MOJOK.CO – Dah, sepakbola biar diurus sama artis-artis saja, biar entertain sekalian, daripada politis.
Saya masih ingat betul dengan potongan anekdot yang ditulis oleh Mahfud Ikhwan (koreksi kalau saya salah) tentang seorang profesor yang sangat membenci sepak bola. Saking bencinya kepada sepakbola, ia kemudian menciptakan virus canggih yang akan membunuh siapa saja yang bermain sepak bola, menonton sepak bola, atau bahkan sekadar memikirkan sepak bola.
Kelak, virus itu akhirnya benar-benar disebarkan. Sebagai negara yang menyukai sepakbola, rakyat Indonesia pun akhirnya bertumbangan. Semuanya tewas terkena efek virus canggih si profesor. Belakangan diketahui bahwa ada segelintir orang yang berhasil bertahan hidup. Mereka adalah para pengurus PSSI. Sebab mereka ternyata memang tak pernah memikirkan sepak bola sama sekali.
Anekdot yang amat licin tersebut tentu saja tak lahir dari ruang hampa. Kita semuanya paham betul bahwa dalam perkembangannya, PSSI, oleh banyak orang, memang dianggap sebagai organisasi politis belaka.
Bukan sekali dua kali para penggemar sepakbola memprotes organisasi itu karena ketidakbecusannya menyelenggarakan iklim bola yang baik dan maju. Tak ada sepakbola di sana. PSSI selayaknya singkatan dari Persatuan Selain Sepakbola Indonesia.
Tentu kita masih ingat pada tahun 2016 saat legenda Indonesia Kurniawan Dwi Yulianto mengajukan diri sebagai calon ketua PSSI. Saat itu, ia didukung penuh penuh oleh publik Indonesia. Ia bahkan didampingi langsung oleh Ketua Asosiasi Pesepakbola Profesional Indonesia (APPI) Ponaryo Astaman saat mendaftarkan diri. Dalam berbagai polling, Kurniawan selalu menjadi unggulan. Dukungan di media sosial hampir semuanya tertuju pada Kurniawan.
Ada harapan besar tumbuh saat Kurniawan mendaftarkan diri sebagai calon ketua. Visi Kurniawan yang ingin fokus pada pembinaan pemain usia muda mendapatkan apresiasi dari berbagai pihak.
Namun apa mau dikata, dalam kongres pemilihan, Kurniawan gagal menjadi ketua. Ia kalah. Lebih mengenaskan lagi, ia tidak mendapatkan satu suara pun dalam kongres pemilihan. Kelak, yang kemudian terpilih menjadi ketua PSSI saat itu adalah Edy Rahmayadi. Tentara yang juga politisi yang saat ini menjabat sebagai Gubernur Sumatra Utara. Sosok yang pernah melontarkan kalimat monumental “Kalau wartawan baik, timnas-nya akan baik.”
Harapan publik Indonesia untuk melihat orang-orang bola untuk menduduki jabatan di lembaga tertinggi sepakbola pun kandas. Sentimen terkait sepakbola yang hanya diurus oleh para pebisnis dan politisi yang tidak punya passion pada sepakbola pun semakin tinggi.
Bahkan, selepas Edy Rahmayadi tidak lagi menjabat sebagai ketua PSSI, penggantinya, Mochamad Iriawan pun tak jauh beda dari Edy: tentara sekaligus politisi.
Nah, harapan publik Indonesia agar dunia si kulit bundar diurus oleh orang-orang yang punya passion terhadap sepakbola itu ternyata kini perlahan muncul. Bukan melalui pemain, melainkan melalui deretan artis yang berlomba-lomba mengakuisisi klub bola Indonesia.
Diawali oleh Raffi Ahmad yang mengakuisisi klub Liga 2, Cilegon United yang kemudian berubah nama menjadi Rans FC. Lalu ada Atta Halilintar yang mengakuisisi klub liga 2 PSG Pati dan mengubah namanya menjadi AHHA PS Pati. Lalu ada Gading Marten yang mengakuisisi klub Liga 3, Persikota Tangerang. Hingga Kaesang Pangarep yang mengakuisisi klub Liga 2 Persis Solo.
Masuknya para artis dalam arena sepakbola ini memang menjadi fenomena yang menarik. Betapa sepakbola adalah sesuatu yang amat punya daya tarik bisnis dan bersenang-senang yang kuat.
Tentu saja klub yang diakuisisi oleh para seleb itu belum tentu berhasil dan mampu menjadi jawara, namun yang jelas, para seleb yang cukup “selo” itu sudah membuktikan bahwa mereka memang suka sepakbola. Mereka benar-benar memainkan sepakbola dan menggilainya. Dan itu sudah lebih dari cukup.
Jika melihat kecenderungan yang ada, rasanya bukan tak mungkin bila di kemudian hari, akan semakin banyak selebritis yang mengakuisisi klub-klub sepakbola tanah air.
Iklim sepakbola di kalangan selebritis yang selama ini hanya berwujud pertandingan persahabatan antara Selebritis FC melawan Wartawan FC atau klub bola lainnya kelak akan bisa menjadi lebih konkret.
Maka, bukan tak mungkin pula bila nantinya, para artis yang menggilai sepakbola itu akan menjadi pengurus PSSI dan benar-benar mampu memajukan iklim sepakbola baik secara kualitas maupun secara kemasan.
Bayangkan, kelak yang menjadi ketua PSSI adalah Ibnu Jamil, lalu yang menjadi wakilnya adalah orang-orang seperti Darius Sinathrya, Donna Agnesia, Syamsir Alam, Gading Marten, Vincent, Iko Uwais, atau Judika. Lalu pemain-pemain seperti Kurniawan, Bambang Pamungkas, sampai Ponaryo Astaman menjabat sebagai sekjen.
Betapa sepakbola akan menjadi sesuatu yang amat entertain dan menyenangkan. Hal yang tentu jauh lebih baik daripada melihat sepakbola menjadi sesuatu yang politis.
Apakah sepakbola Indonesia akan jauh lebih maju jika dipegang oleh para artis yang gila sepakbola itu? Sekali lagi, tak ada jaminan. Namun yang pasti, jika melihat kondisi persepakbolaan kita dalam beberapa tahun terakhir, saya, dan mungkin juga Anda, tampaknya memang lebih rela dan ikhlas jika sepakbola Indonesia diurus oleh para artis itu ketimbang oleh para pengurus PSSI yang sekarang ini.
Hayo, ngaku saja. Iya, kan?
BACA JUGA Sarkas Tersembunyi ‘Captain Tsubasa’ untuk PSSI dan artikel AGUS MULYADI lainnya.