MOJOK.CO – Sudah tepatkah cara kita menuliskan kata-kata dalam bahasa Jawa ragam tulisan? Mana yang paling benar: basa Jawa atau boso Jowo?
Sudah sekian tulisan dalam bahasa Jawa dengan huruf Latin ditayangkan oleh Mojok dan kita dapat melihat ketidakajegannya dalam penggunaan ejaan. Padahal, sebaiknya kita tertib dalam penggunaan huruf-huruf berikut: a – o, u – o, t – th,dan d – dh. Jika tidak, ketidakajegan itu akan membuat bahasa Jawa ragam tulis dengan huruf Latin makin sulit dipahami oleh orang Jawa sendiri. Lebih dari itu, penulisan kata-kata tertentu dengan huruf yang salah akan mengundang masalah. Bersabarlah, nanti akan saya tunjukkan contohnya.
Jika kita mau sedikit berusaha, penulisan bahasa Jawa dengan huruf Latin ini sudah dibuat buku pedomannya. Sebagian di antaranya dibagikan secara gratis kepada para peserta Kongres Bahasa Jawa VI di Yogyakarta (2016). Rujukan lain untuk kepentingan ini adalah ejaan bahasa Jawa dalam huruf Latin yang digunakan oleh majalah Djaka Lodang (Yogyakarta) Jaya Baya, Panjebar Semangat (Surabaya), rubrik Jagad Jawa (Solo Pos), Mekar Sari (Kedaulatan Rakyat), dan Sang Pamomong (Suara Merdeka). Jika kesulitan mendapatkan versi cetaknya, sebagian besar di antaranya sudah dapat diakses dalam versi daring.
Saya kira—dan seharusnya memang demikian—Mojok ingin menampilkan bahasa Jawa yang lebih kekinian, segar, renyah, gaul, dan tidak seperti yang digunakan oleh media-media (cetak) yang saya sebut sambil menyarankannya untuk dijadikan rujukan itu. Jadi, contohlah saja aturan penulisan ejaannya, bukan diksi dan gayanya.
Bahasa Jawa memiliki susunan abjadnya sendiri yang disebut carakan, yang jika disalin ke dalam huruf Latin menjadi: ha, na, ca, ra, ka, da, ta, sa, wa, la, pa, dha, ja, ya, nya, ma, ga, ba, tha, nga. Jadi, dalam bahasa Jawa dikenal huruf dha (dh), selain da (d). Kata wedi (takut) berbeda dengan wedhi (pasir), Landep (nama wuku: Sinta, Landep, Wukir, Kranthil, Tolu, Gumbgreg,… dst.) berbeda dengan landhep (tajam), duduk=nglajo (orangnya disebut pelaju atau komuter) berbeda dengan dhudhuk (gali, ndhudhuk=menggali).
Dalam bahasa Indonesia sepertinya tidak dikenal aksara d. Itulah sebabnya, karena sudah kadung keranjingan spelling bahasa Indonesia, dalam lomba baca cerpen atau puisi Jawa, biasanya banyak peserta kesulitan melisankan huruf d. Alhasil, kata wedi (takut) dibaca sebagai wedhi (pasir). Demikian pula halnya dengan bunyi aksara th yang sepertinya tidak dikenal pula dalam bahasa Indonesia.
Sementara itu, sebaliknya, bahasa Bali justru tidak mengenal bunyi/aksara t, sehingga kalau suatu saat Anda menjaga toko lalu datang orang Bali dan bertanya, ”Ada obat bathuk?” yakinlah bahwa yang dimaksudkan adalah ”obat batuk”, bukan obat dahi.
Dalam bahasa Jawa, dikenal bunyi dan aksara ta (t) seperti pada kata: tutuk (mulut), watuk (batuk), mantuk (mulih), dan dikenal pula bunyi/aksara tha (th), seperti pada kata: thuthuk (pukul; nuthuk=memukul, dithuthuk=dipukul), bathuk (dahi), dan manthuk (mengangguk). Ingat, tutuk (mulut) berbeda dengan thuthuk (pukul), sedangkan mantuk (pulang) berbeda dengan manthuk (mengangguk).
