Fans Arsenal dengan Militansi Ormas Tukang Gebuk dan Kemunculan Fabrizio Romano

Fans Arsenal dengan Militansi Ormas Tukang Gebuk dan Kemunculan Fabrizio Romano MOJOK.CO

Fans Arsenal dengan Militansi Ormas Tukang Gebuk dan Kemunculan Fabrizio Romano MOJOK.CO

MOJOK.COFans Arsenal bisa berubah menjadi sekumpulan kompi teror, ormas tukang gebuk kalau urusan transfer. Salah satu pemicunya adalah kemunculan Fabrizio Romano.

Here we go! Kalimat yang terdengar lebih romantis dibandingkan segala kalimat cinta untuk fans sepak bola. Kalimat dari Fabrizio Romano yang begitu dinantikan, salah satunya oleh fans Arsenal. Sekumpulan fans dengan kekompakkan dan kegigihan luar biasa. Saya rasa, dengan kekuatan mereka, fans Arsenal bisa bikin ormas paling berbahaya.

Dalam sebuah sesi wawancara, Gabriel Magalhaes mengakui kalau bujukan fans Arsenal lewat berbagai kanal media sosial menjadi salah satu penentu keputusannya hijrah ke London Colney. Pengakuan yang sama dibuat oleh Dani Ceballos ketika menerima tawaran peminjaman The Gunners untuk kedua kalinya.

Ketika berbicara kecerewetan dan totalitas fans Arsenal di media sosial, kita seperti sedang membicarakan segerombol buzzer yang sifatnya organik. Tanpa ada komando dari “Kakak Pembina”, mereka akan membanjiri kolom komentar siapa saja. Mulai dari akun fans lawan, akun resmi klub rival, pemain yang kini ada di dalam skuat, hingga calon pemain baru.

Pada titik tertentu, totalitas mereka memang sangat mengagumkan. Terutama ketika kita melihat kembali proses bergabungnya Gabriel, di mana fans Arsenal membanjiri kolom komentar Instagram dan Twitter pribadinya dengan kalimat-kalimat manis. Begitu juga yang dirasakan Ceballos. Keduanya merasa diterima oleh fans militan ini.

Sayangnya, di titik yang lain, militansi mereka sering kebablasan. Baru-baru ini, militansi mereka membuat salah satu jurnalis Football London, James Benge, “curhat” lewat Twitter pribadinya. James merasa, kalau dirinya berbuat salah ketika menulis soal transfer Arsenal, fans sebaiknya bicara baik-baik, tidak menghakimi dirinya.

Beberapa hari yang lalu, James menulis kalau Arsenal, bisa jadi menggunakan Lacazette dalam proses pembelian Thomas Partey. Di dalam tulisannya, James menggunakan istilah clutch moments Lacazette untuk menggambarkan dilema Mikel Arteta. Antara apakah akan menukar Lacazette dengan Partey atau tidak.

Clutch moments adalah istilah untuk menggambarkan sebuah momen penentu kalah atau menang sebuah tim. Sementara itu, clutch player adalah orang yang bisa bermain sangat baik meski berada dalam tekanan ekstrem. Bagi fans Arsenal, Lacazette tidak memenuhi syarat-syarat untuk dikatakan sebagai clutch player atau penentu dalam clutch moments.

Hanya karena istilah seperti itu, fans Arsenal menyerang James Benge. Beberapa menit kemudian, James bilang: “Kami (jurnalis) mengabarkan sesuatu dengan niat baik, yang terkadang terbukti salah, terutama ketika dunia kita sedang begitu kompleks. Jika saya berbuat salah, jangan sungkan-sungkan untuk memberi tahu saya. Saya sedih ketika orang-orang justru menyambut kesalahan-kesalahan itu.”

Fenomena seperti ini sebetulnya sudah terjadi sejak lama. Satu hal yang berbeda hanya soal sasarannya saja. Dulu, sumber informasi masih dikuasai media besar. Fans menunggu koran atau stasiun televisi ternama untuk berita terbaru. Setelah itu, sumber berita bergeser ke laman-laman dari koran ternama atau yang saya sebut sebagai sumber dot com.

Belum lama ini, sumber berita paling aktual dan bisa dipercaya berasal dari individu atau akun personal di media sosial. Fans Arsenal pernah sangat memuja David Ornstein, jurnalis BBC yang kini menyeberang ke The Athletic. Kini, seluruh dunia mengagumi Fabrizio Romano, kontributor Sky Sport, Guardian, dan CBS Sport sekaligus, yang laporan langsung lewat Twitter pribadinya sangat akurat.

