MOJOK.CO – Jangan sampai Gooners menjadi terdiam dan tidak ikut bersusah ketika Arsenal kalah. Tidak lagi merasa memiliki ketika Arsenal susah hati.
Judul di atas saya peras dari twit Tim Stillman, kontributor Arseblog dan fans Arsenal sejak lama. Dia bilang begini:
“Raul (Sanllehi), KSE, dan para petinggi sebaiknya menerima “suara bising” dari suporter mumpung suara suporter masih ada. “Suara bising” artinya masih ada orang yang setidaknya peduli. Level selanjutnya dari kemarahan suporter adalah rasa apatis dan kalian akan sangat sulit memperbaiki kondisi itu, tak peduli kebohongan yang kalian buat untuk suporter tentang “ambisi” kalian.”
Laga Europa League melawan Eintracht Frankfurt sudah sedikit menunjukkan gejala apatis itu. Emirates Stadium yang bisa menampung 60 ribu orang terlihat kosong. Ada 49.419 tiket yang terjual secara resmi. Berapa yang hadir di dalam stadion? Separuhnya saja saya tidak yakin ada. Ribuan bangku Emirates kosong.
Atmosfer terasa tumpul. Suporter Frankfurt, yang tidak boleh masuk ke stadion, nyatanya bisa menerobos. Beberapa ratus suporter Frankfurt yang pada awalnya “anteng” saja, tiba-tiba bernyanyi dan berjingkrak-jingkrak ketika tim kesayangan mereka unggul dengan skor 1-2. Sementara itu, tidak ada gairah dari bangku-bangku Gooners.
Pandangan kosong mewarnai bangku kosong Emirates. Mereka yang datang baru terdengar bergemuruh ketika pertandingan selesai. Suara teriakan mereka diarahkan kepada Unai Emery. Tuntutan untuk mundur terdengar nyaring dari sela-sela bangku kosong Emirates. Mungkin, malam itu, mereka tidak datang untuk mendukung Arsenal. Mereka ingin menuntut perubahan. Secepatnya.
Tidak ada yang bisa menyalahkan teriakan dari sela bangku kosong itu. Arsenal yang mendorong fansnya sendiri menjadi seperti ini. Ketika hasil di atas lapangan sangat tumpul, ketika Emery kehilangan ide dan bahkan tidak tahu siapa saja yang layak masuk starting XI, fans sudah berteriak dengan kencang.
Sayangnya, Raul Sanllehi justru melabeli kegelisahan suporter dengan istilah “noise”. Suara bising, seperti suara nyamuk yang mengganggu di telinga. Kepedulian suporter dianggap sangat rendah. Padahal, di musim panas yang lalu, suara-suara yang kini sumbang itu menyanyi merdu memuji kerja Raul Sanllehi di jendela transfer.
Bagaimana suporter tidak mencapai titik nadir ketika Unai Emery sekali lagi menunjukkan kalau dirinya benar-benar “no idea”. Ketika tertinggal dari Frankfurt dengan skor 1-2, alih-alih memainkan Nicolas Pepe dan Alexander Lacazette secepatnya, Emery malah memasukkan Lucas Torreira. Ketika tertinggal, Emery malah memasukkan gelandang bertahan.
Nicolas Pepe, pemain termahal Arsenal, datang dengan banderol 72 juta paun, disia-siakan. Nama Pepe hanya menjadi pengisi kolom-kolom satire dan produk meme dari suporter rival. Emery, yang dibekali dengan baju zirah yang ditempa tangan-tangan ahli, malah menyimpannya di dalam lemari berdebu ketika pergi berperang. Dia tidak paham bagaimana memaksimalkan potensi pemain.
Mulai dari Henrikh Mkhitaryan yang dipaksa bermain sebagi defensive winger, lalu Mesut Ozil yang diasingkan, hingga Pepe yang sebatas cameo. Emery bukan lagi sosok pelatih yang bisa memberikan kebaruan. Yang dilakukan pelatih asal Spanyol adalah ketersesatan dan pameran delusi sepanjang hari.
Saya semain heran dengan manajemen Arsenal yang harus menggelar pertemuan tingkat tinggi untuk memecat Emery. Setelah laga melawan Frankfurt, Emery berkilah kalau performa anak asuhnya sudah lebih baik. Kalau bukan delusi, saya tidak tahu lagi istilah yang tepat untuk menggambarkan cara berpikirnya.
Delusi yang sama dialami Raul Sanllehi yang sesumbar kalau Emery bisa membalikkan situasi. Ketika dalam dua musim terakhir Arsenal menjadi lebih banyak menerima tembakan tepat sasaran dibandingkan sepanjang sejarah berlaga di Liga Inggris, apa yang bisa diharapkan dari Emery?
Kesempatan mendapatkan tanda tangan pelatih untuk jangka pendek sudah lepas. Jose Mourinho sudah menjadi milik Tottenham Hotspur. Konon, Raul punya agenda untuk merekrut pelatih Wolves, Nuno Espirito Santo atas nama pertemanan, bukan profesionalitas dan kualitas sebagai patokan utama.
Nuno Santo bukan pelatih jelek. Namun, apakah Nuno Santo punya mental untuk menghadapi board yang lemah syahwat dan suporter yang begitu galak?
Jangan salah, kita, sebagai suporter juga bagian dari kejatuhan Arsenal. Tidak perlu malu untuk mengakuinya. Terkadang Gooners terlalu jauh menekan pelatih dan pemain. Meskipun memang, tidak ada reaksi tanpa aksi sebelumnya. Ada sebab, ada akibat. Yang pasti, Gooners menjadi salag satu suporter yang sulit untuk dijinakkan. Nuno Santo punya mental menghadapi itu semua?
Nuno Santo punya performa cukup baik bersama Wolves. Namun, melatih tim besar punya kesulitan sendiri. Satu hal yang pasti, kedatangan Nuno Santo tidak bisa dibandingkan dengan kedatangan Arsene Wenger di tahun 1996. Ekspektasi, tekanan suporter, dan media sosial sudah sangat gila.
Jika setelah “pertemuan tingkat tinggi” Emery tidak dipecat atau pengganti yang dipilih tidak ideal, manajemen sedang mendorong fans menuju jurang apatis. Teriakan kemarahan, seperti kata Tim Stillman, masih bentuk kepedulian. Jangan sampai Gooners menjadi terdiam dan tidak ikut bersusah ketika Arsenal kalah. Tidak lagi merasa memiliki ketika Arsenal susah hati.
BACA JUGA Cara Raul Sanllehi Membunuh Arsenal Secara Perlahan Ketika Membela Emery atau tulisan Yamadipati Seno lainnya.