MOJOK.CO – Otak Manchester United tidak menyadari kalau satu tubuh secara utuh itu bukan lagi “seseorang” melainkan bangunan masalah yang sulit disembuhkan.
Kekalahan Manchester United dari Manchester City menyiratkan banyak hal. Selain menggambarkan dangkalnya pengetahuan Ole Gunnar Solskjaer tentang sistem permainan, kekalahan ini juga menjadi gambaran buruknya skuat Manchester United. Melihat daftar pemain, Manchester United seperti suka sekali merawat para medioker.
Kita bisa melihatnya dari gaji yang diterima oleh beberapa pemain medioker. Dimulai dari Ole sendiri yang menerima 145 ribu paun per pekan. Gaji yang cukup tinggi di Liga Inggris dan tidak sepadan dengan “tuntutan”.
Tahukah kamu, Ole adalah manager dengan gaji tertinggi ketiga di Liga Inggris. Manajer asal Norwegia itu menerima 7,5 juta paun per musim. Dia hanya kalah darI Pep Guardiola yang menerima 20 juta paun dan Jose Mourinho yang mengantongi 8,5 juta paun.
Sebagai perbandingan, pelatih Liverpool, Jurgen Klopp, juga menerima 7,5 juta paun per musim. Di awal-awal kepelatihannya, Klopp sudah menunjukkan kalau dia punya identitas yang akan ditanamkan. Meski mengakhiri musim di peringkat 8, Klopp menjanjikan perubahan nyata. Dan memang terbukti di akhir musim 2018/2019 dan kini Liverpool diambang juara Liga Inggris.
Musim 2019/2020 adalah musim perdana Ole bersama Manchester United. Jargon yang dia bawa adalah meremajakan skuat dan menyuntikkan kemudaan ke dalam skuat. Satu-satunya yang Ole tunjukkan sejauh ini hanya “memainkan” pemain muda saja. Tidak ada perubahan dari sisi kekuatan skuat dan mental pemain.
Setelah Ole, kita bergeser ke skuat. Phil Jones, bek Manchester United yang oleh fansnya sendiri diminta untuk pensiun, menerima 120 ribu paun per pekan. Jesse Lingard, wonderkid selamanya dan calon peserta Britain’s Got Talent itu menerima 100 ribu paun. Ashley Young, yang menua dan kehilangan kualitas, menerima 110 ribu per pekan. Juan Mata, yang gagal dimaksimalkan Ole, menerima 140 ribu per pekan. Luke Shaw? Dia menerima 195 ribu per pekan.
Gaji-gaji tinggi di atas tidak merefleksikan banyak hal. Beberapa di antaranya adalah attitude dan determinasi untuk membantu Ole. Jones dan Mata, misalnya, yang kini berstatus senior, tidak pernah “maju ke depan” untuk mengajak rekannya membantu Ole. Atau, jangan-jangan, Ole sendiri tidak bisa menjadikan dirinya sendiri sebagai contoh.
David Moyed, Louis van Gaal, hingga Jose Mourinho adalah tiga pelatih yang mengiringi Manchester United ke titik kulminasi. Atas nama narasi menggantikan Sir Alex Ferguson, masalah Manchester United seakan-akan berhenti di pelatih saja. Namun, tidak bisa dimungkiri kalau sosok Sir Alex terlalu besar dan kesenangan Setan Merah “memelihara” pemain medioker memang bersumber dari dirinya.
Silakan saya didebat dan diledek, tetapi Sir Alex yang membuat Manchester United hobi memelihara pemain medioker. Namun, Sir Alex punya sesuatu di dalam dirinya yang membuat barisan medioker itu bisa bermain seperti pemain dari tier 1 kelas elite.
Samar-samar saya mencoba mengingat sebuah pertandingan Manchester United. Sir Alex memainkan Tom Cleverly dan Anderson sebagai dua pivot. Di kanan dan kiri, sebagai pemain sayap, ada Fabio dan Rafael. Kakak dan adik dari Brasil yang overrated itu. Namun, di ujung musim, United menjadi juara.
Kepercayaan Sir Alex kepada pemain-pemain muda itu berbuah manis. Dia memacu Cleverly dan Anderson menjadi pemain “sungguhan”. Meski masih muda, keduanya tidak punya rasa takut untuk bertarung di Liga Inggris.
Diakui saja, Sir Alex bukan pelatih yang luar biasa jago untuk urusan taktik. Dia boleh kalah canggih dari Arsene Wenger atau kalah modern dari Pep Guardiola. Namun, di ujung musim, Sir Alex lebih berprestasi ketimbang dua pelatih itu. Kalau dirimu nggak jago-jago amat soal taktik, setidaknya kamu bisa menanamkan attitude sempurna kepada pemain.
Satu hal penting itu yang gagal diperlihatkan Ole. Sudah skuatnya tidak seimbang, Ole tidak menunjukkan pembawaan diri yang tepat. Ketika kalah dari Arsenal, Ole justru tersenyum. Kamu tahu, pemain sepak bola selalu memerhatikan gesture dan omongan pelatih ketika berbicara kepada wartawan. Sikap pelatih, sedikit banyak bisa terlihat dari caranya menangani wartawan ketika tertekan. Meski terkadang, pelatih pandai menyembunyikan perasaan sesungguhnya.
Mantan pemain Manchester United, Robin van Persie mengkritik Ole yang malah memamerkan senyum setelah kalah. Robin tahu, di saat-saat krisis seperti ini, pemain perlu merasakan ketegasan dari pelatih. Jangan sampai, pelatih justru terlihat lembek. Sikap itu pasti menular ke pemain dan terlihat di atas lapangan.
Kekhawatiran Robin terbukti, kok. Ketika kalah dari Manchester City. Hanya David De Gea yang perform meski nggak istimewa amat. Apakah mendepak Ole menjadi jawaban instan?
Ya dan tidak….
Ya jika manajemen sadar kalau mereka juga bagian dari masalah. Manajemen punya andil besar dari sekian kegagalan membeli pemain sejak era David Moyes. Contohnya, manajemen gagal meyakinkan Moyes untuk membeli Toni Kroos dan Cesc Fabregas. Moyes justru memilih Marouane Fellaini. Padahal, Fabregas sendiri dia sudah berbicara dengan Moyes beberapa kali.
Bagaimana akhir karier Fellaini bersama United. Pemain bongsor itu akan dikenal sebagai seorang yang menjambak rambut Matteo Guendouzi karena bisa dilewati dengan mudah. Lingard, Young, dan Jones, adalah tiga pemain yang lebih sering “menjadi badut” ketimbang protagonis.
Mendepak Ole tidak akan jadi jawaban ketika manajemen tidak juga sadar kalau mereka juga biang krisis. Sesederhana itu.
Makanya, di bagian judul saya tulis “Manchester United” bukan merujuk ke satu orang saja. Masalah United ada di dalam tubuh mereka. Sampai-sampai “otak” United tidak menyadari kalau satu tubuh secara utuh itu bukan lagi “seseorang” melainkan bangunan masalah yang sulit disembuhkan.
BACA JUGA Memuji Sikap Manajemen Mu yang Terus Percaya Ole Gunnar Solskjaer atau tulisan Yamadipati Seno lainnya.