MOJOK.CO – Joko Driyono tersangka. Pelaksana Tugas Ketua Umum PSSI yang menggantikan Edy Rahmayadi itu dipandang tak tersentuh. Namun, segalanya mulai berubah…
Kamis, 24 Januari 2019, Satgas Anti-Mafia Sepak Bola mencecar Joko Driyono dengan 45 pertanyaan. Pemeriksaan yang dilakukan di Polda Metro Jaya. Mulai dari pukul 11 pagi hingga 10 malam. Saat itu, beliau diperiksa sebagai saksi.
“Saya dimintai keterangan mengenai struktur, fungsi, kewenangan, sistem manajemen PSSI, kewenangan Exco PSSI, komite kesekjenan, prosedur tentang keuangan dan lainnya,” ujar Joko Driyono di Polda Metro Jaya, seperti dikutip oleh Tirto.
Jatuh di hari Kamis lagi, ketika Satgas Anti-Mafia Sepak Bola melakukan penggeledahan dan penyitaan di rumah Joko Driyono, Apartemen Taman Rasuna, Tower 9, Unit 18C.
Sekira pukul 21.30 WIB, tim berkoordinasi dengan chief security apartemen tersebut yakni Debot PJ untuk menyaksikan proses penggeledahan. Pukul 22.03 WIB, penyidik bertemu dengan Joko Driyono di kamarnya. “Tim mulai menggeledah dan disaksikan oleh Joko Driyono serta pihak petugas keamanan apartemen,” ucap Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo.
Pukul 23.30 WIB, tim melanjutkan penggeledahan. Polisi menyita barang bukti satu laptop merek Apple warna silver beserta charger, satu buah ipad merek Apple warna silver beserta charger, dokumen terkait pertandingan, buku tabungan dan kartu kredit, uang tunai, empat buah bukti transfer, tiga unit telepon seluler warna hitam.
Lalu, disita juga enam unit telepon seluler, satu bundel dokumen PSSI, satu buku catatan warna hitam dan satu buku note kecil warna hitam, dua buah flashdisk, satu bundel surat, dua lembar kuitansi, satu bundel dokumen, dan satu buah tablet merek Sony warna hitam.
Jumat (15/2), Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum, Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia, Joko Driyono tersangka. Satgas Anti-Mafia Sepak Bola menetapkan Joko Driyono (Jokdri), sebagai tersangka pengaturan skor.
Sebuah kejutan hadir di Jumat malam, ketika banyak pemerhati hingga fans menyangka sosok Jodri tidak tersentuh. Maklum, beliau yang mengawali karier sebagai jurnalis, sudah berada di dalam tubuh PSSI selama dua dekade.
Dua dekade, enam Ketua Umum PSSI, mulai dari Azwar Anaz hingga Edy Rahmayadi, Joko Driyono tegar tak goyah. Beliau menyaksikan secara langsung gejolak di dalam tubuh PSSI. Suara-suara miring pun muncul, menyebut beliau sebagai manusia yang paling berkuasa di PSSI. Pengaruhnya sangat kuat. Sosok kalem itu, sekali lagi, seperti tidak tersentuh.
Namun, kehadiran Satgas Anti-Mafia Sepak Bola seperti menggerus “kerajaan” PSSI. Satu per satu anggota PSSI ditangkap, mulai dari Exco hingga komite wasit. Kanker yang sudah menggerogoti organ dalam PSSI itu mulai diberantas.
Tak perlu dibantah, citra buruk itu sudah kadung menjadi milik PSSI. Mundurnya Edy Rahmayadi dari jabatan Ketua Umum pun dianggap bukan solusi masalah. Saking sakitnya, yang bermasalah bukan lagi per individu, melainkan sekelompok. Ketika kelompok itu diusik, mekanisme bertahan hidup langsung aktif. Sebuah situasi yang bikin kerja perbaikan PSSI menjadi begitu sulit dilakukan.
Fajar Junaedi, dosen dan peneliti Universitas Muhammadiyah Yogyakarta mencuit sebuah analogi yang menarik. Beliau bilang begini:
“Saat orang-orang jahat berkuasa di sebuah institusi, mereka akan menyingkirkan orang yang baik agar kejahatannya tidak terhalangi. Ketika orang-orang jahat sudah teradili oleh palu hakim, orang baik harus didorong kembali lagi. Logika inilah yang terjadi di PSSI.”
