MOJOK.CO – Oplosan itu ngeri. Nggak usah jadi dokter pun orang tahu betapa berbahayanya oplosan. Tapi kok ya masih diminum aja.
Petaka miras oplosan terjadi di Jabodetabek dan Jawa Barat. Puluhan tewas dan ratusan dirawat di rumah sakit. Berbagai media mewartakan bahwa angka itu terus bertambah. Bila kematian melebihi seratus, Indonesia bakal masuk dalam top-rank dunia untuk prevalensi kematian akibat oplosan.
Ini bukan yang pertama. Kejadian sejenis sudah terjadi bertahun-tahun tanpa pemberitaan yang mengentak. Apa sesungguhnya yang ada di dalam minuman itu sehingga bisa membunuh peminumnya? Kenapa orang mau minum miras oplosan yang mematikan?
Rekan saya, Prof. Knut Erik Hovda dari Oslo University Hospital, secara intens melakukan penelitian terhadap minuman keras oplosan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Ia lalu mendapatkan pola yang bisa disebut miras oplosan, yakni minuman keras resmi atau minuman bersoda yang dicampur. Dengan apa? Bisa alkohol antiseptik, sabun pembersih, thinner, lotion kulit, atau bahkan obat nyamuk.
Di berbagai daerah, minuman oplosan memiliki kandungan yang sama, yakni metanol. Sedangkan minuman keras resmi mengandung alkohol jenis etanol. Metanol (metil alkohol) dikenal sebagai wood alcohol atau spiritus. Ini adalah jenis alkohol yang paling sederhana, berbentuk cair, mudah menguap, tidak berwarna, mudah terbakar, dan beracun. Metanol biasanya digunakan sebagai bahan pendingin, pelarut, bahan bakar, atau tambahan untuk industri. Dalam dunia medis sering digunakan sebagai antiseptik luar.
Penelitian Hovda juga mengungkap beberapa alasan orang memproduksi dan mengonsumsi oplosan. Pertama, ekonomi dan bisnis. Ya, bayangkan saja harga minuman keras resmi yang ngefek, itu bisa ratusan ribu hingga jutaan. Kalau yang puluhan ribu kurang nendang, kata teman saya yang suka minum. Untuk mendapatkan sensasi itu, orang lalu bikin sendiri yang lebih murah. Minuman bersoda cukup dicampur alkohol 70% dari apotek yang harganya tak sampai 5 ribu rupiah.
Repotnya, tak hanya bikin untuk konsumsi sendiri karena ekonomis, oplosan juga dijual sebagai bisnis. Rupanya industri rumahan minuman oplosan ini sudah banyak, bahkan ada mereknya, meski dijual secara sembunyi-sembunyi.
Kedua, sensasi. Rupanya minuman yang resmi beredar, bagi sebagian peminum, sudah tidak mampu memuaskan hasrat akan sensasi minum. Bahkan yang berkadar alkohol tinggi pun sudah kurang jos. Maka untuk menambah sensasi, ditambahkan berbagai bahan oplosan yang bermacam-macam itu. Peminum tidak tahu bahwa yang terjadi bukanlah sensasi mabuk, tapi keracunan. Sama-sama tidak sadar, tapi akibat oplosan adalah keracunan otak yang merusak hampir semua organ tubuh.
Ketiga, adu gengsi. Ada fenomena ironis ketika orang adu gengsi atau adu keberanian untuk mengonsumsi zat yang beraneka ragam. Misal tantangannya: minum bir campur bay*on. Konyol sekali.
Bayangkan, metanol saja sudah bisa merusak darah, menimbulkan gangguan pencernaan hebat, meracuni otak dan sistem saraf pusat, sistem napas, hingga membuat gagal ginjal. Andai bisa terselamatkan nyawanya, masih ada risiko kebutaan permanen karena retina yang rusak. Belum lagi kalau dicampur zat lain.
Bagi tenaga medis seperti saya, menerima pasien yang keracunan satu jenis zat berbahaya seperti metanol saja sudah sangat merepotkan, apalagi kalau zatnya bermacam-macam, yang seringnya tidak diketahui atau sulit didapatkan keterangannya dari korban atau orang di sekitarnya.
Untuk mengetahui apakah pasien tersebut keracunan metanol ataukah zat lain tidaklah mudah. Pemeriksaan darah membutuhkan waktu lama, sementara semakin lama tertangani, semakin tipis kesempatan pasien tersebut hidup. Maka mau tak mau dokter yang menangani harus berperan bak detektif dalam mencari fakta. Anamnesis (wawancara) kepada pasien amat penting.
