Pak Tatang mengingat, ada seorang perempuan yang meninggalkannya begitu saja. Setelah menunggu 15 tahun, perempuan itu tak juga datang mengambil celana miliknya.
“Saya masih ingat, celana itu masih ada label harganya, dolar Singapura. Orang Indonesia, tapi katanya baru dari sana,” kata Pak Tatang. Awalnya perempuan itu datang ke kios jahitnya di sebelah barat swalayan Mirota Kampus dekat UGM, Yogyakarta, dengan membawa celana. Ia meminta celananya untuk diperbaiki agar sesuai dengan bentuk tubuhnya. Perempuan itu minta cepat sehingga ia memutuskan menunggu. Namun, baru saja dikerjakan, si perempuan pamit sebentar ke Mirota Kampus untuk belanja.
Sampai sekarang, Pak Tatang masih bertanya-tanya, kenapa perempuan itu tergesa-gesa meninggalkan celananya tapi malah tak kembali?
Bermula di tahun 1975
Orang lebih mengenalnya dengan panggilan Tatang dibanding nama aslinya. Ia menunjukkan KTP-nya. Namanya Muchtar Romeo.
“Muchtar Rameo, Mas,” katanya membetulkan ucapan saya. Mengakunya orang Padang, di identitasnya tertulis: ia lahir di Cimahi tanggal 5 bulan 4 tahun 1958.
“Itu artinya orang tua saya angkatan (TNI), suka berpindah-pindah,” katanya terkekeh. Saya mendapatkan nama Pak Tatang setelah sebelumnya berbincang dengan Pak Beno, salah satu pemilik kios jahit dan vermak jeans di Jalan RS Sardjito atau sebelah barat Mirota Kampus. Kata Pak Beno, orang yang paling lama berjualan di kawasan itu namanya Pak Tatang.
“Awalnya kakak saya buka jasa jahit di sini, tahun 1973. Saya baru ke sini tahun 1975,” katanya.
“Wah, masih muda sekali, Pak, 13 tahun” kata saya.
“17 tahun!”
“Maaf, Pak, Matematika saya jelek,” saya membela diri.
Kami ngobrol dalam suasana santai. Ia tetap berada di dalam kiosnya sambil sesekali menjahit celana jeans dengan mesin jahitnya. Beberapa kali ia menghentikan pekerjaannya untuk menjawab pertanyaan saya yang duduk di kursi depan kiosnya. Deru kendaraan bermotor membuat saya harus mendekat untuk mendengar suara yang kadang pelan.
Pak Tatang bercerita, dari yang semula ia dan kakaknya, sekarang yang menawarkan jasa jahit dan vermak serta naptol ada sekitar 50 orang di penggal jalan itu. Semuanya tergabung dalam paguyuban yang diberi nama Pinang Perak.
“Apa, Pak? Minang Perak?” tanya saya memastikan.
“Pinang Perak!” katanya keras.
“Pasti nggak tahu, jalan ini sebelum diberi nama Jalan Dr. Sardjito, namanya Jalan Pinang Perak,” katanya.
Saya memperhatikan, hampir semua kios di tempat itu menggunakan kata vermak. Padahal bentuk bakunya seperti yang tertulis di KBBI adalah permak/memermak, yang artinya ‘merombak (agar dapat dimanfaatkan kembali, misalnya pakaian) atau mengubah dari bentuk atau keadaan asli menjadi bentuk baru’. Tapi ya sudahlah, saya pakai kata vermak saja daripada dimarahi Pak Tatang.
Pak Tatang ingat, sebelum 1985, jasa yang ia tawarkan ke orang-orang terbatas menjahit. Dari kain jadi pakaian. Namun, semenjak berdirinya Mirota Kampus di Jalan C. Simanjuntak itu pada 1985, kebiasaan bergeser.
“Dulu Mirota Kampus itu kuburan, kalau bunderan UGM itu dari dulu memang sudah ada. Kalau dulu itu ada air mancurnya. Kami menjahit di kios sebelah barat jalan. Nah, setelah ada Mirota orang-orang banyak yang beli pakaian jadi buatan pabrik. Penjahit sepi order,” katanya.
Perubahan kebiasaan itu kemudian ikut membuat penjahit di kawasan tersebut menyesuaikan diri. Mereka kemudian membuka jasa vermak. Namun, jasa vermak ternyata penuh persaingan. Saat itu, Pak Tatang membuat promosi, bahwa vermak bisa ditunggu. Ternyata promosi itu sangat menarik karena pada saat itu memang umumnya jasa vermak ditinggal beberapa hari.
Saat kami mengobrol, datang salah seorang pelanggannya. Namanya Bernard (40), dia mau mengambil jaket pesanannya. Namun, rupanya Pak Tatang belum menyelesaikannya karena sempat ada kesibukan ke luar kota.
“Nggak papa, Pak. Jadinya kapan jadi, Pak?”
“Lusa, Mas. Mohon maaf ya.”
