MOJOK.CO – Mari lihat invincible Liverpool dari sisi yang berbeda. Simpan kekesalan melihat mereka juara. Pada titik tertentu, bisa jadi The Reds memang bekerja lebih keras dibanding semua klub di Liga Inggris.
Sudah sejak September 2019 saya bilang Liverpool akan memecahkan rekor tak terkalahkan Arsenal dalam satu musim. Pernyataan itu ditertawakan banyak orang. Orang-orang yang merasa keberadaannya terancam kalau Liverpool menjadi juara Liga Inggris era baru. Orang-orang yang tabungan meme mereka akan gugur ketika Jurgen Klopp akhirnya membawa The Reds buka puasa setelah 29 tahun.
Orang-orang yang akan semakin super sinis di tengah perayaan kemenangan fans Liverpool di setiap laga. Apalagi, The Reds akan menjadi juara secara gemilang. Bagi saya, fans Arsenal, pencapaian The Reds memang bakal terasa pahit di lidah. Namun, melihat sepak bola modern seperti sekarang, saya perlu angkat topi untuk mereka.
Sebagai gambaran, pada musim 2003/2004, Arsene Wenger, pelatih Arsenal kala itu, memandang ada empat klub yang bisa menjadi rival klub asuhannya untuk mempertahankan gelar juara Liga Inggris. Mereka adalah Newcastle United, Liverpool, Chelsea, dan Manchester United. Klub-klub di luar itu adalah klub yang bisa dikalahkan, atau paling tidak, akan sulit mengalahkan Arsenal.
Bandingkan dengan masa sekarang. Kita ambil contoh Manchester City pernah kalah dari Norwich City dan Tottenham Hotspur. Untuk menjadi juara di era baru, klub-klub besar perlu berhati-hati dengan banyak klub. Mulai dari Spurs, Chelsea, Everton, Wolves, Leicester City, West Ham United, hingga Crystal Palace. Lima klub terakhir bukan tim papan atas, tetapi punya rekam jejak selalu menyulitkan tim jagoan juara.
Liga Inggris kini lebih sulit diarungi, apalagi bisa menggenggam status tak terkalahkan sampai akhir musim. Besarnya pemasukan dari hak siar dan sponsor membuat tim-tim semenjana bisa membeli pemain dan merekrut pelatih bagus. Salah satu aspek yang membuat tim papan atas tidak bisa menang dengan mudah setiap minggunya.
Bagi City, Leicester City, dan Chelsea, memenangi sebuah laga bisa jadi pekerjaan yang tidak mudah. Rumit. Dan rentan berakhir dengan kehilangan poin penuh. Kalau kamu rutin mengikuti Liverpool, bagi penonton awam, mereka begitu mudah membuat peluang dan menjadikannya sebah gol.
Bagi mereka yang taat belajar ilmu kepelatihan, proses kemenangan Liverpool tidak sesederhana itu. Ada kompleksitas dari setiap momen. Bahkan momen lemparan ke dalam saja dianalisis dan dicari cara paling ideal untuk memaksimalkannya. Dan ujungnya adalah konsistensi. Sebuah tim juara butuh aspek ini. Konsisten, membawa sebuah klub satu langkah ke depan menujuk kemenangan.
Kelak, ketika Liverpool menjadi juara dengan status invincible, Liga Inggris perlu bersyukur karena beberapa alasan.
Invincible Liverpool mengajarkan sinergitas
Harmoinisnya pemilik dan pelatih sebuah klub punya dampak besar. Kepercayaan dan keyakinan itu bakal berubah menjadi kekuatan besar di banyak aspek. Mulai dari pembelian pemain, penentuan strategi di atas lapangan, hingga sisi bisnis. Klopp dan John W. Henry seperti punya hubungan telepatik. Membuat mereka bisa saling percaya meski terpisah jarak.