Yang tak kalah gawatnya adalah urusan a dengan o, serta u dengan o. Ingat, aksara atau huruf dasar carakan adalah: ha, na, ca, ra, ka, dan seterusnya. Hal ini berlaku dengan catatan bahwa aksara a dibunyikan/diucapkan seperti bunyi huruf o pada kata ‘’tokoh”, bukannya ditulis demikian sehingga menjadi: ho, no, co, ro, ko, dan seterusnya. Aksara ha baru menjadi ho setelah diberi tanda (disandhangi) taling-tarung, menjadi hi setelah di-wulu, menjadi hu setelah di-suku, dan seterusnya. Berikut ini adalah contoh pemakaian huruf o yang salah:
- sopo seharusnya sapa (siapa)
- piro seharusnya pira (berapa)
- monggo seharusnya mangga (mari/silakan)
- opo seharusnya apa (apa)
- tonggo seharusnya tangga (tetangga)
- turonggo seharusnya turangga (jaran)
- manungso seharusnya manungsa (manusia)
- boso Jowo seharusnya basa Jawa (bahasa Jawa)
Di sinilah letak gawatnya jika kita ngawur menggunakan aksara a dan o:
- sata (tembakau) – soto (soto)
- teka (datang) – teko (ceret)
- lara (sakit) – loro (dua)
- cara (cara/metode) – coro (kecoak)
- pala (buah) – polo (otak)
- mala (penyakit) – molo (rangka bubungan)
- mrana (ke sana) – mrono (ke situ)
Ada yang memakai penambahan e/ne atau ipun/nipun sebagai pedoman untuk membedakan mana yang seharusnya dituliskan dengan a dan mana yang seharusnya menggunakan o. Huruf a pada kata cara (cara/metode) dibaca dengan bunyi a seperti o pada kata tokoh. Namun, ketika ditambahkan –ne, ia menjadi carane. Bunyi huruf a pada kata carane harus dibaca seperti huruf a pada kata saya, luka, siapa, dll.
Akan ada masalah ketika kita bertemu dengan orang Surabaya dan sekitarnya. Dalam lisan basa Jawa subdialek Surabaya, kata carane tetap diucapkan sebagai corone atau coroe (dengan bunyi o seperti yang ada pada kata pokok atau tokoh). Tetapi, itu hanyalah urusan dialek/subdialek. Ingat, yang sedang kita bicarakan adalah ragam bahasa Jawa yang mengatasi semua dialek/subdialek yang ada.
Kita juga akan cukup gampang mendapatkan contoh penulisan kata weroh, butoh, wanoh, manok, pulot, sikot, dll. Padahal, ketika mengutarakannya dalam bentuk lisan, mereka akan mengucapkan huruf o pada kata-kata tersebut dengan bunyi seperti huruf u pada kata batuk.
Tetapi, sekali lagi, kita sedang berbicara mengenai ragam basa Jawa yang mengatasi semua dialek yang ada. Jika masih dibutuhkan semacam patokan untuk dipedomani, penambahan huruf e pun bisa dilakukan, misalnya pada kata-kata: sikut, pulut, rambut, patut, dan lain-lain, menjadi sikute, pulute, rambute, patute. Huruf u di situ akan diucapkan sebagai u biasa (seperti yang ada pada kata ibu). Artinya, kata sikut tidak boleh dituliskan sebagai sikot, pulut bukan pulot, dan seterusnya.
Puncak kegawatan akan terjadi manakala orang menuliskan kata ngentot. Padahal, yang dimaksudkan adalah ngentut. Lebih gawat lagi jika orang mulai menuliskan kata kontol, padahal yang dimaksudkan adalah kuntul. Memang, baik kontol maupun kuntul adalah sejenis burung, tetapi, kan, beda spesies!