MOJOK.CO – Jika kinerja wasit Liga 1 tidak cepat diperbaiki, dugaan match fixing makin kencang. Martabat liga bakal jatuh.
Saya sudah lupa kapan terakhir Liga 1 Indonesia tidak diwarnai insiden. Entah itu kerusuhan suporter, gaji pemain tidak dibayarkan, masalah lisensi klub, pembinaan pemain muda yang tidak serius, hingga buruknya kinerja wasit. Kali ini, dugaan match fixing malah mengemukan. Suram sekali.
Istilah match fixing justru keluar langsung dari mulut Ahmad Riyadh, Ketua Komisi Wasit. “Kalau human error, itu bisa dibina. Kecuali jika ditemukan indikasi match fixing atau kesalahan fatal lainnya. Nanti tunggu saja investigasi yang kami lakukan,” kata Ahmad, dikutip pikiran-rakyat.com.
Kesalahan fatal yang masuk dalam kategori match fixing sebetulnya sangat sederhana, yaitu keputusan wasit Liga 1 yang berpengaruh ke skor akhir. Banyak keputusan wasit Liga 1 yang “dicurigai” mengarah ke kesalahan fatal tersebut.
Barito Putera, misalnya, harusnya mendapat penalti. Menit 18, bek kanan Barito, Amiruddin Bagas Kaffa, dijatuhkan Rio Saputro, pemain PSIS Semarang. Jika melihat rekaman ulang, insiden itu terjadi di dalam kotak penalti. Namun, Bachrul Ulum, wasti yang bertugas malam itu, hanya memberi tendangan bebas untuk Barito.
Dua asisten wasit, Sugiarto dan Hamdani ikut mendapat sorotan. Masalahnya, insiden Bagus Kaffa dan Rio tidak terjadi di garis batas kotak penalti, tapi benar-benar sudah di dalam. Keputusan wasit ini berpengaruh ke skor akhir. Bisa saja, Barito menyamakan kedudukan lewat penalti dan merangkak naik di klasemen Liga 1.
Insiden lain yang membuat dugaan match fixing terjadi ada di laga Persebaya Surabaya vs Persela Lamongan. Persebaya seharusnya memenangi laga tersebut jika wasit Musthofa Umarella “lebih jeli”. Menit 35, tendangan bebas Jose Wilkinson terlihat sangat jelas sudah melewati garis gawang. Namun, wasit diam saja. Skor akhir 1-1 dan Persebaya gagal memanjat ke posisi tujuh klasemen sementara Liga 1.
Mundur ke 17 Oktober 2021, Persija Jakarta juga tidak puas dengan kepemimpinan wasit Oki Dwi Putra. Saya kutipkan tiga poin protes Persija kepada kepemimpinan wasit Liga 1:
“Ada tiga poin yang menjadi protes Persija kepada wasit. Pertama, terjadi pelanggaran keras pada Ilham Rio Fahmi yang dilakukan oleh pemain Arema FC, Muhammad Rafli, pada babak 1 di dalam kotak penalti. Di momen itu wasit tidak memberikan sikap tegas terhadap pelanggaran tersebut.”
“Kedua, wasit Oki Dwi Putra menganulir gol Marko Simic pada babak kedua. Menurut pengamatan tim pelatih dan pemain, seharusnya gol tersebut tidak dianulir karena Simic terlebih dahulu menyentuh bola sebelum melakukan kontak badan dengan penjaga gawang lawan.”
“Ketiga, dengan banyaknya momen yang menghentikan pertandingan, seperti pelanggaran, wasit hanya memberikan tambahan waktu selama tiga menit saja.”
“Kami tidak perlu bantuan dari wasit untuk menang. Kami hanya perlu memimpin secara fair. Saya bukan tipe pelatih yang suka menangis. Tapi hari ini menurut saya Persija tak layak kalah,” tutur pelatih Persija, Angelo Alessio.”
Masih banyak lagi keputusan wasit Liga 1 yang bikin kecewa. Dua contoh di atas, kasus Barito dan Persebaya, menunjukkan bahwa kepemimpinan wasit sangat memengaruhi hasil akhir. Sebuah fakta yang membuat istilah match fixing mengudara.
Selain dugaan match fixing, saya pribadi separuhnya setuju dengan keterangan yang disampaikan Ahmad Riyadh. Insiden yang melibatkan wasit adalah bagian dari human error. Separuhnya lagi, menjadi indikasi kesiapan PSSI menyiapkan wasit yang kompeten. Ya kalau kompeten, nggak mungkin dugaan match fixing terjadi.
Sebetulnya, kritikan untuk wasit tidak hanya terjadi di Liga 1. Pengadil di Liga 2 juga sama anehnya. Pembaca bisa melihat lagi rekaman pertandingan PSIM Jogja vs AHHA Pati. Bagaimana bisa hakim garis tidak memahami sebuah situasi yang namanya coming from behind.
Pemain yang muncul dari belakang, tidak mungkin offside. Namun, wasit tetap mengangkat bendera tanda terjadi kesalahan. Komentator dan rekaman ulang menegaskan kejadian itu. Kejadian ini membuat dugaan match fixing makin kuat, bukan?
Jika match fixing memang betulan terjadi, artinya Liga 1 (dan Liga 2) sudah tidak nikmat lagi untuk ditonton. Ketika hasil akhir bisa diatur, ya untuk apa ada pertandingan. Pakai kocokan arisan saja biar cepat selesai dan tidak menghamburkan banyak sumber daya.
Sumber daya yang dihamburkan, contohnya, keberadaan satgas anti-mafia bola yang berdiri di samping lapangan. Apa guna satgas yang hadir di lapangan? Jika memang terjadi, nggak mungkin transaksi match fixing dilakukan terang-terangan ketika sepak pojok, misalnya.
Semua sumber daya itu bisa dialihkan untuk peremajaan wasit saja. Bisa dengan mengirim wasit ikut kursus lagi atau merekrut wasit baru.
Mau pasang VAR?
VAR cuma alat bantu. Yang menentukan kinerja VAR tetap manusia di belakang alat tersebut. Kompetensi manusia adalah kuncinya. Kalau sampai putaran kedua tak juga terselesaikan, dugaan match fixing bakal makin kencang dan Liga 1 kehilangan martabatnya.
BACA JUGA Marhaban ya Keraguan, Liga 1 Siap Sepak Mula Diiringi Mendung Kepercayaan dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.