MOJOK.CO – Pada titik tertentu, saya sudah pada level kasihan. Bagaimana tidak, ribuan hari Tottenham Hotspur berpuasa, tapi wangsit yang dinanti itu tidak datang juga. Spursy, sudahlah, bubar saja, dan temukan tujuan hidup lain di dunia ini.
4809 hari puasa gelar Carabao, 10.932 hari puasa gelar FA Cup, dan 21.920 hari puasa gelar Liga. Kalau Tottenham Hotspur diibaratkan dukun, seharusnya mereka sudah menjadi orang sakti. Seperti “orang sakti” yang bisa membangun bangunan megalitik hanya dengan kekuatan pikiran.
Pada satu sisi, kondisi Tottenham Hotspur ini memang asik banget buat dijadikan bahan ledekan. Bagaimana tidak. Jika dijumlahkan dan dibulatkan, Tottenham Hotspur sudah absen juara selama 40.000 hari sama dengan 109 tahun, 1315 bulan, dan 5714 minggu. Sudah lebih dari 1 abad tidak pernah merasakan gelar mayor.
Menariknya, kali terakhir Tottenham Hotspur juara sesuatu terjadi pada 2009. Mereka memenangi piala yang namanya Barclays Asia Trophy. Sebuah kompetisi pra-musim yang diadakan di Cina. Pesertanya adalah Hull City, West Ham United, Beijing Guoan, dan tentu saja, Spurs.
Artinya, Tottenham Hotspur punya peluang besar menjadi juara jika bermain di kompetisi pra-musim. Oleh sebab itu, saran saya, Spurs tak perlu menghabiskan dana yang besar untuk ikut Liga Inggris dan liga-liga lainnya. Cukup bikin tim sebelum pra-musim, ikut kompetisi, juara, lalu bubarkan. Kayak klub-klub Liga Indonesia zaman dulu, yang suka bikin acara “pembubaran tim” setelah kompetisi selesai.
Dengan begitu, setiap tahun, Tottenham Hotspur bisa memenangi sesuatu. Tidak akan lagi ledekan, tidak ada lagi lelucon soal puasa gelar mayor sampai satu abad. Ingat, Spurs, kamu bukan pertapa sakti yang kerjanya puasa dan menyepi, bertapa di bawah guyuran air terjun dan menjadi sakti mandraguna. Bisa menghilang dan berjalan di atas pucuk-pucuk daun.
Tottenham Hotspur dan orgasme yang tak pernah terpuaskan
Mari singkirkan dulu soal ledekan kepada Spurs itu. Mari kita agak seriusan dikit….
Melihat skuat yang ada, Tottenham Hotspur boleh dibilang punya komposisi pemain yang cukup bagus. Di atas kertas, masalah mereka hanya tak punya pelapis yang levelnya mendekati level performa terbaik dari Harry Kane dan Son Heung-min.
Bahkan, di awal musim 2019/2020, fans Spurs dengan begitu yakin menegaskan bahwa skuat mereka lebih bagus dari skuat Arsenal. Kembali, di atas kertas, sebagai fans Arsenal, saya membenarkan klaim mereka. Spurs memiliki beberapa pemain yang sebetulnya sangat dibutuhkan Arsenal.
Klaim itu masih berlanjut di awal musim 2020/2021. Apalagi ketika Tottenham Hotspur sukses memulangkan Gareth Bale, pemain golf paruh waktu itu, di pertengahan musim. Bale dianggap sebagai bagian yang hilang dari skuat ini untuk menjadi juara. Kombinasi Bale dan Jose Mourinho dianggap akan jadi kekuatan besar di Liga Inggris.
Namun, yang terjadi adalah orgasme yang kembali tertunda. Tak pernah terpuaskan. Bale sudah bukan lagi pemain seperti dulu lagi. Rentetan cedera dan kehidupan terasing di Real Madrid membuat mentalnya retak. Bale, pemain dengan gaji tinggi itu, tak banyak berkontribusi.
Orgasme yang tak terpuaskan juga terjadi kepada Jose Mourinho. Sebelum menukangi Spurs, Mourinho selalu memenangi sesuatu bersama klub yang dia latih. Kini, belum juga “kutukan tahun ketiga” datang, Mou sudah dipecat. Kutukan Mou berkolaborasi dengan kutukan Spurs. Sudah mau “enak sampai klimaks”, eh anunya turun dan mood-nya hilang.
Peristiwa “gagal enak” ini juga terjadi ketika Tottenham Hotspur masuk final. Sebelumnya, mereka masuk final Liga Champions untuk kemudian tumbang oleh Liverpool. Barusan, mereka ditundukkan Manchester City di final Carabao Cup. Ada satu persamaan dari dua final ini.
Dari dua final tersebut, Tottenham Hotspur selalu bermain antiklimaks. Dua final itu berjalan dengan sangat buruk, bahkan membosankan bagi fans Spurs. Final yang berjalan seperti berat sebelah. Spurs kehilangan kekuatan yang mengantar mereka ke final.
Misalnya di semifinal Liga Champions, Spurs bisa membalikkan skor ketika mengalahkan Ajax. Mereka bisa menang agregat dengan skor 3-3. Sebuah semifinal yang katanya, salah satu yang terbaik, di sejarah Liga Champions. Di final yang membosankan itu, mereka kalah oleh penalti Mo Salah dan gol menit akhir Divock Orogi.
Final Carabao Cup kembali membosankan. Sepanjang 80 menit lebih, Spurs tak bisa berbuat sesuatu. Mereka sangat beruntung hanya kalah dengan skor 0-1. Jika City bermain lebih klinis, bukan tidak mungkin skor akhir final membosankan ini menjadi 0-5.
Gagal memenuhi ekspektasi lalu gagal di momen penting melahirkan sebuah istilah yang sama-sama kita kenal. Sejarah menjadi pecundang itu berulang setiap tahun. Terutama ketika Spurs merasa dirinya bakal menjadi “kandidat juara”. Ya, mereka bahkan tidak kuat untuk memikul beban “kandidat”, belum lagi jika peluang menjadi juara itu terbuka. Oleh sebab itu, istilah spursy menjadi begitu lekat.
Urban Dictionary bahkan sudah memasukkan kata “spursy” sebagai entri mereka. Kata tersebut diberi makna ‘secara konsisten dan pasti gagal memenuhi ekspektasi’.
Yah, akhir kata. Saran kedua saya untuk Tottenham Hotspur itu begini:
Kalau memang pashion mereka adalah puasa, sebaiknya bubarkan saja yang namanya klub Tottenham Hotspur. Mulai besok, jangan jadi klub sepak bola, tapi klub kejawen. Siapa tahu, pashion berpuasa itu mengantar mereka untuk lebih dekat dengan Tuhan dan menemukan tujuan hidup.
Pada titik tertentu, saya sudah pada level kasihan. Bagaimana tidak, ribuan hari mereka berpuasa, tapi wangsit yang dinanti itu tidak datang juga. Spursy, sudahlah, bubar saja, dan temukan tujuan hidup lain di dunia ini.
Salam manis dari fans Arsenal.
BACA JUGA Spurs yang Spursy: Arsenal dan Manchester United Boleh Jadi Badut, tapi Status Pecundang Tetap Milik Tottenham Hotspur dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.