Saat pertama ke rimba, Oktober 1999, aku datang dengan romantisme petualangan sebagai anggota kelompok pecinta alam di kampus. Membayangkan hutan rimba yang indah dan orang-orang yang hidup harmonis di tengah alam. Kenyataan sesungguhnya ternyata berbeda dari yang aku bayangkan, meskipun juga tidak buruk. Hanya berbeda.
Dan ini sempat mengundang komentar-komentar pongah menari-nari di kepalaku yang mengaku antropolog ini, “Ih, kok mau tinggal di hutan,” atau “Hutan kok banyak lalat,” lalu “Kok nggak pakai baju … kok nggak malu, sih.”
Untunglah aku tinggal beberapa minggu di sana, lalu beberapa bulan hingga akhirnya beberapa tahun. Semakin hari, semakin aku merasa bodoh, semakin aku melihat apa yang mereka lakukan sangat masuk akal.
Di bulan pertamaku di rimba, aku sudah meralat semua sebutan itu. Menuduh telanjang, karena cuma pakai cawat, misalnya. Sementara aku yang merasa keren dengan celana cargo penuh kantong harus menanggung susah karenanya. Saat menyusur sungai yang airnya cukup tinggi, kantong-kantong celanaku itu dipenuhi air dan lumpur sehingga memberatkan perjalananku kemudian. Saat menghindari kejaran beruang, aku berlari dan memanjat pohon dengan susah payah, pakaianku tersangkut pula di duri semak.
Pada akhirnya aku harus mengakui bahwa cawat itu teknologi yang sudah teruji beratus tahun fungsi dan bahkan estetikanya menurut kaidah nilai lokal. Satu pelajaran yang aku dapat, seharusnya di awal kedatangan, aku bertanya-tanya dahulu, “Kenapa orang di sini pakai cawat?” dan kemudian bisa sibuk mencari jawabnya, bukannya langsung bilang, “Pakai cawat sama saja telanjang, primitif amat!”
Itu baru soal pakaian. Hari-hari selanjutnya adalah tamparan demi tamparan yang meruntuhkan persepsi awalku.
Mundur ke tahun 1993, perkenalan pertamaku dengan bumi Papua yang kemudian menjadi pelajaran penting dalam hidupku bersama masyarakat adat. Saat itu aku ditampar oleh perjalanan sombong melakukan pendakian ke Jayawijaya. Perjalanan mendaki Puncak Trikora melalui Wamena, ditempuh selama sembilan hari perjalanan yang penuh debar.
Pengalaman paling mencekam justru saat aku melihat dengan mataku sendiri bagaimana sepasang kekasih berlari ketakutan tanpa sempat membawa perbekalan. Saat itu hari sudah mulai senja dan kabut sudah memenuhi pandangan. Beberapa jam kemudian, di belakangnya, segerombolan orang mengejar, lengkap dengan berbagai senjata, panah, tombak, parang. Mereka sempat bercakap-cakap dengan guide dan porter kami, terlihat sekali penuh kemarahan. Setelah mereka pergi, baru ceritanya dijelaskan padaku. Konon perempuan tadi adalah salah satu istri kepala suku yang kabur bersama kekasihnya.
Aku tertegun panjang, berpikir mengapa begini, mengapa begitu? Aku yang saat itu baru mahasiswa semester empat di jurusan antropologi, berusaha keras memahami tradisi suatu komunitas—dalam hal ini membunuh perempuan dan kekasih gelapnya.
Papua, yang alam dan manusianya kuimpikan sejak kecil memang datang memberiku pengalaman dahsyat. Aku tidak tahu apa yang kemudian terjadi kepada pasangan tersebut.
Sepanjang malam aku membayangkan perasaan mereka dan memikirkan cerita orang tentang angka bunuh diri perempuan yang tinggi di kawasan Jayawijaya. Sempat aku menyeberangi jembatan akar, di bawahnya sungai berarus ganas penuh bebatuan terjal.
Pemanduku bilang, sungai itu sering menjadi tujuan bunuh diri para perempuan.