Kita lihat pesaing Liverpool, misalnya Chelsea. Di Januari 2020 ini, Frank Lampard jelas membutuhkan pemain. Ketika transfer ban berlaku, Chelsea dipaksa puasa belanja. Ketika transfer ban sudah diangkat, mereka malah tak beli siapa-siapa.
Padahal, sepanjang Januari 2020, Chelsea dihubungkan dengan banyak nama striker. Mereka memang perlu memperkuat pos striker. Namun, hingga deadline day, tidak ada yang terealisasi. Chelsea akhirnya tidak jadi menjual Olivier Giroud dan “terjebak” dengan skuat yang ada.
Dinamika Manchester City sedikit berbeda. Syekh Mansour sebagai pemilik City nampaknya masih percaya betul dengan Pep Guardiola. Inkonsisten yang langka, yang kini dihadapi City dimulai dari badai cedera. Lalu, kesulitan itu merembet menjadi kegagalan Guardiola mengembalikan performa pemain yang baru kembali dari cedera.
Liverpool pernah punya masalah sama, terutama di awal masa kepelatihan Jurgen Klopp. Pemain The Reds begitu mudah cedera karena tingginya intensitas cara bermain Klopp. Apa langkah awal untuk mengatasi masalah ini? Klopp beradaptasi. Narasi The Reds tidak lagi soal bermain dengan intensitas tinggi, tetapi membangun sistem di mana pemain bisa memaksimalkan kelebihan dan menutupi kekurangan.
Selain jumlah cedera yang menurun, Liverpool tidak begitu kesulitan ketika pemain utama absen. Ketika Sadio Mane absen, Alex-Oxlade Chamberlain memberi garansi kalau level The Reds tidak anjlok. Chamberlain menjadi pemain krusial di dua kemenangan terakhir Liverpool, yaitu ketika melawan West Ham United dan Southampton.
Dari soal sinergitas antara Klopp dan Pak Henry ini saja sudah memberi kita gambaran betapa menderitanya fans Manchester United dan Arsenal. Ketiga klub ini sama-sama dimiliki oleh orang Amerika Serikat. Namun, sepertinya cuma pemilik Liverpool saja yang memahami dinamika sepak bola. Dua yang lain seperti “membatasi diri” untuk masalah bisnis semata.
Soal dinamika pemilik dan pelatih, memang tidak banyak yang bisa dilakukan fans. Satu-satunya jalan memang melawan dan turun ke jalan untuk sebuah perubahan. Namun, memang, aksi seperti itu sulit diwujudkan karena masih kuatnya kalimat: “Mendukung klub apapun masalahnya.” Sisi kritis menjadi terberangus.
Liga Inggrris perlu belajar banyak dari Liverpool. Paling tidak, mereka juga ikut melindungi klub-klub. Terutama mereka yang tengah dalam proses diambil alih oleh seorang pengusaha. Bisa jadi, pengusaha ini tidak memahami sepak bola dan menjadikan klub sebagai “sapi perah” semata.
Saya tahu, ini dunia katarsis yang sulit dicapai. Namun, otoritas Liga Inggris sepatutnya sadar kalau klub bukan sekadar peserta liga, tetapi kekayaan negara. Bahkan bisa kamu sebut sebagai bagian dari tradisi negara itu sendiri. Sinergitas membawa klub lebih dekat dengan prestasi. Dari lokal, merembet ke internasional. Ujungnya adalah penilaian yang lebih baik untuk negara tersebut.
Untuk alasan inilah, mari lihat invincible Liverpool dari sisi yang berbeda. Simpan kekesalan melihat mereka juara. Pada titik tertentu, bisa jadi The Reds memang bekerja lebih keras dibanding semua klub. Kita tahu, ujung dari kerja keras adalah ganjaran yang rasanya legit setengah mati.
BACA JUGA Dunia Sempurna Arsenal, yang Gagal Digapai City, Bisa Dikejar Liverpool atau tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.