Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Hikayat Freeport yang Maha Merepotkan

Edi AH Iyubenu oleh Edi AH Iyubenu
29 Januari 2016
A A
Hikayat Freeport yang Maha Merepotkan

Hikayat Freeport yang Maha Merepotkan

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

“Saya selalu bertanya kepada Tuhan dalam pikiran dan doa-doa saya setiap hari, mengapa Tuhan menciptakan gunung, batu, dan salju yang indah ini di daerah suku Amungme? Apakah karena salju dan gunung-gunung batu yang indah yang kaya dengan sumber mineral yang menarik PT. Freeport, TNI/Polri, pemerintah, dan orang luar untuk datang ke sini dan mengambilnya demi kepentingan mereka dan membiarkan kami menderita, dan oleh sebab itu kami orang Amungme harus terus-menerus ditekan, ditangkap, dan dibunuh tanpa alasan? Jika itu alasan-Mu, lebih baik musnahkan kami, punahkan saja kami agar mereka bisa mengambil dan menguasai semua yang kami miliki, tanah kami, gunung kami, dan setiap penggal sumber daya kami.”

Anda masih menggunakan hati nurani? Jika iya, mari menangis berjamaah, di masjid, gereja, pura, vihara, rumah, mal, kafe, atau jalanan, dalam keadaan punya wudhu atau junub, demi menguatkan rintih pilu Tuarek Nartkime itu, salah satu pemilik tanah ulayat gunung Nemangkawi di Papua. Namun, jika hati Anda tak tergetar oleh rintihan yang dikutip utuh dari buku Markus Haluk, Menggugat Freeport (2014), itu isyarat bahwa Anda bisa jadi termasuk orang yang terberkahi happy-happy ekonomis oleh penjarahan Freeport sejak Maret 1973.

Penjarahan?

Jika Anda yakin bahwa segala jenis hukum diciptakan secara legal-formal bukan sekadar untuk ditulis, dicetak, diajarkan di kampus-kampus, kemudian disitir dalam debat-debat pengadilan, Anda niscaya mafhum bahwa keadilanlah jantungnya. Hukum tanpa hadirnya keadilan adalah kejahatan yang dilegalkan. Dan itu lebih barbar daripada kejahatan itu sendiri. Persetubuhan kekuasaan yang mengerami otoritas hukum dengan korporasi yang mengantongi modal dan teknologi sungguh akan selalu melahirkan kebiadaban-kebiadaan dari sudut mata keadilan dan kemanusiaan.

Demikianlah keadaan yang mengangkangi orang-orang Papua sejak dimulainya eksploitasi tambang tembaga PT. Freeport Indonesia dengan deposit terbesar ketiga sedunia, emas dengan deposit terbesar pertama sedunia, dan (diduga) uranium sebagai bahan energi nuklir dengan deposit tak terperikan, yang harganya berkali-kali lipat lebih mahal lagi.

Anda bisa membayangkan, seluas 95 persen dari areal tambang mineral Freeport bercokol di atas tanah adat Magal-Nartkime!

Keadilan selalu menahbiskan keuntungan dan kemajuan bersama. Jika saya untung, Anda pun harus untung. Soal besaran persentase, itu hal teknis belaka, sepanjang prinsip kepatutan dan kepantasan berjalan. Demikian fatwa agung perniagaan. Di Papua, keadilan ekonomis macam apa yang ditangguk Magal-Nartkime dari penguasaan Freeport?

Begini ilustrasinya, Lur.

Pertama, tanah ulayat milik suku Amungme ditambang oleh Freeport dengan cara melibatkan pengamanan kelompok militer. Martir-martir preman lokal sudah pasti turut dikenyangkan.

Kedua, suku Amungme mau tak mau meninggalkan gunung yang dikuduskan dan dicintai menuju Aroa, Waa, Tsinga, dan Noema.

Ketiga, tahun 2012 secara sepihak Freeport menggaet marga Beanal untuk menandatangani ekspansi tambang di Nosolandop yang masih merupakan bagian dari tanah ulayat Magal-Nartkime. Dimulailah devide et impera ala imperialis londho yang kian getol disambangi para traveler hapal Pancasila.

