MOJOK.CO – Membuka Piala AFF 2018 dengan kekalahan, timnas Indonesia, atau lebih tepatnya Bima Sakti ditabrak oleh kritikan begitu keras. Kritik tepat sasaran?
Timnas Indonesia tidak memulai Piala AFF 2018 dengan baik. Seperti biasa. Ketika ekspektasi naik, performa tim justru tenggelam. Timnas Garuda kalah dari Singapura dengan skor tipis 0-1. Bukan kekalahan itu saja yang patut disesali. Posisi pelatih yang saat ini diisi Bima Sakti justru menjadi sorotan utama. Meneruskan kerja Luis Milla, beban Bima memang tak bisa dikatakan ringan.
Kegagalan PSSI untuk mengamankan tanda tangan pelatih kelas dunia berimbas ke banyak hal. Seperti biasa. PSSI. Jangan heran. Imbas kebobrokan itu menular dan menjalar ke pundak Bima Sakti. Bahkan, mantan pemain timnas Indonesia itu pernah berujar bahwa sebetulnya, ia tidak ingin berada dalam posisi ini. Menggantikan seseorang dengan level yang jauh lebih tinggi dan sudah sangat dekat dengan jadwal Piala AFF 2018.
Imbas kedua adalah kekalahan timnas Indonesia itu sendiri. Kok bisa begitu? Karena, mau tak mau, pergantian Luis Milla ke Bima Sakti mengubah cara bermain (atau pendekatan) timnas. Satu hal yang menjadi pertanyaan adalah: “Mampukah Bima Sakti menunjukkan respons terbaik ketika timnya tertekan?” ketika melawan Singapura, aksi itu belum terlihat. Laga timnas Indonesia vs Timor Leste yang akan menjadi panggung ujian.
Sepak bola adalah permainan yang hidup. Sangat jarang terlihat seorang pelatih hanya menyiapkan satu taktik saja untuk sebuah pertandingan. Dua taktik adalah minimal. Bahkan, tidak jarang, terjadi tiga perubahan taktik di tengah pertandingan. Kecakapan dan pengalaman pelatih yang akan diuji habis-habisan.
Sayangnya, Bima Sakti belum punya dua hal itu. Jam terbangnya sebagai pelatih kepala masih terlalu minimal. Tidak bisa dibohongi, kurangnya pengalaman akan memengaruhi kecepatan respons pelatih akan sebuah perubahan situasi. Untuk masalah ini, kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Bima Sakti. Lha wong beliau jarang mendapatkan kesempatan. Lha wong ketika belajar dari pelatih kaliber dunia, PSSI malah mengacau.
Namun, kamu juga perlu tahu bahwa sepak bola adalah kompetisi yang kejam. Sangat jamak terjadi, pelatih langsung dihakimi dari satu atau dua pertandingan saja. Unai Emery di Arsenal merasakannya ketika dua kali kalah berturut-turut di awal musim. Bahkan Julen Lopetegui dipecat Real Madrid ketika belum jalan separuh musim melatih.
Kesulitan yang sama dirasakan Bima Sakti. Ia dianggap gagal meneruskan corak bermain yang sudah dibangun Luis Milla. Padahal, Coach Bima adalah orang terdekat di timnas Indonesia dengan Luis Milla. Miris memang ketika sebuah kalimat begini bertebaran di media sosial: “Pas masih dilatih Luis Milla, timnas enak ditonton. Kenapa ganti Bima jadi beda ya?”
Meskipun menggunakan tanda tanya, kalimat tersebut adalah “penghakiman” yang lumayan nyelekit. Dari sesuatu yang sudah bagus, berubah buruk ketika orang yang bertanggung jawab diganti. Di sudut hati paling jauh, Coach Bima pasti merasa tak enak. Sedikit banyak, beliau pasti merasa sedang dihakimi.
Inilah masalahnya: ketika melawan Singapura, Bima Sakti dianggap terlambat membuat perubahan saat permainan timnas Indonesia mentok. Seperti tidak ada rencana B, alih-alih menyamakan kedudukan, timnas kesulitan menyerang. Yang dilakukan Bima adalah memasukkan Riko Simanjuntak untuk menambah kreativitas saja. Kreativitas, tanpa dibarengi disiplin taktik, tak akan membawa kesuksesan.
Padahal, Bima menyaksikan dari dekat ketika Luis Milla memperbaiki kesalahan penentuan pemain dan cara bermain yang sempat monoton. Buktinya ada di Asian Games 2018 yang lalu, ketika timnas Indonesia kalah dari UEA. Saya menyebutnya sebagai “Khilaf Luis Milla”.
Ada satu pelajaran penting dari kekalahan itu, yaitu berani melakukan perubahan ketika taktik A tidak berjalan. Saat itu, Luis Milla memainkan Andy Setyo untuk menggantikan Rezaldi Hehanusa. Masuknya Andy Setyo membuat posisi bek kiri timnas Indonesia diisi Ricky Fajrin. Mengapa Luis Milla menggantikan Rezaldi dengan Andy Setyo? Sungguh sulit mencari alasan Luis Milla menggantikan Rezaldi dengan Andy Setyo.
Yang terjad kemudian adalah Andy Setyo membuat banyak kesalahan, salah satunya berbuah penalti untuk UEA, hingga akhirnya digantikan Septian David di babak kedua. Pergantian dari Andy Setyo ke Septian David langsung mengubah cara bermain timnas. Dari pola empat bek, menjadi tiga. Luis Milla mencoba membuat lapangan tengah menjadi lebih padat.
Hingga akhirnya perubahan itu berbuah manis selepas menit 80. Timnas Indonesia bermain lebih tenang, bola-bola pendek dominan terlihat, umpan-umpan lebih presisi, dan lebih sabar ketika masuk ke kotak penalti lawan. Timnas menekan UEA habis-habisan. Meski sayang, pada akhirnya kalah lewat babak adu penalti.
Kalah? Ya sudah, toh timnas Indonesia mendapatkan pelajaran penting. Apa itu? Timnas Indonesia bisa bermain bola-bola pendek, umpan-umpan akurat, sabar membongkar pertahanan lawan, bahkan solid ketika bertahan. Ketika tonggak pelatih berganti, ketika melawan Singapura, semua hal positif itu lesap begitu saja.
Maka jangan disalahkan ketika Bima Sakti ditabrak kritik begitu keras. Ia yang paling dekat dengan Luis Milla. Paling tidak, cara bermain timnas tidak banyak berubah. Kami sih tidak terlalu berekspektasi timnas menjadi menangan atau juara. Toh sudah terlalu sering kami dikecewakan. Ya oleh timnas, ya oleh PSSI. Kami tetap mendukung karena kecintaan. Tapi, jangan cederai kecintaan kami dengan kerja setengah hati.
Apakah Bima Sakti bukan murid yang baik? Apakah beliau menyimak dengan serius ketika Luis Milla melatih? Kenapa yang baik-baik tidak diteruskan? Pertanyaan-pertanyaan ini harus dijawab timnas Indonesia ketika melawan Timor Leste.