***
Mari kembali ke soal cara pandang: Saat kita datang ke suatu tempat kemudian di detik pertama kita langsung menerjemahkan pengalaman kasat mata dengan bergumam “kasihan”, “liar”, “miskin”, “bodoh”, “kotor”, “telanjang”, dan sebagainya, sebenarnya kita sedang melakukan kejahatan karena seolah kita berkata pada mereka bahwa diri kita “lebih bahagia”, “beradab”, “kaya”, “pintar”, “bersih”, dan “sopan”. Berlaku juga ketika kita datang dengan niat untuk membantu.
Setulus apapun bantuan kita, tapi pikiran-pikiran seperti itu berbahaya jika kita belum tahu betul situasi sebenarnya di lapangan. Pikiran kita akan mewarnai bantuan atau program yang akan diberikan. Jika sebuah program atau bantuan didasarkan pada persepsi sepihak, yang terjadi adalah penaklukan karena kita memaksakan kepada mereka untuk memakai ukuran-ukuran kita. Hati-hati, niat baik saja tidak cukup!
Di Jambi, aku melihat bagaimana rumah-rumah bantuan untuk Orang Rimba ditinggalkan. Bahkan atapnya dijual dan dinding kayunya dijadikan kayu bakar. Proyek itu, selain memberi sepetak rumah, juga sepetak kebun, jatah makan dan uang selama satu-dua tahun pertama.
Mengapa proyek-proyek perumahan beserta paket-paketnya ini sering gagal? Ya karena si pembawa program sudah gagal memahami sejak awal.
Tragisnya, setelah gagal, yang sering disalahkan adalah komunitas. Mereka menganggap komunitas itu boros, malas, tidak bisa menabung. Padahal, kalau mereka tidak sok tahu dan lebih banyak bertanya, mereka akan memahami bahwa kepercayaan terhadap dewa yang diyakini memberi rejeki berbeda setiap hari dan keyakinan bahwa jika mereka selalu merawat alam maka alam akan selalu memanjakan mereka, menumbuhkan segala sesuatu yang bisa dimakan dan mengantarkan binatang buruan ke hadapan mereka, maka seharusnya sangat mudah dimengerti: cara hidup subsistenlah yang terjadi.
Mereka merasa tidak harus mengolah tanah, tidak harus menabung, karena apa yang didapat hari ini adalah untuk hari ini. Rezeki esok akan diberikan besok. Jadi tidak akan mengambil melebihi kebutuhannya. Kebiasaan ini sering dipandang merugikan oleh orang kota, padahal kalau dilihat dalam konteks lokal, itu adalah kekuatan besar yang memastikan alam mereka senantiasa terjaga selama ini.
Aku ingat, Pastor dan antropolog Vins yang sudah melayani selama lebih dari 40 tahun di distrik Sawaerma, Asmat, bercerita, “Secara empirik, arti kata “miskin” (dan kaya) sendiri baru dikenal orang Asmat saat pertemuannya dengan dunia luar.” Menurut beliau, orang di sana dulu tak pernah menggunakan kata itu. Ya, semua orang keadaannya sama, dan tak ada dunia luar yang datang mencecar dengan pembandingan skala metropolitan. Sekarang mereka sering menyebut kata itu, lebih sering digunakan untuk menyebut diri mereka sendiri miskin, sifatnya politis untuk menggambarkan ketidakberdayaan secara material.
Begitu banyak bantuan dana dan program selalu dikait-kaitkan dengan kata ini. “Bantuan datang sebabnya adalah karena kita miskin,” begitu kata mereka.
Kata “kaya” maupun “miskin” adalah label baru yang kita bawa saat mendatangi komunitas yang berbeda. Seolah-olah kita datang dengan membawa stempel “miskin” yang disematkan di jidat masing-masing orang di sana hanya karena kekayaan alam dan budaya setempat, menurut manusia kota pada umumnya tidak termasuk dalam kategori kekayaan—bisa jadi karena kita yang di kota tidak memiliki kedua hal berharga itu.