Keempat, Juni 2005, lubang tambang Gresberg mencapai diameter 2,4 km di kawasan seluas 449 hektar dengan kedalaman 800 meter. Para cabe dan mahmud alay bisa berenang-renang cantik di dalamnya, selfie-selfie sampai lupa anak dan suami, lalu tersesat dan tak tahu arah jalan pulang.

Kelima, Mama Yoseph Alomang, tokoh Amungme yang pernah menerima Goldman Award, memberikan hikayat ini:

“Kami mengenal Freeport itu militer Indonesia. Perusahaan ini berdiri di belakang kemudian kami diperhadapkan dengan militer untuk mereka bunuh kami. Selama 16 kali Freeport bersama militer Indonesia menangkap dan menahan saya.”

Keenam, tanggal 9-12 Mei 1996, militer Indonesia yang berbasis di Keneyam melakukan penyerangan ke desa Nggeselema dalam operasi pembebasan sandera yang konon diotaki OPM. Mereka melibatkan 16 tentara asing dari Angkatan Udara Inggris (SAS). Bayangkan, ada tentara asing di Papua yang bagian dari NKRI! Delapan warga sipil, bukan tentara OPM, tewas dan seluruh rumah di Nggeselema, Uarem, Nold dan Yenggelo-Mapduma dibumihanguskan.

Kata Nato Gobay, seorang pastor yang pernah mengungkap kejahatan kemanusiaan di Papua:

“Mereka dibunuh, dibantai, dan ditembak layaknya binatang sejak masuknya Freeport McMoran di tanah adat tahun 1967.”

Hikayat ini akan sangat panjang bila dituturkan semua. Kini, mari pejamkan mata sejenak, lalu tanyalah pada kebeningan hati nurani: hukum macam apa gerangan yang melindungi praktik kejam korporasi Amerika bernama Freeport itu?

Tak usahlah menggunjingkan perkara deviden yang menista martabat bangsa ini. Tak perlu pula merujuk riset Dahlan Iskan tentang betapa repotnya pemerintahan Jokowi dalam mengambil sikap: antara memperbanyak penguasaan saham Freeport yang melorot bagai sempak kendor atau membiarkan Papua terus dominan dikuasai perusahaan asing tidak syar’i itu.

Mari kita fokus saja pada ihwal hancur-leburnya azas keadilan dan kemanusiaan orang Papua sebagai pemilik asli tanah yang dilubangi bagai sarang rayap itu, yang mana mestinya mutlak dilindungi oleh negara. Aha! Negara Presiden daripada Soeharto-lah biang petakanya. (Tak baik, Akhi, menggunjingkan dosa-dosa kabangetan orang yang sudah tiada). Semoga Tuhan mengampuninya. Amin.

Hanya perlu satu bulan dari dipaksa-jatuhnya Presiden Soekarno yang anti Amerika pada 12 Maret 1967 melalui Supersemar yang kini telah raib entah kemana itu, Presiden daripada Soeharto menandatangani ‘Perjanjian Kontrak Karya‘ pertama Freeport.

Tak main-main, demi adanya payung hukum yang (seolah-olah) halalan thayyiban semata kepentingan nusa bangsa, perjanjian itu disokong dengan pengesahan UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA). UU PMA itu dipersembahkan dengan hati berbunga-bunga oleh Presiden daripada Soeharto kepada Freeport yang menuntut syarat luhur “perlindungan investasi dan iklim investasi yang layak”.

Dan, baca pelan-pelan bagian ini, menurut Bradley R. Simpson dalam Economy and Guns (2011), rancangan UU PMA itu “dibantu” oleh Freeport yang diwakili sebuah perusahaan konsultan asal Denver Amerika, Van Sickle Associates. Konsultan asing ini seturut aktif merumuskan, menyusun, dan memperbaiki bab demi bab hingga pengesahannya. Sungguh, betapa mulia dan religiusnya Freeport berkenan repot-repot membina ta’awun dengan Presiden daripada Soeharto.

Kini, presiden daripada Soeharto telah lama mangkat, Freeport ternyata masih lanjut menginap di tanah Papua. Mereka kerasan sekali di sana, sungguh tamu yang sangat baik. Beberapa poliTIKUS dan TAIpan maha mulia di negeri ini sesekali membuat jadwal cengkrama happy-happy dengan para petinggi Freeport.

