MOJOK.CO – Final kepagian itu, Arsenal vs Atletico Madrid berakhir imbang dengan skor 1-1. Kekecewaan Arsenal adalah cerminan wajah Arsene Wenger. Sebuah parade kekecewaan.
Laga antara Arsenal vs Atletico Madrid berjalan penuh kelokan yang disebut drama. Sejak awal babak pertama, hingga penghujung laga, laga semifinal Liga Europa ini tidak mengecewakan. Setidaknya untuk fans Atletico Madrid yang membawa pulang gol tandang yang krusial. Sementara itu, bagi fans Arsenal, inilah laga-laga khas Arsene Wenger di akhir masa baktinya.
Arsenal bermain dengan intensitas yang dibutuhkan untuk meladeni kedisiplinan khas Atletico. Langsung masuk gigi dua, The Gunners memanfaatkan dua sisi lapangan sebagai kanal progres paling dominan. Penumpukan pemain di lapangan tengah, terutama di depan kotak penalti, membuat sisi lapangan menjadi cara paling masuk akal untuk masuk ke kotak penalti Atletico.
The Gunners bahkan “diberi keuntungan besar” oleh wasit ketika Šime Vrsaljko diusir dari lapangan karena akumulasi dua kartu kuning. Dua pelanggaran yang terlambat membuat bek asal Kroasia tersebut mandi lebih dulu. Menyusul Vrsaljko, pelatih Atletico, Diego Simeone juga diusir wasit karena protes secara berlebihan. Wasit terlihat begitu kejam. Sekejam takdir yang mampir ke rumah Arsenal.
Semenjak bermain dengan 10 pemain, pilihan Atletico menjadi sangat terbatas. Pilihan terbaik Atletico adalah bertahan sebaik mungkin ketika Arsenal menekan dengan intensitas tinggi. Tujuannya tentu untuk tidak kalah dengan skor besar sehingga leg kedua di rumah sendiri akan berjalan lebih mudah.
Dan memang itulah yang ditunjukkan Atletico. Klub dari Spanyol itu menunjukkan makna kerja keras. Atletico berlari lebih jauh, berkeringat lebih banyak, untuk mengawasi ruang-ruang yang luas karena bermain dengan 10 pemain. Pujian perlu diberikan kepada Atletico. Saya tidak akan pernah bosan untuk menegaskan bahwa bertahan adalah kerja paling berat di sepak bola.
Setelah babak pertama berakhir dengan sama kuat 0-0, Arsenal terus mempertahankan intensitas tinggi itu. Di awal babak kedua, anak asuh Arsene Wenger itu mencoba variasi lebih banyak. Salah satunya dengan memindahkan bola langsung ke sisi lapangan, tanpa melewati gelandang tengah terlebih dahulu, seperti yang terlihat di babak pertama.
Hasilnya, salah satu umpan silang dari sisi kanan pertahanan Atletico berhasil menyelinap masuk ke kotak penalti. Alexandre Lacazette melompat lebih cepat ketimbang bek Atletico dan menyundul masuk bola ke tiang jauh, yang gagal dijangkau Oblak. Unggul 1-0, Arsenal mengejar gol kedua demi leg kedua yang lebih bersahabat.
Namun, seperti sudah tertulis dalamm buku takdir di surga, penyakit medioker Arsenal akan kambuh di momen-momen krusial. Di penghujung babak kedua, umpan vertikal sederhana dari wilayah Atletico dikejar Antoine Griezmann. Di depannya, Laurent Koscielny berusaha mengantisipasi. Namun apa daya, blunder, nama tengah Arsenal justru terjadi.
Koscielny gagal membuang bola. Griezmann mencuri bola itu dan melepaskan tembakan mendatar melewati selangkangan David Ospina yang sebetulnya bermain bagus. Bola yang memantul selangkangan Ospina, secara ajaib, kembali ke arah Griezmann. Dengan sontekan sederhana, striker Prancis itu menyamakan kedudukan.
Kekecewaan, cerminan akhir masa bakti Arsene Wenger
Ketika kabar mundurnya Arsene Wenger tersiar, kegetiran terasa. Bahkan boleh kamu sebut sebagai kesedihan. Sedih, karena Wenger gagal menang di pertandingan terakhirnya di kompetisi Eropa di Stadion Emirates. Namun, pada titik tertentu, hasil imbang yang getir antara Arsenal vs Atletico Madrid ini adalah cerminan sejarah Wenger sendiri.
Arsenal hampir selalu di atas angin ketika melawan Atletico. Sama seperti masa keemasan Wenger bersama Arsenal selama kurang lebih 10 tahun. Musim 2015/2016, musim surealis, ketika banyak klub papan atas bermain di bawah performa terbaik, Arsenal gagal mengejar Leicester City.
Sebuah musim di mana kesempatan menjadi juara terasa begitu nyata bagi Arsenal, untuk hanya sirna lantaran kesalahan-kesalahan medioker yang berulang, ya dari pemain, ya dari pelatih. Sebuah “nilai” yang mendarahdaging. Fans Arsenal berpikiran jernih pasti paham dengan kisah ini.
Kegagalan itu berlanjut di musim-musim selanjutnya, ketika Arsenal bahkan tak mampu masuk ke empat besar Liga Primer Inggris untuk masuk ke Liga Champions. Sama seperti ketika Koscielny menbuat blunder dan mengizinkan Griezmann mencetak gol bagi Atletico. Parade kekecewaan itu mewarnai penghujung masa bakti Arsene Wenger bersama Arsenal.
Leg kedua di kandang Atletico akan terasa sangat berat bagi Arsenal. Apakah peluang untuk lolos ke babak final masih ada? Tentu saja masih. Hanya saja, syaratnya, Arsenal harus berani naik ke surga dan menghapus suratan takdir bermain medioker itu.
Nanti, di pertandingan paripurna Arsene Wenger di kancah Eropa bersama Arsenal, parade kekecewaan itu sudah disiapkan di ujung jalan. Atau, apakah Wenger masih menyimpan satu senyum manis untuk dipersembahkan selepas partai ulangan Arsenal vs Atletico Madrid nanti?