Hampir semua kabar yang disampaikan Fabrizio di akun Twitter pribadinya punya akurasi hingga 90 persen. Saking akuratnya, banyak website menggunakan pemberitaannya sebagai bahan berita. Dari sana, kepercayaan fans bergeser dari sumber dot com ke akun personal.

Karena pergeseran itu, jurnalis lain akan lebih “dicurigai” keakuratannya ketika mengabarkan sesuatu. Standarnya begitu tinggi berkat kerja keras Fabrizio Romano. Semua tema yang dikabarkan atau ditulis harus bisa dipertanggungjawabkan. Jadi tidak heran ketika tulisan James Benge dihakimi oleh fans Arsenal.

Segala sesuatu punya dua sisi berlawanan. Militansi fans Arsenal boleh jadi baik adanya karena membuat jurnalis tidak sembarangan menulis. Di sisi lain, kepercayaan kepada jurnalis semakin berkurang. Tidak hanya itu, ketika dianggap tidak akurat atau tidak sesuai selera pasar, jurnalis dihakimi begitu rupa.

Saking geramnya, Isidorus Rio, jurnalis IDN Times, sekaligus fans Arsenal memandang beberapa oknum fans klub ini sebagai stupid, toxic, dan unbearable. Fans Arsenal berhimpun menjadi kompi teror. Siap menghantui siapa saja yang dianggap tidak valid dan tidak sesuai narasi mereka. Padahal, bisa saja, yang dikabarkan seorang jurnalis, selain Fabrizio, benar adanya.

Penyebab lain yang membuat fans Arsenal menjadi sekumpulan kompi teror adalah karena klub itu sendiri. Studi kasus yang bisa kita gunakan adalah urusan kontrak Pierre-Emerick Aubameyang. Sudah tiga minggu kabar ini diulur-ulur.

Pertimbangan Covid-19 (bisa) menunda kedatangan pemain baru, tidak berlaku untuk kontrak pemain, bukan? Padahal, fans Arsenal tahu sejak lama kalau Aubameyang sudah sepakat dengan kontrak baru. Siapa yang “membocorkan” kabar itu? Siapa lagi kalau bukan jurnalis lewat akun pribadinya, salah satunya Fabrizio Romano.

Soal isu transfer, fans perlu bijak menyikapi. Terkadang, klub kesulitan menjual pemain. Akibatnya, urusan membeli menjadi tertunda. Dulu, proses negosiasi bisa berjalan dalam hitungan hari. Kini, bisa hitungan minggu, bahkan bulan.

Pandemi Covid-19 juga menjadi salah satu sebabnya. Seperti yang saya tulis di atas, sebuah klub bisa dipaksa menunggu hingga 14 hari karena pemain baru sedang karantina. Saya rasa, pengumuman Gabriel Magalhaes sebagai pemain baru Arsenal beberapa hari lalu pun karena desakan fans. Si pemain belum selesai menjalani masa karantina. Oleh sebab itu, pengumumannya pun dilakukan via video call.

Interaksi tanpa sekat di media sosial membuat posisi jurnalis menjadi lebih riskan. Tidak ada saringan membuat posisi mereka bisa diserang dengan mudah. Sudah tahu kalau fans itu bisa sangat beracun, masih banyak jurnalis menulis asal-asalan. Namun, di sisi lain, mereka butuh “keributan” ini untuk menambah jumlah klik di situsweb masing-masing. Kalau sudah begitu, jurnalis harusnya lebih “tangguh” menghadapi kegilaan fans.

Sikap klub untuk menunda pengumuman membuat kesabaran fans terkikis. Tambahkan militansi fans di dalamnya, kamu akan mendapatkan satu kompi fans siap tarung, siap menyerang siapa saja yang narasinya tidak mereka sepakati.

Saya yakin, fans dengan jubah ormas tukang gebuk begini ada di setiap klub, bukan Arsenal saja. Chelsea pun pasti merasakannya sebelum Kai Havertz resmi berlabuh. Kegilaan ini tidak bisa dicegah. Fans sudah sedemikian militan dan bebal. Media sosial memberi mereka kekuatan untuk berhimpun.

Fans lain tidak berdaya melawan mereka, tinggal Arsenal bersiasat untuk mengarahkan hasrat bertarung itu menjadi sesuatu yang lebih produktif. Yah, mungkin klub bisa menjadikan fans dengan libido gelut ini sebagai tenaga keamanan di pertandingan tanpa penonton musim depan. Ketimbang mereka merazia toko alkohol dan ikut grebekan hotel melati, kan.

BACA JUGA Suporter Arsenal Itu Banyak yang Menyebalkan, Ini 7 Cirinya atau tulisan Yamadipati Seno lainnya.

Exit mobile version