, lho.”

Saya mengingat-ingat masa kecil saya.

Saya berpikir tentang hari-hari di Jogja ketika saya sering kelaparan dan ketakutan akan berakhir seperti gondrong-gondrong kapiran di Taman Budaya Yogyakarta atau Taman Ismail Marzuki.

Saya terkenang saat saya melihat seorang tunawisma ditabrak mobil di Mexico City. Botol yang dibawanya terpelanting jauh sekali. Saya memungut botol itu dan meletakkannya, tegak, di atas trotoar, tepat di samping mayatnya yang sudah ditutupi seseorang dengan sehelai koran.

Saya merenung-renungkan kembali beberapa hal yang takkan saya katakan di sini.

“Yang PALING menyedihkan,” katanya.

“Cukup, Anjing,” kata saya.

Saya menutup peramban dan mematikan komputer, lalu berbaring. Mata saya terasa berat. Sebelum jatuh terlelap, saya berpikir tentang seekor gorila yang tadi pagi didapati gantung diri di Ragunan, dan seterusnya, dan seterusnya.

Ponsel saya berbunyi.

Saya memutuskan untuk mengabaikannya.

Saya tak habis pikir kenapa ada penulis-penulis yang berharap mendapatkan pembaca baru sebanyak-banyaknya.

Baca cerita berikutnya di sini.

Exit mobile version