MOJOK.CO – Menentukan prioritas adalah sebuah keharusan bagi Liverpool ketika menghadapi Liga Champions. Jika tidak bijak menerapkan rotasi, back to back Real Madrid hanya angan yang nggak mungkin digapai.
Liverpool memang layak kalah. Mereka membiarkan Jan Oblak tidak bekerja sepanjang malam selain melakukan goal kick dan minum air putih saja di sela-sela pertandingan. Lebih banyak memegang bola, mereka justru tidak bisa memaksimalkannya. Pada akhirnya, skor klasik 1-0 untuk Atletico Madrid adalah hal yang wajar.
Hal yang wajar karena beberapa alasan. Pertama, sejak dilatih Diego Simeone, Atletico memang persetan betul dengan penguasaan bola. Ketika Atletico menjadi juara La Liga, rata-rata penguasaan bola mereka cuma 48,5 persen saja. Mereka baru kalah ketika lawan bisa efisien memanfaatkan penguasaan bola. Kalau tidak, ya wasalam.
Bicara soal efisien, Liverpool perlu bertekur dan memikirkannya baik-baik. Mempertahankan gelar juara, akan selalu lebih sulit ketimbang mengejarnya. Bagaimana Real Madrid bisa back to back Liga Champions, bahkan sampai tiga kali? Sederhana saja, kok. Jawabannya ada pada kata “efisien”.
Real Madrid berubah menjadi semacam monster babak sistem gugur. Adalah hal yang biasa ketika mereka tampil tidak stabil sepanjang babak penyisihan grup. Namun, begitu sampai di babak sistem gugur, Real Madrid menjadi sangat sulit dikalahkan. Mereka tidak bermain indah. Bahkan tidak menomorsatukan penguasaan bola. Mereka efisien ketika memegang bola.
Kuncinya ada pada rotasi pemain. Suatu kali, Real Madrid berani mengistirahatkan hingga sembilan pemain di ajang La Liga. Tujuannya, supaya bisa tampil dengan skuat terbaik di Liga Champions. Alhasil, semua pemain kunci selalu berada dalam level kebugaran terbaik. Dengan demikian, Madrid selalu bisa menghadapi pertandingan dengan intensitas tinggi dalam durasi yang panjang.
Perubahan kedua yang dilakukan Zinedine Zidane adalah pendekatan cara bermain. Mulai dari babak 16 besar, Real Madrid bermain semakin sederhana. Namun, meski terlihat sangat sederhana, mereka justru sangat efektif. Yang paling utama dari perubahan cara bermain ini adalah memaksimalkan Cristiano Ronaldo yang efisien memanfaatkan peluang di depan gawang lawan.
Apakah Liverpool sudah dan berani melakukannya? Melakukan rotasi hingga sembilan pemain ketika tampil di Liga Inggris? Ketika melawan Norwich City, Liverpool hanya mengistirahatkan dua pemain utama; Sadio Mane dan Fabinho. Selebihnya, semua pemain utama bermain sejak sepak mula. Apa, sih, yang ingin masih dikejar? Juara Liga Inggris? Bermain dengan tim kedua pun mereka sudah lebih dari mampu menghentikan puasa gelar selama ratusan tahun.
Ingin mengejar rekor tak terkalahkan Arsenal? Percaya saya. Rekor itu nggak ada gunanya. Terutama kalau membuat Liverpool tersingkir dari Liga Champions. Back to back seperti Real Madrid menjadi seperti mimpi dan mitos juara bertahan selalu gagal mempertahankan gelar bakal kembali lahir.
Liverpool perlu sangat berhati-hati dengan Atletico Madrid. Rekor di Liga Champions bukan cuma catatan sejarah saja. Rekor di kompetisi yang wingit ini punya dampak besar di psikologi pemain. Tahukah kamu, ketika bermain di babak sistem gugur Liga Champions, Diego Simeone belum pernah kalah dengan sebuah tim yang tidak diperkuat Cristiano Ronaldo.
Diego Simeone hanya kalah dari Real Madrid dan Juventus di babak sistem gugur. Baik Real Madrid maupun Juventus sama-sama diperkuat Ronaldo ketika mengalahkan Atletico. Leg kedua di kandang Liverpool, mungkin, bakal jadi ujian paling berat bagi Jurgen Klopp.
Well, apakah peluang The Reds untuk lolos ke babak selanjutnya sudah tertutup? Ya jelas tidak. Dan ini tidak ada hubungannya dengan tipisnya skor leg pertama. Paling tidak, Liverpool punya “kesombongan”. Percaya saya, mereka membutuhkan kesombongan itu lebih dari yang lain.
Kepada BT Sport, Andrew Robertson menegaskan kesombongan itu. Dia bilang: “Mereka merayakan kemenangan ini seakan-akan sudah memenangi babak ini. Tapi, kita lihat saja nanti. Kami punya beberapa minggu untuk persiapan dan mereka akan datang ke Anfield. Kami tahu fans Liverpool pasti memenuhi stadion. Jadi, terserah mereka mau datang atau tidak.”
Kesombongan memang tidak baik. Namun, untuk kali ini, demi mengejar rekor back to back Real Madrid, Liverpool harus sombong. Kesombongan ini menunjukkan kepercayaan diri yang tinggi. Melawan sebuah tim yang bermain dengan intensitas tinggi, percaya kepada kemampuan diri sendiri adalah langkah pertama.
Saya tahu, Liverpool memang punya sejarah comeback yang gemilang. Namun, kali ini mereka harus melompati tembok yang berbeda. Atletico nggak cuma jago bertahan. Endurance dan kekuatan fisik pemain membuat mereka bisa meladeni high intensity pressing Liverpool. Untuk menjadi periksa, Atletico bukan Barcelona.
So, pada akhirnya, menentukan prioritas adalah sebuah keharusan bagi Liverpool ketika menghadapi Liga Champions. Jika tidak bijak menerapkan rotasi, back to back Real Madrid hanya angan yang nggak mungkin digapai.
BACA JUGA Betapa Munafiknya Jurgen Klopp Bersama Liverpool atau tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.