MOJOK.CO – Piala Super Eropa antara Liverpool melawan Chelsea seharusnya jadi pertandingan pembuktian bagi Frank Lampard kalau dirinya bukan siswa baru nan dungu.
Saya rasa kekalahan Chelsea dari Manchester United di akhir minggu lalu sedikit tidak adil. Terutama kalau melihat skor akhir 4-0 untuk kemenangan United. Melihat jumlah penciptaan peluang dan penguasaan bola, setidaknya, anak asuh Frank Lampard bisa mencetak satu gol. Kalah pun tidak masalah, tetapi dengan skor tipis.
Selepas laga, banyak analis dan pundit menyerang Frank Lampard. Jose Mourinho misalnya, mewanti-wanti Chelsea untuk bermain secara compact. Compact, yang diterjemahkan secara bebas menjadi ‘kompaksi’ adalah sebuah kondisi di mana sebuah tim bisa menjaga jarak vertikal dan horizontal tetap stabil. Kompaksi vertikal adalah jarak antara barisan bek dengan striker, sementara kompaksi horizontal adalah jarak antara pemain di satu sisi dengan sisi lain lapangan.
Ketika kemasukan satu gol, Chelsea seperti membagi timnya menjadi dua kelompok besar, yaitu empat pemain untuk menyerang dan enam pemain berjaga di garis pertahanan sendiri. Ruang besar di antara lini depan dan belakang yang pada akhirnya menghukum Lampard dan Chelsea.
Pelatih muda asal Inggris itu diledek sebagai pelatih ceroboh dan teledor lantaran membiarkan jarak antara lini terbuka lebar. Benarkah Lampard memang sedungu itu?
Menjelang Piala Super Eropa melawan Liverpool, anggapan ini akan mewarnai hari-hari Lampard. Benarkah dia dungu? Saya melihat kekalahan Chelsea dengan skor besar itu sebagai “kesalahan pemula” saja.
Mantan gelandang Manchester City itu hanya waspada dengan serangan balik. Ia ingin timnya selalu unggul pemain dalam setiap proses pertandingan. Ia hanya abai dengan kompaksi timnya. Ada berapa banyak pelatih di Liga Inggris yang melakukan kesalahan sama? Ada banyak.
Melawan Liverpool di Piala Super Eropa, Lampard hanya perlu melihat kembali menit-menit awal laga melawan United. Hingga 10 menit laga berjalan, Chelsea mampu menunjukkan ide besar dari pelatihnya, yaitu progresi positif (menyerang) dengan cepat. Disertai disiplin menjaga kompaksi, ide ini bisa dipakai.
Piala Super Eropa Liverpool vs Chelsea: Lampard dan sepak bola cepat ala dirinya
Akun @sundaybedranger mengunggah sebuah potongan video di akun Twitter-nya. Ia memperlihatkan skema progresi positif yang amat cantik.
#lampardout ? pic.twitter.com/QsBd8BQ9hv
— ????? (@sundaybedranger) August 14, 2019
Beberapa proses yang dieksploitasi Chelsea adalah:
Pertama, jebakan pressing. Dengan mensirkulasikan bola di kotak penalti, Chelsea memancing beberapa pemain United untuk mendekat. Hasilnya, jebakan itu memungkinkan The Blues untuk melakukan umpan vertikal memanfaatkan ruang yang terbuka.
Kedua, Jorginho memancing gelandang United untuk mengikutinya. Akibatnya, bek kanan yang diisi Cesar Azpilicueta kosong. Kepa, penjaga gawang, bisa mensirkulasikan bola ke sisi kanan.
Ketiga, ketika sisi kanan terbuka, The Blues bisa melakukan progresi positif dengan cepat. Permainan kombinasi di lini tengah dengan satu sentuhan membuat United sulit menyusun barisan pertahanan dan Chelsea mampu masuk ke zona berbahaya dengan nyaman. Ini (mungkin) sepak bola cepat yang diincar Lampard.
Menghadapi Liverpool di Piala Super Eropa, penyesuaian memang perlu dilakukan. Liverpool, punya kemampuan pressing dua tingkat di atas United. Liverpool bukan lagi sebuah tim “asal berlari” untuk menekan lawan. Koordinasi menekan lawan Liverpool sudah jauh lebih matang dan sulit diantisipasi.
The Blues, kemungkinan, akan sulit menerapkan jebakan pressing yang sama. Kuartet Sadio Mane, Mo Salah, Roberto Firmino, dan Divock Origi lebih terlatih ketimbang Anthony Martial, Marcus Rashford, dan Jesse Lingard. Dua bek sayap Liverpool, Trent Alexander-Arnold dan Andrew Robertson pun lebih jago menekan sisi lapangan lawan.
Maka sudah jelas, melihat kemampuan Liverpool, The Blues tak boleh lagi membuka “ruang” yang malah menguntungkan lawan.
Chelsea harus bermain dengan kerapatan yang terjaga. Sepak bola kombinasi satu sentuhan bisa dimanfaatkan untuk menerobos lini tengah Liverpool yang compact dan bertenaga itu. Kalau bisa, Piala Super Eropa bakal menjadi pertandingan adu cerdik memanfaatkan pressing lawan.
Situasi kedua yang perlu dipertimbangkan Lampard adalah ketika Liverpool justru bermain “menunggu”. Saat ini, Jurgen Klopp bisa berbangga hati ketika Liverpool bisa bermain dengan dua macam pendekatan, yaitu pressing garis tinggi dengan intensitas yang juga tinggi dan bermain dengan blok rendah, untuk mengkeksploitasi serangan balik.
Satu hal yang pasti, laga Piala Super Eropa ini seharusnya menjadi medan pembuktian kalau Lampard bukan pelatih dungu. Ia sudah punya alat untuk belajar, yaitu kekalahan dari United dan juga punya catatan cara bermain Liverpool. Kalau sudah punya bahan untuk belajar, apa ya “siswa baru” ini masih akan gagal ketika kuis harian?
Ya bisa sih, kalau malas belajar.