MOJOK.CO – Titik akhir tindakan LeBron James adalah kesetaraan manusia. Sebuah aksi terpuji. Lantas, titik akhir dari arogansi Ibrahimovic itu apa?
“Saya suka LeBron James. Dia itu fenomenal, tapi saya tidak suka ketika orang dengan status tertentu bicara politik. Lakukan saja hal-hal yang dia jago. Saya bermain bola karena sepak bola adalah hal yang saya bisa. Saya bukan politikus. Jika saya ingin jadi politikus, saya baru terjun ke dunia politik,” kata Zlatan Ibrahimovic untuk “mengkritik” LeBron James.
Kalimat Ibrahimovic, jika dipikirkan dengan kepala dingin, terasa sangat cringe. Namun, dunia seperti diam saja. tidak ada reaksi berlebihan kepada Ibrahimovic dalam durasi yang panjang. Pada titik tertentu, dunia sudah paham dengan arogansi pemain AC Milan itu.
“Inilah kesalahan pertama orang-orang terkenal ketika mereka menjadi terkenal. Menurut saya, lebih baik mereka menghindari topik tertentu dan lakukan saja hal-hal yang mereka jago atau mereka bakal melakukannya dengan tidak benar,” tambahnya. Kalimat yang menegaskan bahwa kini, Ibrahimovic mencapai level arogansi tertinggi.
Ibrahimovic memang tidak bersalah punya pendapat seperti itu. Toh inilah free world, di mana semua orang, apalagi orang terkenal seperti Ibrahimovic, bebas menyampaikan pendapatnya. Sebelum kena serang buzzer dan polisi virtual, semuanya boleh.
Namun, di sisi lain, kritikan Ibrahimovic kepada LeBron James jelas tidak pada tempatnya. Terdengar sangat arogan, bahkan munafik. Seakan-akan, dunia olahraga itu dunia yang murni. Padahal, sudah sejak lama, olahraga dan sepak bola pada khususnya, menjadi alat politik.
Saya tidak akan menggunakan teori-teori politik yang njelimet. Dua hal yang saya ketahui adalah bahwa politik adalah tindakan dan manusia punya kebebasan untuk bertindak serta mengungkapkan pendapatnya. Ya seperti Ibrahimovic yang menyerang LeBron James dengan arogansinya itu. Bebas.
Ibrahimovic seperti enggan melihat latar belakang perjuangan LeBron James dan black people yang termarginalkan di Amerika Serikat. Politik LeBron James tidak memperjuangkan posisi di parlemen atau jabatan tertentu. Dia dan rekan satu gagasan berjuang untuk menghapus racial injustice.
Logikanya, Ibrahimovic pernah berkarier di Amerika Serikat bersama LA Galaxy. Selama dua tahun di sana, agak sulit membayangkan, Ibrahimovic tidak mendengar tentang ketidakadilan yang diderita kaum minoritas. Kecuali jika dia memang menutup kuping dan hati.
Logikanya, Ibrahimovic harus merasa gusar ketika para pesepak bola berlutut sebagai bentuk solidaritas atas gerakan Black Lives Matter. Jangan salah, aksi berlutut juga sebuah tindakan politik atau cara bertindak dalam menghadapi atau menangani suatu masalah (KBBI).
LeBron James, Colin Kaepernick, dan Kevin Durant bertindak secara nyata untuk menyadarkan banyak orang bahwa ketidakadilan kepada orang kulit hitam dan kulit berwarna itu nyata. Padahal, hakikatnya, semua manusia adalah setara.
Lagipula, ketika Ibrahimovic menyerang LeBron James, titik munafiknya mencapai titik tertinggi. Ketika dunia meradang setelah kematian George Floyd sebagai akibat dari kekerasan polisi, Ibrahimovic juga menyampaikan sebuah pesan dengan narasi “We are ONE”. Bukankah itu juga gerakan politik?
Manusia memang tempatnya salah, wadahnya dosa, wujudnya alpa. Sebagai pemain AC Milan, Ibrahimovic seperti lupa bahwa salah satu legenda mereka, Zvonimir Boban, sudah melawan opresi ketika aktif bermain bola. Tentu kamu masih ingat tendangan Boban ke arah polisi yang melakukan kekerasan kepada suporter Kroasia, bukan?
Tindakan Boban juga bisa dikategorikan sebagai tindakan politik. Mengapa Ibrahimovic lupa akan hal itu? Apakah arogansinya sudah terlalu besar sehingga mendesak otak di dalam tempurung kepalanya?
Pesepak bola yang mendaku diri sebagai yang terbaik padahal belum pernah juara Liga Champions dan Piala Dunia ini juga seakan-akan lupa dengan nama Kakha Kaladze. Setelah pensiun, Kakha Kaladze masuk politik dan berhasil menjadi Perdana Menteri Georgia.
Meski kiprah di dunia politik terjadi setelah pensiun, kesadaran akan bertindak (tindakan politik) sudah pasti terpupuk sejak usia belia. Apalagi Kaladze bukan anak presiden yang lini usahanya adalah jasa untuk kemudian tiba-tiba masuk gelanggang politik dan memenangi pemilihan daerah.
Pada akhirnya, tindakan politik tidak pernah sebatas mengejar jabatan. Titik akhir dari tindakan LeBron James adalah kesetaraan manusia. Sebuah aksi terpuji memanfaatkan “nama besar” demi resonansi pesan mulia. Lantas, titik akhir dari arogansi Ibrahimovic itu apa? Pengakuan dunia bahwa pemikirannya cemerlang?
Munafik, arogan.
BACA JUGA AC Milan dan Ibrahimovic Tak Akan Sia-sia, Asal… dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.