Tapi, kalau dia tidak sadar? Ya ganti wawancara pada orang yang menemukannya. Tapi, yang begini jarang terjadi. Biasanya peminum oplosan menenggak secara sembunyi-sembunyi. Andai minum bareng-bareng, mereka juga kolaps bareng. Bila ditemukan gelas atau botol atau wadah lain di sekitar tubuh pasien, lumayan bisa membantu.
Kesulitan lain adalah biasanya pasien dikirim ke IGD sudah amat terlambat, sudah dalam kondisi parah sekali dan kritis, atau bahkan sudah meninggal. Kenapa terlambat? Karena biasanya minum secara sembunyi-sembunyi tadi sehingga sulit ditemukan. Keluarga mencari setelah semalaman tidak pulang. Ketika ditemukan, ternyata dalam kondisi tidak sada yang entah sejak kapan. Bisa juga karena peminum itu terbiasa didapati mabuk, orang yang melihatnya berasumsi dia mabuk, padahal ia sedang keracunan berat. Orang tidak akan menyadari perbedaannya karena keadaannya sama-sama tidak sadar.
Selain itu, dokter sulit mendapat obat untuk mengatasi keracunan oplosan. Tahukah Anda, antidotum metanol adalah etanol? Ya, sama-sama alkohol, tapi berbeda jenis. Sayangnya, etanol farmasi sekarang ini sangat sulit didapat. Survei sederhana saya di Yogyakarta, hampir tidak saya temukan etanol di stok farmasi rumah sakit. Lalu solusinya bagaimana? Paling gampang menggunakan etanol dari minuman keras yang mahal seperti Jack ini atau Red itu. Repot kan? Oplosan yang murah itu harus diobati menggunakan miras yang mahal. Itu pun harus diberikan dalam jumlah banyak, yang artinya menjadi sangat mahal. Belum lagi dosis yang digunakan juga harus pas.
Ada antidotum lain, namanya Fomepizole. Obat ini sangat efektif dan lebih efisien dibanding menggunakan etanol. Sayangnya, obat ini tidak tersedia di Indonesia! Hopo tumon? Jujur saya tidak tahu kenapa obat yang ampuh untuk menyelamatkan nyawa ini tidak ada di pasaran Indonesia. Apakah tidak menguntungkan bisnis farmasi? Atau karena kegawatan akibat metanol masih kurang menarik perhatian pemerintah.
Secara klinis, tak jarang pasien mengalami gangguan napas. Artinya, harus menggunakan mesin bantu napas alias ventilator yang hanya ada di ICU atau unit sejenis. Sayangnya, ruang ICU di rumah sakit seringnya penuh. Pada saat yang sama, pasien harus segera cuci darah untuk membersihkan darah dari metanol dan zat metabolitnya, juga untuk menjaga keasaman darah. Keasaman darah harus normal, bila tidak, orang bisa mati dalam waktu singkat. Kesadaran pasien bisa turun ke level koma yang artinya tidak bisa makan dan minum sehingga harus di-support melalui selang lambung. Itu pun tergantung apakah pencernaannya sudah normal dari gangguan metanol. Bila masih terjadi gangguan, artinya harus diberi nutrisi lewat infus. Bukan infus biasa, tapi infus nutrisi lengkap. Selain itu, sering kali saking beratnya kondisi pasien, jantung dan pembuluh darah kolaps. Perlu obat-obatan penunjang untuk menjaga jantung tetap berdenyut dan tekanan darah tetap stabil.
Semua kesulitan itu, baik karena beratnya kondisi, kekurangan obat, maupun ketidakcukupan fasilitas dan pembiayaan, membuat dokter tak mampu mencegah kecacatan permanen maupun kematian. Sudah sulit, mahal, hasilnya pun sering mengecewakan.
Sebenarnya tidak perlu jadi dokter untuk tahu bahwa oplosan membahayakan. Lewat berita atau mendengar apa saja bahan yang sering dicampurkan untuk membuat oplosan toh sudah bikin bergidik. Kira-kira terbayanglah, seberapa beracun oplosan itu. Bahkan di khazanah dangdut koplo (duh, kata koplo kok nggak nyaman di kuping dokter, ya), kampanye jauhi oplosan sudah dilakukan Wiwiek Sagita lewat lagu “Oplosan”. Tapi, kok masih saja dikonsumsi?
Saya cuma mau mengajukan satu analisis: mungkin gara-gara bukan Via Vallen atau Nella Kharisma yang memopulerkan lagu “Oplosan”. Sebab lain, saya nggak mau bilang. Berat.