Nun jauh dari Jakarta, di gunung Nemangkawi, Yosepha Alomang selalu setia mendeklamasikan puisinya ribuan kali diiringi deraian air mata, angin-angin, dan kabut-kabut.

Gunung Nemangkawi itu saya/Danau Wanagon itu saya punya sum-sum/Laut itu saya punya kaki/Tanah di tengah ini tubuh saya/Kou sudah makan saya/Mana bagian dari saya yang kou belum makan dan hancurkan?/Kou sebagai pemerintah harus lihat dan sadar bahwa kou sedang makan saya/Coba kou hargai tanah dan tubuh saya!

*Artikel ini juga didedikasikan oleh penulis kepada Markus Haluk untuk bukunya ‘Menggugat Freeport’

 

Terakhir diperbarui pada 24 Februari 2021 oleh

Tags: FreeportPapuaSoeharto
Edi AH Iyubenu

Edi AH Iyubenu

Yang punya Kafe Basabasi.

Artikel Terkait

Lupakan Garuda Indonesia, Pesawat Terbaik Adalah Susi Air MOJOK.CO
Otomojok

Lupakan Garuda Indonesia, Citilink, dan Lion Air: Naik Pesawat Paling Menyenangkan Justru Bersama Susi Air

10 Desember 2025
Nasib buruh usai Marsinah jadi pahlawan nasional. MOJOK.CO
Ragam

Suara Hati Buruh: Semoga Gelar Pahlawan kepada Marsinah Bukan Simbol Semata, tapi Kemenangan bagi Kami agar Bebas Bersuara Tanpa Disiksa

12 November 2025
Kami Berdoa Setiap Hari agar Soeharto Jadi Pahlawan Nasional MOJOK.CO
Ragam

Kami Berdoa Setiap Hari agar Soeharto Jadi Pahlawan Nasional. Sejarawan: Pragmatis dan Keliru

11 November 2025
Suara Marsinah dari Dalam Kubur: 'Lucu! Aku Disandingkan dengan Pemimpin Rezim yang Membunuhku'.MOJOK.CO
Ragam

Suara Marsinah dari Dalam Kubur: ‘Lucu! Aku Disandingkan dengan Pemimpin Rezim yang Membunuhku’

10 November 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

elang jawa.MOJOK.CO

Raja Dirgantara “Mengudara”, Dilepasliarkan di Gunung Gede Pangrango dan Dipantau GPS

13 Desember 2025
Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

14 Desember 2025
Pontang-panting Membangun Klub Panahan di Raja Ampat. Banyak Kendala, tapi Temukan Bibit-bibit Emas dari Timur Mojok.co

Pontang-panting Membangun Klub Panahan di Raja Ampat. Banyak Kendala, tapi Temukan Bibit-bibit Emas dari Timur

17 Desember 2025
Drama sepasang pekerja kabupaten (menikah sesama karyawan Indomaret): jarang ketemu karena beda shift, tak sempat bikin momongan MOJOK.CO

Menikah dengan Sesama Karyawan Indomaret: Tak Seperti Berumah Tangga Gara-gara Beda Shift Kerja, Ketemunya di Jalan Bukan di Ranjang

17 Desember 2025
Kegigihan bocah 11 tahun dalam kejuaraan panahan di Kudus MOJOK.CO

Kedewasaan Bocah 11 Tahun di Arena Panahan Kudus, Pelajaran di Balik Cedera dan Senar Busur Putus

16 Desember 2025
UMP Jogja bikin miris, mending kerja di Jakarta. MOJOK.CO

Menyesal Kerja di Jogja dengan Gaji yang Nggak Sesuai UMP, Pilih ke Jakarta meski Kerjanya “Hectic”. Toh, Sama-sama Mahal

17 Desember 2025

Video Terbaru

Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

14 Desember 2025
Perjalanan Aswin Menemukan Burung Unta: Dari Hidup Serabutan hingga Membangun Mahaswin Farm

Perjalanan Aswin Menemukan Burung Unta: Dari Hidup Serabutan hingga Membangun Mahaswin Farm

10 Desember 2025
Sirno Ilang Rasaning Rat: Ketika Sengkalan 00 Menjadi Nyata

Sirno Ilang Rasaning Rat: Ketika Sengkalan 00 Menjadi Nyata

6 Desember 2025

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.