GDP hanya menghitung pendapatan finansial per kepala dalam satu tahun saja, tidak pernah dikurangi atau sekadar dikaitkan dengan berapa keanekaragaman hayati baik tumbuhan maupun hewan yang berkurang setiap tahun, bahasa lokal yang hilang, serta kekayaan budaya lain seperti tari-tarian, benda seni dan pusaka, pengetahuan obat-obatan tradisional, mantra, atau cerita rakyat yang berkurang. Modal sosial (social capital) komunitas tidak pernah dihitung dan divalidasi nilainya. Padahal jumlahnya sangat banyak dan istimewa sehingga tidak bisa dibandingkan dengan nilai uang. Buat apa GDP naik 100% kalau semua hal diatas, yang adalah modal besar, hilang semua?
Secara garis besar, aku melihat dua macam proses “pemiskinan” terjadi di Papua. Keduanya sama-sama mengingkari HAM dalam hal ini masyarakat adat di sana. Pertama adalah pemiskinan sumber daya alam di Papua. Ini sudah lagu lama dan kita semua tahu, kuncinya adalah hukum, peraturan yang seharusnya berpihak kepada masyarakat dan pemerintahan yang bersih.
Apa daya, itu di luar kuasa kita rakyat jelata.
Nah, yang kebanyakan belum orang sadari adalah yang kedua, yaitu pemiskinan dalam konteks kultural. Ini tak terlihat bercela karena kebanyakan datang lewat proyek “mulia” berupa bantuan atau proyek-proyek “pembangunan” yang tidak sensitif terhadap budaya setempat. Pemiskinan jenis kedua ini bisa berakibat lebih fatal karena kerugiannya tak ternilai dan irreversible (kondisinya tak bisa dikembalikan lagi seperti semula). Potensi pembawanya ada dalam berbagai program yang diusung negara atau pihak-pihak yang merasa datang “membantu”, termasuk pendidikan, proyek konservasi, misionaris, atau masuknya sistem pasar yang mengenalkan konsep ekonomi uang.
Di titik inilah dimulai penilaian berdasarkan berapa banyak uang/materi yang ia miliki, sehingga seseorang akan dapat disebut miskin ataukah kaya.
Ini masalah persepsi, perbedaan cara pandang. Sepele, tapi fatal. Cara pandang ini pula yang seharusnya bertanggung jawab atas hilangnya banyak kekuatan (bukan sekedar kekayaan) budaya di Papua.
Adat-istiadat dari suatu komunitas itu bersifat khas dan telah dibangun, disepakati memberi manfaat, serta dijunjung tinggi oleh pemiliknya selama ini. Adat bergerak dinamis, mengalami penyesuaian ataupun perubahan seiring waktu, namun tetap berdasarkan kesepakatan. Tak seorang pun punya hak berkata bahwa tradisi X atau ambil contoh tradisi membunuh pasangan gelap misalnya, adalah buruk.
Semakin tradisi sebuah komunitas itu berbeda dengan tradisi yang kita miliki, semakin sulitlah tradisi itu kita terima, bukan? Bagaimana dengan universalitas nilai-nilai ataupun HAM? Ada perang suku, kanibalisme, incest, pernikahan bawah umur, dan lain-lain. Bukankah ada pihak-pihak yang terzalimi? Ada orang yang dirampas hak asasinya? Ini pun tetap saja bisa subyektif. Misalnya, ada adat orang eskimo yang menunjukkan kasih sayang kepada orang tuanya yang sudah sangat renta dengan cara menidurkan mereka (hingga meninggal) di luar rumah saat hari bersalju besar.
Di komunitas Orang Rimba 18 tahun lalu, saat aku datang, baca tulis dianggap tabu, dianggap petaka buat adat karena sudah sering sekali mereka ditipu oleh tulisan yang tidak mereka pahami. Tapi seorang anak bernama Gentar mendobrak tradisi itu. Ia percaya ilmu baca tulis akan bisa berguna untuk komunitasnya. Ini mirip dengan tradisi perempuan Jawa zaman Kartini yang tidak boleh sekolah dan bahwa perempuan hanya dipersiapkan kecakapannya untuk menunggu dipinang oleh laki-laki.
Aku pikir, dari manapun datangnya, kebudayaan itu dinamis, bergerak, berubah, sesuai dengan dinamika kelompok penganutnya. Dan dengan dialog positif, kita bisa mencari tahu lebih dalam, apa sejarah, makna, dan tujuan suatu tradisi. Nilai apa yang terkandung pada suatu tindakan tersebut.