Pak Tatang bercerita, selama hampir 50 tahun menjadi penjahit di sebelah barat Mirota Kampus, banyak orang-orang yang meminta reparasi celana mereka agar cepat jadi dan memaksa untuk menunggu. Jika ada yang demikian, dia akan bertanya, jujur ini mau dipakai jam berapa, kenapa harus ditunggu, seberapa penting, rumahnya jauh nggak. Kalau orang itu lulus dari pertanyaannya, baru Pak Tatang mengerjakan.
“Suatu hari ada yang datang, saya pikir mau vermak. Ternyata dia mengeluarkan kain. Minta dibuatkan celana. Karena rumahnya jauh dan untuk urusan penting, saya kerjakan. Tiga jam saya motong, ngobras, jahit, nyetrika, sampai celana itu siap dipakai.”
Setelah pakaian jadi, orang itu bilang. Ia sebenarnya tidak terburu mau ada acara, seperti alasan yang dikemukakan ke Pak Tatang. Namun, karena ingin menguji, apakah benar Pak Tatang bisa menjahit pakaian dalam waktu cepat atau bisa ditunggu.
“Saya bilang kepadanya, prangko biasa dengan prangko kilat beda lho. Pemerintah menetapkan harganya tiga kali lipat,” kata Pak Tatang memberi kode ke orang tersebut agar membayar lebih.
Dua karung goni untuk pakaian yang tak diambil
Pak Tatang selalu disiplin menerapkan aturan. Tanpa nota, jangan harap bisa mengambil pesanan di tempatnya. Ia bercerita suatu kali ada laki-laki yang datang membawa nota. Alasannya mau mengambil celana milik istrinya. Namun, Pak Tatang tahu, cewek yang jadi pelanggannya itu belum bersuami. Karena tahu laki-laki tersebut mungkin mau menipu dan hanya menemukan kuitansi di jalan, Pak Tatang memberi syarat agar laki-laki tersebut membawa foto kopi KTP pemesan.
“Dia pasti tak datang, dan benar, ketika seminggu kemudian, perempuan yang punya pakaian bilang kalau notanya hilang,” kata Pak Tatang.
Seperti peristiwa yang diceritakan di awal tulisan ini, Pak Tatang mengatakan bahwa kasus orang yang meninggalkan pakaiannya begitu saja di tempatnya sangat banyak. “Ada dua karung goni setiap tahunnya kalau dikumpulkan,” kata Pak Tatang.
Ia kemudian menunjukan satu celana cowok kepada saya. Katanya celana ini sudah 10 tahun belum diambil. Dikasih ke orang juga tidak ada yang mau. Kainnya kaku dan modelnya cutbray, jeans yang pernah menjadi tren di era ’90-an.
Lalu bagaimana nasib-nasib celana yang tidak diambil? Setiap tahun, saat puasa atau menjelang Lebaran, Pak Tatang akan menggelar pakaian yang belum diambil di depan rumahnya. Ia tidak menjual pakaian itu, tapi menyumbangkan bagi orang yang berminat. Hal itu memang ada dalam perjanjian bahwa pakaian yang tidak diambil akan disumbangkan daripada menumpuk dan rusak.
Pak Tatang punya banyak trik saat melakukan pekerjaannya. Dia punya cerita, suatu hari ada orang yang ingin memperbaiki celananya. Namun, ternyata benang yang sesuai dengan aslinya tidak ada sehingga Pak Tatang tidak langsung menjahit dulu. Saat pemesan datang, langsung marah-marah karena belum jadi dan minta benang seperti warna aslinya.
Padahal Pak Tatang sudah menjelaskan kalau nanti sudah divermak dan dinaptol, warna benangnya akan sama. Tidak kurang akal, Pak Tatang akhirnya mengambil benang baru berwarna kuning. Ia kemudian mencuci jeans baru berwarna biru. Benang kuning itu ia celupkan ke bekas air cucian yang berwarna biru karena lunturan jeans baru. Pemesan puas. Pak Tatang senang.
Soal trik, ada yang Pak Tatang tak mau mengulangi. Ini soal naptol. Dulu, di saat yang lain hanya bisa naptol dengan warna hitam, cokelat, dan biru. Ia bisa melakukan warna naptol dengan berbagai warna. Dulu bahkan banyak hotel yang minta handuknya dinaptol dalam berbagai warna. Pernah ada yang memintanya membuat naptol seperti warna pucuk daun pisang yang masih muda. Ia sanggup. Tapi ada yang membuatnya angkat tangan.
“Menghilangkan warna gelap menjadi putih. Cukup sekali. Bisa sebenarnya, tapi kainnya jadi jelek, mudah sobek karena pengaruh penghancur warna,” katanya.
“Dibungkus atau makan di sini?”
Ada juga peristiwa lucu di masa lalu. Terutama ketika zaman ospek mahasiswa. Biasanya ada tugas dari senior agar mahasiswa baru menggunakan tas yang bisa digendong di bagian belakang. Gara-gara desain yang diberikan mahasiswa, membuat semua penjahit Paguyuban Pinang Perak geger gedhen.