Orang baik, kata orang, tidak akan bisa hidup di tengah sebuah percaturan politik. Politik itu, bukan melulu soal Pilpres atau Pileg. Politik adalah sebuah cara bertindak untuk menangani sebuah masalah. Maka, ada yang namanya istilah “berpolitik” untuk menyebut sebuah usaha perorangan atau kelompok untuk mengatasi sebuah masalah.
Ketika masalah sepak bola Indonesia coba diselesaikan secara “politik”, lahir negosiasi untuk mengamankan kehidupan orang-orang yang terindikasi “jahat”. Seperti misalnya, Satgas Anti-Mafia Sepak Bola menetapkan status tersangka Joko Driyono terkait pengaturan skor, orang-orang “pembela” akan mendistraksi publik dengan pernyataan yang berkebalikan.
Alasan-alasan konyol dan tidak masuk logika akan mereka gunakan untuk berteriak di ranah publik. Mereka ingin mendistraksi publik dari kenyataan yang ada. Maka, ketika sepak bola Indonesia sudah sampai pada titik ini, apa yang perlu kita lakukan?
Kita, yang saya maksud adalah suporter. Mengandalkan mekanisme internal PSSI untuk mengubah keadaan tidak sepenuhnya efektif. Misalnya, Joko Driyono tersangka, tetapi masih dapat memimpin PSSI dari balik jeruji. Siapa yang akan menggantikannya ketika KLB berlangsung? Suara siapa yang paling penting untuk dikawal? Betul, suara voters yang perlu dipantau.
Mohamad Ilham, Sport Editor Jawa Pos sudah menyampaikan cara suporter mengganti kepengurusan PSSI. Caranya sangat sederhana. Saya kutipkan utuh supaya mudah kamu baca:
2. Suporter emang gak punya hak suara. Yg punya voters. Jadi, voters lah yg ditekan untuk menuntut perubahan. Voters itu siapa. Semua klub liga 1, 16 besar klub liga 2, 16 besar klub liga 3. Asprov, Plus beberapa unsur lain. Yg dekat dg suporter adalah klub dan asprov.
— Mohammad Ilham (@iIhamzada) January 23, 2019
4. Klo asprov g mau. Mungkin suporter sulit menekan. Klo klub g mau lebih mudah menekan. Sebab ada faktor ekonomi yg menghubungkan klub dg suporter. Manfaatkan itu. Boikot beli merchandise klub. Klo perlu boikot datang ke stadion.
— Mohammad Ilham (@iIhamzada) January 23, 2019
6. Ayo. Mulai dari sekarang. Mumpung ada Piala Indonesia. Jngan tunda lagi. Klo kita menunggu PSSI berubah dg sendirinya, sampai kapan. Ayo kita mafia bagian dari perubahan
— Mohammad Ilham (@iIhamzada) January 23, 2019
8. Klo bukan kalian para suporter yg menggerakkan perubahan, terus siapa lagi? masih tunggu 2020 kongres? Tahun ini kita dipermalukan Bung. Malu jadi pecinta bola Indonesia ?
— Mohammad Ilham (@iIhamzada) January 23, 2019
10. Ingat lagi. Hitung kembali uang dan waktu yg kalian suporter habiskan demi mendukung tim kebanggaan dan timnas. Ini saatnya menagih loyalitas klub kepada suporternya. Jangan hanya mau dikeruk duit tiket dan beli merchandise aja. Tapi g mau ikut memperbaiki sepak bola kita
— Mohammad Ilham (@iIhamzada) January 23, 2019
Suporter, bagi saya, bukan hanya sebuah organisasi yang menghabiskan waktu untuk bernyanyi mendukung klub saja. Suporter punya suara, dan harus disuarakan. Jika tidak bisa melakukannya lewat tribun stadion, suara itu bisa dikumandangkan lewat berbagai platform. Seperti kata Mas Ilham, yang penting adalah adanya kehendak untuk menerima keadaan, lalu mengubahnya.
Vox populi, vox dei. Sebuah ungkapan dalam Bahasa Latin yang berarti ‘suara rakyat adalah suara Tuhan’. Untuk sepak bola Indonesia, suara suporter adalah suara perubahan. Perubahan, sebuah proses penciptaan kembali, seperti kerja Tuhan menciptakan dunia.
Jika dunia PSSI dan masa depan sepak bola Indonesia ini ingin diperbaiki, suara suporter yang paling sakti. Sudahi gengsi daerah, sudahi rivalitas kebablasan hingga merenggut nyawa, sudahi sikap bodoh memelihara dan mewariskan kekerasan. Jika suporter terus terbelah, di situ kejahatan berkembang liar seperti jamur di kala musim hujan.