Baca cerita sebelumnya di sini.
Non bene pro toto libertas venditur auro. Kalimat ini tertulis di kumpulan fabel dari Abad Pertengahan, dan sampai hari ini memang, saya kira, belum ada sesuatu yang seharga kebebasan. Meski begitu, ada beberapa manusia yang berpikir sebaliknya. Bagi manusia jenis ini, kebebasan tak ada artinya dibanding kemasyhuran.
Robert Johnson sadar bahwa ia tak sanggup bermain gitar dengan benar, jadi ia menyerahkan masalah gitar kepada yang lebih ahli: setan. Seperti yang sudah kita ketahui bersama, Tuhan bilang setan adalah musuh manusia, tetapi Tuhan yang sama juga bilang, “Ego autem dico vobis: diligite inimicos vestros.” Robert Johnson hanya melakukan perintah tuhan. Ia memperbaiki hubungannya dengan musuhnya, menukarkan kebebasan yang ia miliki dengan keahlian setan bermain gitar. Johnson mendapat kemahsyuran, setan mendapat medium untuk menyalurkan hobi. Cukup adil.
ABR, orang yang diceritakan Dea pada cerita sebelumnya, juga melakukan hal yang kurang lebih sama. Pada suatu siang, ABR menciptakan kesempatan untuk menceritakan dirinya sendiri–salah satu kekuatan super ABR, seperti Wolferine memiliki kuku cadangan atau Spiderman memiliki ingus yang keluar dari nadinya untuk banyak keperluan–dan kami, mau tak mau, mencari cara untuk menikmati kesempatan yang ia berikan dengan sebaik-baiknya. Ia menceritakan potongan hidupnya saat menjadi siswa Seminari Mertoyudan sampai ia kemudian menjual kebebasan dan mencintai musuhnya. ABR memusuhi buku-buku, baginya buku-buku tak ubahnya gergasi yang siap memakannya tanpa dikunyah.
Ia memang mengoleksi banyak buku, tetapi tak satu pun dibaca sampai selesai. Ia hanya suka membaca kalimat-kalimat pujian di sampul buku. Kadang, kalau tak ada yang bisa dilakukan lagi, ia membaca buku dan akan berhenti tiap kali menemukan kalimat yang membuatnya merasa terhubung, kemudian ia mencatat kalimat itu di buku lain, yang kemudian ia keluarkan kapan pun diperlukan, dengan atau tanpa konteks. ABR hidup bersama kutipan-kutipan selama bertahun-tahun yang membuat ia seperti Goodreads berjalan.
Namun, seperti yang diceritakan Dea, semua berubah sejak membaca karya-karya AH. “AH tidak menulis karya sastra,” katanya, “AH menulis kebenaran. Sejak menyadari hal itu aku jadi menjual kebebasanku dan berteman dengan musuhku: buku. Aku jadi tahu bahwa media sosial ternyata bisa digunakan untuk menyebarkan kisah-kisahku secara lebih efektif, dan merengkuh pasar baru. Anak-anak zaman sekarang (ia menerjemahkan kata ‘sekarang’ ke dalam bahasa Inggris, suatu frasa yang sebaiknya musnah, tetapi ia menggunakannya agar tetap terlihat seperti sedang hidup pada saat ini, pada era ini, pada tahun yang benar) perlu tahu bagaimana cara kreatif untuk bertahan hidup.”
Pembaca yang Baik, yang perlu Anda ketahui, bukan cuma ABR yang menjual kebebasannya kepada AH.
Pada 1969, area Kensington di London adalah tempat para pemuja kebebasan menghabiskan waktu. Mercury dan Roger Taylor memiliki kios sepatu di sana. Keduanya kedatangan tamu, Bowie, dan Mercury tahu sepatu seperti apa yang cocok di kaki orang itu. Bowie menitipkan buku yang dikempit seharian kepada Mercury agar ia lebih leluasa mematut-matut diri dengan sepatu barunya. Bahasa Swahili di bagian sampul membuat Mercury tidak bisa tidak memperhatikan buku itu. Buku itu berjudul 24 Jam ke Langit Ketujuh: Kumpulan Kisah Suri Tauladan, penulisnya bernama Arthur Harahap. Mercury tidak akrab dengan nama belakangnya, tetapi nama depan orang itu membuatnya menduga barangkali penulisnya keturunan orang kulit putih yang tinggal di suatu negara jajahan Inggris di Afrika.
Bowie terpesona dengan rasa ingin tahu si penjaga kios tentang buku itu. Ia akhirnya meminjamkan buku itu, dengan catatan ia harus mengembalikannya dalam keadaan tanpa satu halaman pun terlipat. Mercury menyanggupinya. Proses pengembalian buku itu disepakati hampir sepuluh tahun kemudian setelah Mercury tumbuh menjadi penyanyi yang sukses secara komersial, sementara Bowie menjadi penyanyi yang sukses di kalangan kritikus. Swis adalah negara yang cocok untuk bertukar cerita mengenai pengalaman keduanya, dan terutama bagaimana sebuah buku berhasil mengubah nasib keduanya.
Di dunia di mana banyak kota besar berlomba-lomba menjadi kota yang tak pernah tidur, menjadi kota yang selalu tidur adalah kemewahan tersendiri. Pada akhir 70-an, Montreux adalah kota yang memiliki kemewahan itu. Kota itu seperti orang yang kena sleep apnea atau gejala depresi. Atas alasan itulah Brian May, Roger Taylor, dan John Deacon menyetujui ide Mercury untuk membeli studio di sana. Mercury tentu punya alasan lain, yang terjawab beberapa hari kemudian saat Bowie muncul di studio mereka.
Deacy bermain-main dengan senar bas, May kemudian mengisi permainan bas itu dengan gitar. Semua tercipta hampir sepenuhnya spontan, kecuali bagi Mercury dan Bowie.
Anggota Queen lain sepakat untuk beristirahat, hari telah larut dan saatnya melakukan hal lain. Bowie memaksa mereka tetap di studio. Mark Blake kemudian menceritakan apa yang terjadi setelahnya dalam buku berjudul Is This the Real Life? The Untold Story of Queen. Di dalam suasana penuh daya cipta, dan kokain, semua orang bergembira. Seperti sedang melepaskan belenggu; menatap kebebasan berekpresi di depan mereka dan mereka siap memetiknya. Hal ini, menurut May, dibuktikan saat Mercury mulai meracau, menciptakan rangkaian scat yang kemudian disepakati diletakkan di muka lagu, untuk mengisi rangkaian bas yang enerjik dan petikan gitar dan sentuhan piano yang genit, sebelum gebukan drum. Racauan itu juga diucapkan Mercury di tengah lagu, racauan itu niscaya akan mengisi nyaris seluruh lagu seandainya produser mereka tak menyadarinya.
Anggota lain mengira racauan Mercury tak berarti apa-apa, tetapi tidak bagi Mercury dan Bowie. Sebuah kalimat pujian bagi buku dan penulis yang mengubah jalan hidup mereka, sebuah nama yang kemudian tak dikenali siapa pun, yang memberi air bagi mereka yang haus dan memberi api bagi mereka yang ingin membakar sesuatu. Ia yang tak perlu disebut namanya, tetapi memberikan segalanya, meski tidak gratis. Orang yang muncul dalam salah satu adegan di novel Looking for Mr. Goodbar karangan Judith Rossner.
Tak ada yang seharga dengan kebebasan, kecuali jika kebebasan sejak semula memang tak ada.