Valentino Simanjuntak vs Real Madrid di Liga Champions: Cukup Beradaptasi untuk Juara, Tak Perlu UU ITE Itu

Valentino Simanjuntak vs Real Madrid di Liga Champions- Cukup Beradaptasi untuk Juara, Tak Perlu UU ITE Itu MOJOK.CO

Valentino Simanjuntak vs Real Madrid di Liga Champions- Cukup Beradaptasi untuk Juara, Tak Perlu UU ITE Itu MOJOK.CO

MOJOK.COBung Valentino Simanjuntak, jadilah seperti Real Madrid di Liga Champions. Bisa beradaptasi dengan kesulitan dan menjadi Sang Raja sampai sekarang.

Jebret! Out of nowhere!

Valentino Simanjuntak, anggota PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia), sekaligus komentator ikonik itu, siap menempuh jalur hukum. Tidak ada yang menyangka kalau keramaian di media sosial berkaitan dengan ciri khas Valentino ketika mengawal pertandingan sepak bola bakal berbelok seperti ini.

Valentino Simanjuntak berusaha menjelaskan perbedaan antara mengkritik dan menghujat. Beliau menggunakan istilah hate speech untuk mereka yang menghujat. Dan tentu saja, secara serentak, ketika umat sepak bola Indonesia lagi asik nonton Liga Champions sembari menanti sahur, istilah UU ITE menjadi trending.

Keseruan ini naik ke level yang lebih tinggi. Keseruan yang sebetulnya disayangkan oleh beberapa orang. Mereka menganggap Valentino Simanjuntak tak perlu sampai menempuh jalur hukum. Namun, di sisi lain, sebagai warga negara, Valentino berhak melakukannya asal punya bukti.

Seperti Real Madrid yang dominan di Liga Champions

Pada titik tertentu, Valentino Simanjuntak itu seperti Real Madrid. Mirip seperti entitas yang punya power untuk “berkuasa” atas pihak lain. Valentino punya status sebagai sarjana hukum sekaligus anggota PERADI. Real Madrid menyandang status sebagai yang terbaik di Liga Champions.

Valentino Simanjuntak punya akses ke jalur hukum yang lebih lapang ketimbang kebanyakan “orang awam di mata hukum” yang menyerang dirinya. Real Madrid, punya akses ke pemain-pemain terbaik di Eropa untuk dikumpulkan demi ambisi menjadi yang terbaik.

Tahukah kamu, salah satu privilege bagi manusia adalah kemudahan mendapatkan akses akan sesuatu. Hak istimewa itu akan membuatnya selalu unggul dibandingkan orang lain.

Bisa diprediksi bahwa dalam beberapa hari ke depan, ada akun-akun di Twitter atau Instagram yang meminta maaf kepada Valentino Simanjuntak. Yah, ketimbang urusan jadi panjang. Apalagi kalau udah harus mikirin soal pasal-pasal di UU ITE yang “gitu banget” dan jadi keprihatinan banyak orang.

Nah, di titik ini, proses hukum tetap berjalan meski akun-akun yang menyerang Valentino Simanjuntak sudah meminta maaf lewat video atau keterangan tertulis. Bahkan meskipun Valentino sudah memberi maaf, kalau tidak salah, proses hukum tetap berlangsung. Tentu kalau Valentino Jebret sudah melapor ke polisi.

Real Madrid akan selalu ada di daftar favorit juara Liga Champions karena mereka punya akses. Baik ke sumber pendapatan, pemain bagus lewat jaringan agen, dan, ini yang paling penting: sosok presiden yang jago memanfaatkan akses itu. Apalagi baru saja, Sang Presiden kembali terpilih.

Valentino Simanjuntak yang sial dan perubahan karena keadaan

Saya tahu, dulu, Valentino Simanjuntak bukan komentator yang dibilang “lebay” dan “hiperbolis”. Dia bekerja dengan data dan fakta. Mengawal pertandingan dengan gaya yang “wajar”. Dari kisah, sejarah, sampai taktik disampaikan dengan baik.

Namun, seperti pengakuan Valentino sendiri, tidak banyak exposure yang didapat ketika menjadi komentator seperti itu. Saat itu, banyak umat sepak bola Indonesia yang memang belum sadar akan pentingnya pengetahuan soal taktik yang disampaikan komentator dan analis.

Karena tuntutan keadaan (dan kelanggengan profesi), Valentino Simanjuntak mengubah citra dirinya. Dia semakin banyak menggunakan, bahkan menciptakan istilah-istilah yang, mengutip kata-kata sebagian netizen: terasa sangat mengganggu.

