Baca cerita sebelumnya di sini.
Hati Larasati berkali-kali patah oleh banyak hal. Tak hanya perkara lelaki, semesta seolah berkomplot untuk membuat kemalangan bagi dirinya. Jika konon cinta pertama seorang anak perempuan adalah bapaknya, tidak demikian bagi Larasati. Cinta macam apa yang bisa seorang parasit berikan pada anaknya?
“Punya anak sudah besar, tapi tidak berguna. Bisa kasih apa kamu untuk bapakmu ini?”
Itulah yang berkali-kali Darman ucapkan ketika meminta uang pada Larasati, namun tak diberi. Kalimat itu menorehkan luka sangat dalam di hatinya. Ingin rasanya menghitung-hitung apa yang sudah ia lakukan pada ibu dan adiknya, sedangkan seharusnya itu adalah tugas bapaknya.
“Seandainya wajahmu cantik, kamu bisa cari suami kaya, dan kita bisa menumpang hidup padanya. Lihat dirimu. Buruk begitu!”
Satu lagi kalimat yang mengoyak hati, meruntuhkan rasa percaya diri, dan mengurung benak Larasati dalam sebuah ruang gelap tak berpintu. Larasati seharusnya tumbuh mekar layaknya gadis seusianya. Namun, Darman selalu memupus setiap tunas yang seharusnya tumbuh.
***
Ketika selesai sekolah, Larasati bergabung dengan ribuan kawannya yang langsung mencari kerja. Tak ada harapan baginya untuk melanjutkan kuliah. Cukup sudah gerutu orangtuanya ia dengar tiap kali rupa-rupa biaya diminta untuk urusan sekolah.
Bekerja pun Larasati tak punya banyak pilihan. Ia selalu menghindari pekerjaan yang meminta syarat “berpenampilan menarik”. Percaya dirinya sudah tandas habis digerus umpatan bapaknya sendiri.
Ibunya pun tak beda. Meski tak sebrutal bapaknya, ibunya tak pernah sekali pun memuji. Seolah dirinya adalah petaka bagi keluarga itu.
Pekerjaan yang bisa Larasati lakoni selama ini hampir seluruhnya adalah kerja fisik yang tak banyak memerlukan otak untuk berpikir. Mungkin, ia bahkan bisa bekerja sambil terpejam. Kerja robot.
Meski begitu, hatinya masih tetap hidup. Ia masih merasa nyeri saat dimaki, tapi masih bisa bahagia saat seorang sahabat semacam Nurin mau mendengarkan apa saja yang ia ceritakan.
“Kalau kamu cantik, maka separuh persoalan hidupmu akan teratasi,” celoteh Larasati di sela-sela gerakan tangannya yang cekatan mengemas makanan.
“Baca di Instagram siapa, tuh?” sahut Nurin tanpa menoleh padanya, bahkan tanpa menghentikan tangannya yang melakukan pekerjaan serupa dengan Larasati.
Larasati tergelak di balik maskernya. Nurin bukan gadis yang amat cantik, namun jelas ia berpenampilan jauh lebih baik dari Larasati. Setiap kali Nurin curhat tentang apa pun, Larasati akan menanggapinya dengan kutipan-kutipan yang ia ambil dari internet.
Mereka sama-sama gadis yang dikejar kepanikan menghadapi kemiskinan. Mereka bekerja dengan hasil yang tak pernah tersisa untuk memanjakan diri sendiri. Bedanya, keadaan Nurin demikian karena ketiadaan bapak dan kondisi ibu yang sakit-sakitan. Jadi, meskipun uangnya tak pernah tersisa di akhir bulan, Nurin selalu bisa tersenyum karena ibu dan adik-adiknya berterima kasih kepadanya, sedangkan Larasati selalu merasa uangnya habis untuk hal-hal yang seharusnya bukan tanggung jawabnya.
“Kamu tahu, hal apa lagi yang bisa menyelesaikan separuh persoalan hidupmu?” tanya Nurin.
“Hmm…” Larasati mengedikkan bahu.
“Menikah.”
“Yaaa…”
“Jadi kalau mau cantik, kemudian menikah, maka hidupmu tak akan pernah lagi punya persoalan. Selesai sudah semuanya.”
”Masalahnya, hal pertama saja aku tak punya, lalu hal kedua sangat tergantung pada yang pertama. Jadi, oke, fix. Persoalan dalam hidupku akan abadi.”
“Halooo… di sini juga ada yang bernasib serupa.”
Nurin melambai-lambai seolah Larasati berada jauh darinya. Mereka berdua tergelak menertawakan diri sendiri.
