MOJOK.CO – Chelsea dan Lampard punya pengalaman mendobrak batasan loser effect. Kini, dengan kebijaksanaan baru ketika memandang pasar transfer, keduanya bisa menghantam rival secara tuntas di musim depan.
Saya rasa Chelsea dan Lampard akan lebih bijak ketika menyambut jendela transfer musim dingin di Januari 2020 nanti. Terutama bagi Chelsea yang bermasalah dengan cara mereka merekrut pemain muda. Seharusnya, The Blues sudah berpengalaman dengan kisruh John Obi Mikel. Sebuah pengalaman yang, kembali, seharusnya, menjadi guru terbaik.
Jangan salah, Chelsea dan Lampard kayaknya tetap memburu pemain berkaliber besar. Namun kali ini, mereka akan melakukannya secara bertahap.
Lampard adalah salah satu legenda yang menikmati masa keemasan Chelsea. Mantan pemain kelahiran Inggris itu menikmati puncak kejayaan bersama gerbong pemain mahal. Setelah Roman Abramovich membeli The Blues, tidak butuh waktu lama, tim yang hampir punah menjelma menjadi tim juara.
Kesuksesan sebuah tim, pada dasarnya dibangun oleh tiga besar unsur. Mereka adalah, pertama, owner yang punya ambisi dan memahami sepak bola. Kedua, pelatih yang cakap, baik soal teknis maupun manajemen personal pemain. Ketiga, pemain berkualitas. Tiga unsur besar itu dibungkus oleh sebuah selimut tebal bernama suporter.
Roman memahami betul tiga unsur besar dan satu selimut tebal ini. Maka, juragan minyak asal Rusia ini bukan hanya memberi lampu hijau ketika membeli pemain. Roman juga mengejar juru kemudi kelas elite. Perpaduan antara pelatih yang cakap, pemain berkualitas, dan suporter yang baru keluar dari goa dan lagi semangat-semangatnya menjadi pondasi Chelsea.
Roman, sebagai perwujudan Chelsea, dan Lampard berhasil mendobrak batas yang disebut sebagai loser effect. Apa itu loser effecet? Sebelum memahami istilah itu, kamu harus memahami sebuah istilah lain yang bernama inertia effect.
Inertia effect adalah kecenderungan manusia untuk resisten terhadap perubahan perilaku yang drastis di dalam dirinya. Gabungan ilmuwan dari University of Geneva dan University Hospital of Geneva mempelajari ativitas neuron dari beberapa orang yang mau melakukan aktivitas fisik dan para kaum rebahan alias yang males ngapa-ngapain. Sebuah art of doing nothing.
Mereka menyepakati sebuah kesimpulan. Otak manusia memerlukan usaha yang lebih besar ketika orang hendak berubah dari kaum rebahan ke manusia yang lebih aktif secara fisik. Dibandingkan jika orang itu pada dasarnya sudah aktif. Pertarungan di dalam otak terjadi sangat sengit dan biasanya aura kaum rebahan yang lebih dominan.
Untuk kecenderungan ini kamu bisa menyalahkan para nenek moyang. Dulu, mereka menghabiskan banyak waktu untuk mencari sebuah cara. Mencari cara bertahan hidup dengan tenaga seminial mungkin. Memang, dulu, nenek moyang hidup di lingkungan yang berbahaya. Banyak predator ganas dan manusia belum memuncaki rantai makanan.
Tapi ya nggak beda jauh sama zaman sekarang, sih. Banyak predator di luar sana. Terutama predator konten demi kemasyhuran sesaat. Susahnya, mereka punya circle yang isinya tukang ngonten sama ganasnya. Kesenggol dikit main keroyokan. Sakit dikit open donation lewat Kita Bisa. Bener-bener loser effect.
Nah, karena sudah terjangkit inertia effect ini, manusia rentan kepada loser effect. Rasa risih dengan perubahan membuat manusia terjebak di dalam kesesatan. Dulu, sebelum Roman membeli Chelsea, Liga Inggris seperti sebuah liga yang terlalu kaku. Maklum, orang Inggris memang kolot dan sering terlalu nyaman dengan situasi, padahal mereka sedang krisis.
Kedatangan Roman mengubah wajah Chelea, dan tentu saja sepak bola Inggris. Terutama bagi Chelsea, kerelaan dan niat untuk menjual klub mengubah segalanya. Awalnya adalah niat. Konon, berkat kerelaan itu, proses pembelian Chelsea berjalan sangat cepat. Tidak sampai hitungan jam, harga disepakati, dan tidak lama, done deal!
Lampard adalah bagian dari skuat yang berhasil mendobrak loser effect. Salah satunya karena dia merasakan betul betapa dunia menjadi lebih mudah ketika dikelilingi rekan-rekan berkualitas. Mulai dari John Terry, Arjen Robben, Ricardo Carvalho, Ashley Cole, Petr Cech, Damien Duff, Michael Ballack, Claude Makalele, hingga Didier Drogba.
Kemudahan yang ditawarkan oleh pemain berkualitas tidak dinafikan oleh Lampard dan Chelsea. kepada wartawan sang gaffer menegaskan bahwa The Blues hanya akan mengejar pemain kaliber besar. Rumor membariskan calon pemain Chelsea, antara lain Wilfried Zaha, Timo Werner, Ben Chilwell, hingga Kalidou Koulibaly.
Namun, seperti yang saya sebut di awal tulisan, The Blues akan melalukannya secara bertahap. Embargo transfer yang terjadi justru membantu Lampard dan para pemain muda membangun sebuah ikatan kuat. Tanpa ikatan itu, tidak mungkin Chelsea bisa bertahan di papan atas dan lolos ke babak 16 besar Liga Champions.
Januari 2020 adalah waktu yang tepat untuk menambal lini belakang. Sejauh ini, Fikayo Tomori, Kurt Zouma, dan Antonio Rudiger berganti-gantian menjadi bek tengah yang bisa dipercaya. Sayang, Tomori malah dibekap cedera pinggul, sementara Zouma dan Rudiger belum menemukan konsisten sejak mereka bermain di Liga Inggris.
Untuk pos bek kiri, Marcos Alonso bukan lagi bek kiri produktif seperti dua musim ke belakang. Pun bek asal Spanyol itu dikabarkan akan diangkut Conte bersama Olivier Giroud di Januari nanti.
Oleh sebab itu, kabar ketertarikan The Blues kepada Chilwell menjadi masuk akal. Dua pemain baru di lini belakang akan menjadi upgrade skuat yang dibutuhkan Chelsea. Ada kemungkinan satu winger dibeli juga di Januari 2020. Namun, jika Pulisic mampu menemukan titik konsistensi, pembelian winger bisa ditunda sampai musim panas 2020 ketika Chelsea bisa bermanuver lebih leluasa di pasar transfer.
Satu hal yang pasti, Chelsea dan Lampard punya pengalaman mendobrak batasan loser effect. Kini, dengan kebijaksanaan baru ketika memandang pasar transfer, keduanya bisa menghantam rival secara tuntas di musim depan.
BACA JUGA Liverpool, Jadon Sancho, dan Chelsea di Persimpangan Jalan atau tulisan Yamadipati Seno lainnya.