Namun, sebagian netizen yang lain justru menikmati citra baru ini. Mereka merasa Valentino sukses meramaikan sebuah pertandingan sepak bola Indonesia. Memberi warna baru bagi dunia komentator yang dulu sangat elegan dan informatif.

Sayangnya, perubahan citra Valentino Simanjuntak terjadi seiring kesadaran akan pentingnya pengetahuan akan taktik yang semakin terbangun. Netizen sudah belajar banyak lewat media dan mereka berharap pengetahuan itu juga bisa ditemukan lewat layar kaca. Apalagi, bagi mereka, pertandingan makin asik karena lewat pengetahuan akan taktik, sepak bola jadi lebih bisa dinalar.

Dan kesadaran itu semakin membesar seiring kemunculan banyak akun media sosial yang sangat rajin berbagi konten taktik. Memasuki akhir 2019, sudah banyak akun taktik ini yang mampu menjelaskan perbendaharaan istilah taktik yang rumit menjadi lebih enak dinikmati.

Kesadaran itu yang kemudian seperti “memojokkan” Valentino Simanjuntak. Kritikan datang bertubi-tubi. Apakah Valentino menyadari hal ini dan akan berubah lagi ke depan? Ya itu hak dan cuma Valentino sendiri yang tahu.

Satu hal yang perlu kita pahami adalah Valentino Simanjuntak menjadi “kayak gini” juga karena tuntutan pasar dan rating layar kaca. Oleh sebab itu, Valentino mengubah citranya juga karena kita semua. Artinya, dalam hidup, satu-satunya yang pasti adalah perubahan itu sendiri (dan ambisi mengejar rating televisi).

Perubahan itu pula yang disadari oleh Real Madrid. Catatan istimewa tiga kali menjadi juara Liga Champions secara berturut-turut dibidani oleh kesadaran untuk berubah. Kalau kamu masih ingat, Real Madrid menanggalkan “permainan indah” demi lebih efektif di fase-fase menentukan.

Sesuatu yang indah itu digantikan dengan pragmatisme yang oleh sebagian orang dituduh membosankan. Bahkan Zinedine Zidane dituduh sebagai pelatih miskin taktik. Yah, tuduhan yang agak ngawur, sih. Dia juara Liga Champions dengan cara ini. Petinggi senang, suporter bahagia. Kamu mau apa?

Real Madrid sadar bahwa tuntutan terbesar mereka adalah menjadi juara, bukan bermain indah. Valentino Simanjuntak juga sadar dia harus memenangkan “perhatian netizen”. Dia mengubah citra dan disukai layar kaca sekaligus jutaan netizen. Kamu mau apa?

Untuk Valentino Simanjuntak, saya setuju dengan opini Oland Fatah, komentator legendaris Indonesia. Pak Oland bilang bahwa, “Membawakan acara sepakbola di televisi itu 70% memberi info dan pembelajaran, 30% hiburan atau asesoris. Jangan kebalik….”

Jika Valentino Simanjuntak mau berubah dan kembali ke “data dan fakta”, saya kira beliau nggak akan kehilangan penggemar. Situasinya sudah berubah dan pengetahuan akan taktik akan semakin digemari.

Ibarat kata kalau kebanyakan gula-gula, kamu pasti akan diabetes. Kalau terlalu banyak “kalimat berbunga”, sepak bola perlahan akan menjemukan, bahkan bikin pekak telinga.

Eh, jangan salah ya. Dulu, “kalimat berbunga” itu sudah ada. Kita mengenal istilah “memetik bola di udara”, misalnya. Lahir karena usaha komentator radio membantu pendengar menciptakan imajinasi. Kalau sekarang pemirsa bisa melihat langsung sehingga “kalimat berbunga” jangan jadi overused.

Dear, Bung Valentino Simanjuntak, hinaan memang menyakitkan. Namun, usaha untuk bersabar dengan hinaan itu gambaran manusia dewasa. Mengingatkan saja saya rasa sudah cukup. Banyak orang awam tak punya akses jalur hukum selapang dirimu. Biar sama-sama asik aja.

Jadilah seperti Real Madrid di Liga Champions. Bisa terus beradaptasi dengan kesulitan dan menjadi Sang Raja sampai sekarang.

Jebret!

BACA JUGA Gaya Bahasa Komentator Sepak Bola yang Mengundang Tawa dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.

Exit mobile version