“Desainnya itu seperti ini, di sini ada tali, di sini ada tutupnya. Nah, kami semua punya persepsi yang berbeda-beda, jadi adanya malah ribut menentukan mana yang benar,” kata Pak Tatang menggambar bentuk seperti tas kresek.
Solusinya, mahasiswa yang memesan diminta menunggu di situ sampai jadi. Mereka tidak mau disalahkan. Mungkin, maksud hati senior mahasiswa itu ingin melonco mahasiswa, tapi para penjahit ikutan kena pelonco karena bingung dengan desain yang diberikan.
Sekarang Pak Tatang hampir tidak punya karyawan. Tahun 2019, ia akhirnya melepaskan karyawannya untuk mandiri setelah satu per satu izin membuka usaha sendiri. Dengan lapang dada, ia mengizinkan. Sebagian besar ikut membuka usaha di kios-kios tak jauh dari tempat Pak Tatang.
Ada gaya bercanda yang template selalu dilakukan Pak Tatang ke orang yang menggunakan jasanya. Biasanya ketika ada orang yang mau mengambil pakaian, dia akan bertanya.
“Mbak mau dibungkus atau makan sini?”
Biasanya si pelanggan akan tertawa. Lantas Pak Tatang akan bertanya lagi.
“Kok tertawa, lucu ya?”
Kalau si mbak menjawab, “Nggak usah,” Pak Tatang akan bilang, “Oh, makan di sini.”
Saya sebenarnya tidak mau tertawa. Tapi daripada Pak Tatang marah, ya sudah saya ikutan tertawa.
Pak Tatang melakukan itu sebatas candaan, bukan untuk menggoda atau yang lainnya. “Tuh, Mas, istri saya di kios depan,” kata Pak Tatang memainkan bola matanya. Di seberang jalan, ada kios bernama Elmondo. Itu kios Pak Tatang yang paling lama. Saya melihat istrinya tengah menjahit juga di sana. Kios tempat saya berbincang dengan Pak Tatang, bernama Eos, katanya sih belum begitu lama ia miliki. Total, Pak Tatang memiliki tiga kios. Namun, hanya dua yang dipakai.
Selama membuka jasa di tempat itu, Pak Tatang mengaku bisa membeli tanah di Godean, Tamansari, juga di Padang.
“Tamansari yang itu, Pak?” kata saya.
“Iya, yang tempat wisata. Orang-orang pasti kenal saya di sana. Lha saya pernah jadi Ketua RW di sana,” katanya tertawa. Pandemi memang berpengaruh pada roda ekonomi keluarga Pak Tatang yang memiliki 4 anak dan 5 cucu. Namun ia masih bersyukur karena masih jarang di rumah, lebih banyak di kios. Itu artinya masih ada saja yang menggunakan jasanya.
Karena pandemi, Pak Beno hampir jalan kaki ke Kaliurang
Satu penjahit lain yang saya temui sebelum Pak Tatang adalah Pak Beno. Nama itu pula yang digunakan untuk kiosnya. Pak Beno ini usianya jauh lebih tua dari Pak Tatang. Tahun ini genap 74 tahun. Pendengarannya sudah berkurang, tapi tidak untuk matanya.
“Saya kasih tahu rahasia biar matanya bagus, Mas. Lihat bintang, tapi dalam suasana gelap, tidak ada cahaya lain, nah sinar bintang di langit itu bagus buat mata kita,” katanya.
Meski berusia lebih tua, Pak Beno baru mulai membuka jasa pada ’90-an. Sebelumnya dia pernah bekerja di toko kain, di toko jahit. Ia sedikit orang yang memiliki keterampilan atau latar belakang sebagai penjahit. Makanya, di kiosnya ia juga menawarkan jasa jahit untuk jas. Biasanya tarifnya untuk jas Rp 750 ribu, tapi karena pandemi ia turunkan jadi Rp 400-an ribu.
Karena pandemi, Pak Beno hampir jalan kaki dari tempat kerjanya ke Kaliurang. Hal yang pernah dialaminya di masa lalu saat menghadapi hal sulit. “Awal-awal pendemi itu masa-masa sangat sulit, orang nggak boleh keluar. Hari itu saya berjanji, kalau nggak ada orang yang datang, saya mau jalan kaki ke Kaliurang,” katanya. Untungnya “hal gila” itu tidak jadi dilakukan. Hari itu ada laki-laki yang datang membawa 20 potong celana jeans yang minta dipermak.
Meski anak-anaknya minta ia istirahat di rumah, Pak Beno menolak. Ada bermacam alasan dari anak-anaknya agar ia beristirahat saja di rumah. Lingkungan yang nggak sehat karena polusi asap kendaraan bermotor yang berhenti di depan kios, karena pendengaran yang sudah berkurang hingga 35 persen, dan dia baru saja operasi prostat.
“Saya nggak bisa kalau cuma diam. Di sini saya bisa bertemu dengan konsumen, bisa ngobrol,” katanya.
BACA JUGAÂ Dosen Nyentrik dari UGM dan liputan menarik lainnya di rubruk SUSUL.