Di buku Yang Menyublim di Sela Hujan, Fawaz menceritakan bagaimana tradisi kanibalisme yang dulu dilakukan Orang Asmat, kini “dialihkan” sehingga bagi mereka kanibalisme terasa masih dilakukan, sementara di mata orang luar itu sudah tidak dilakukan lagi. Ini bukan sekedar soal baik buruk, karena baik buruk menurut orang luar tidak sama dengan baik buruk Orang Asmat menilainya. Meninggalkan kanibalisme berarti menggusur keyakinan mereka akan kedamaian roh orang yang baru meninggal, termasuk roh nenek moyang, keyakinan bahwa mereka yang sudah mati akan menuju safar (surga) dengan tenang. Keyakinan penting ini yang membuat tidak mudah untuk menghapus sebuah tradisi kecuali ada pendekatan lain yang dapat mereka terima. Pendekatan yang tidak meninggalkan tujuan dan keyakinan tradisi ini, hanya caranya saja yang berbeda.
Ada cerita menarik lain pada pendakianku di tahun 1993 tadi. Dalam perjalanan itu, kami sempat menumpang tidur di honai milik penduduk di perkampungan sekitar danau Habema. Di honai, semua orang tidur di atas tanah, mengeliling api unggun, ada yang sambil memeluk anaknya, ada juga yang sambil memeluk babi peliharaannya. Aku tidur di atas matras karetku.
Tiba-tiba ada benda yang kurasakan mendarat di hidungku. Setengah sadar, aku menepis dan melempar kesal benda yang saat itu aku pikir sebuah kayu bakar yang jatuh dari atas, saking keras dan beratnya. Pagi harinya baru aku menyadari kalau tidak ada kayu bakar di atas kepalaku, dan segera kusimpulkan kalau benda itu adalah kaki dan selanjutnya aku tak berhenti mengagumi jejari kaki mereka. Telapak kaki tebal dan kuat, tidak ada jari yang berdempetan satu sama lain, semua mencuat, seperti sesisir pisang yang berlarian ke segala arah. Saking aku kagum, sampai-sampai aku meminta ijin untuk memegang telapak dan jari-jari kaki porter perempuan pendampingku selama pendakian. Keras seperti batu!
Pagi itu dengan sebal aku memakaikan kaos kaki dan sepatu kepada telapak kakiku yang ringkih.
Belasan tahun kemudian, saat aku mendengar ada proyek “penyepatuan” di satu desa di Papua, aku teringat kaki-kaki perkasa itu, yang menendang hidungku, dan dapat kurasakan bagaimana duri-duri akan hancur diinjak dalam perjalanan mereka menembus hutan untuk memangkur sagu. Konon, mereka kemudian menuntut donator sepatu karena setelah memakai sepatu selama empat tahun, dan setelah sepatu mereka hancur tak bisa dipakai lagi, telapak kaki-kaki mereka menjadi lembut, sehingga menjadi sakit-sakit saat dipakai berjalan di tanah Papua tanpa sepatu.
Nah, lebih hebat mana mereka, yang sebelum atau sesudah pakai sepatu? Sekarang, tanpa sepatu dan tanpa kaki yang kuat, bukankah mereka jadi tergantung? Bukankah mereka jadi lebih miskin daripada sebelumnya? Ini disebutnya bantuan, tapi sesungguhnya pemiskinan.
Atau kejadian minyak babi yang digantikan oleh sabun (sabunisasi) yang akhirnya membuat angka kematian akibat malaria tinggi, menjadi contoh bahwa ini bukan tradisi yang pantas dicampurtangani. Wong minyak babi tidak mengkhianati hak asasi siapa pun, kok. Semata-mata hanya karena dianggap bau dan kotor saja. Ini sama dengan aku yang bersabun di rimba, langsung dijauhi. Katanya aku bau busuk, bau racun, dan membawa sial kalau ikut berburu karena hewan buruan langsung akan dapat mengenali bauku.
Terkadang, nilai-nilai itu relatif bukan?