***
Sebenarnya ia malas sekali bangun pagi ini. Semalam ia tidur larut karena menonton film di YouTube. Tak ada alasan baginya untuk buru-buru bangun karena ia libur kerja dan rasanya tak perlu baginya melakukan apa pun di rumah ini. Semua sudah terbiasa mengurus diri sendiri.
Keluaga ini tak terbiasa bercakap dan bercengkerama. Setiap interaksi selalu singkat dan tanpa isi. Panjang sedikit saja akan berubah menjadi pertengkaran dan caci maki yang semakin meruntuhkan ikatan emosi.
Namun, ketukan kasar di pintu depan memaksanya bangun dan beranjak. Ia mendengar suara lebih dari satu orang berseru memanggil nama ibunya sambil terus menggedor. Pintu kayu itu tak cukup kokoh untuk bertahan jika orang-orang itu terus melakukan hal demikian.
Hati-hati, diputarnya anak kunci. Belum sempat ia putar pegangannya, daun pintu sudah mengayun dengan sangat keras, terdorong dari luar.
“Ojo ndelik, Tri! Bayaren utangmu!”
Salah seorang yang datang tadi berteriak tanpa basa-basi. Ia merangsek masuk ke dalam rumah sambil menyibak-nyibak gorden di setiap pintu. Tapi rupanya yang dicarinya memang tak ada di rumah. Orang itu hanya menjumpai tumpukan cucian, serakan benda remeh, dan debu-debu yang meliputinya.
“Ibu tidak di rumah, Pak. Pergi mindring,” ucap Larasati sambil berjalan mengikuti orang itu sampai ke pintu belakang.
“Bilang ibumu supaya bayar utangnya. Sudah tak ada ampun lagi ini!” Keras nian lelaki paruh baya itu menghardik,
Satu orang lainnya yang ikut mendorong pintu tadi diam saja di ruang depan. Ia hanya bersedekap dan berdiri tegak dengan kuda-kuda mantap. Badannya yang sebesar lemari menghalangi pandangan Larasati ke halaman, tapi ia tahu beberapa tetangga melongok ke rumahnya. Sialan!
Para tetangga seperti mendapat tontonan menarik pengganti sinetron. Mereka adalah para tetangga yang biasanya menghindar bertemu Darman dan Gayatri. Pasalnya, bertemu dan bercakap dengan dua orang itu artinya harus siap mengutangi sesuatu.
Larasati gusar sekali menghadapi dua orang yang merepet omelan yang sebenarnya ditujukan pada Gayatri. Gadis itu sampai kesulitan menarik napas saking sesaknya dada menahan emosi.
“Waktu utang saja ibumu mendekatiku, memuji dengan kata-kata hebat sekali. Tidak dicari pun ia akan datang sendiri. Giliran waktunya bayar, hilang laksana ditelan bumi. Bilang ibumu, aku tak sungkan mengambil apa saja di rumah ini jika ia masih menghindar,” hardik lelaki itu.
Larasati mengkerut. Ia cemas melihat motornya—motor kreditan yang menjadi penyambung kakinya tiap hari. Jangan sampai ia mengambil satu-satunya yang dimilikinya.
Lelaki yang matanya masih berapi itu menatap tajam ke arah Larasati, dari kepala ke kaki. Larasati kikuk dan sangat risih. Ia hanya mengenakan pakaian tidur tipis. Perutnya mual mendadak.
“Anaknya buruk rupa begini. Coba kalau cantik, tak bakal rugi aku mengutangi perempuan itu berapa pun!”
Dua orang tamu itu beranjak pergi. Larasati membanting pintu kuat-kuat, lalu melesat ke kamar mandi. Ia muntah-muntah tak keruan. Kepalanya berputar, perutnya teraduk. Ia teringat percakapannya dengan Nurin tempo hari tentang apa yang bisa menyelesaikan separuh persoalan hidupnya.
Larasati muntah lagi.
Ia sendiri yang bilang pada Nurin bahwa kecantikan bisa menyelesaikan separuh persoalan hidupnya. Lalu separuhnya lagi, Nurin yang menyambung, akan selesai dengan menikah. Tapi pagi ini ia menemui hal yang berbeda. Justru karena ia buruk rupa, ia bisa terhindar dari masalah yang sangat mungkin timbul akibat utang-utang orang tuanya.
Karena buruk rupa, ia tak perlu melibatkan diri dalam keruwetan hidup Gayatri dan Darman.
Baca cerita berikutnya di sini.