MOJOK.CO – Membaca “Bumi Manusia” di layar lebar adalah sebuah usaha untuk berlutut di depan megahnya perjuangan; untuk mencoba, meski pada akhirnya kalah.
Hati-hati, tulisan ini mengandung spoiler. Namun, mungkin, ini jenis spoiler yang kamu butuhkan.
Selasa kemarin (13/8) Mojok mendapat undangan menghadiri premiere film Bumi Manusia di Empire XXI Yogyakarta. Gala Premier dibagi ke dalam dua jadwal, yaitu tayang pukul 18.00 dan 20.00. Saya, dan tiga kru Mojok lainnya, kebagian nonton pukul 20.00.
Sejak sore, para penonton, baik yang dapat maupun tidak, sudah memadati Empie XXI. Ngapain lagi kalau bukan nungguin Iqbaal Ramadhan. Sayangnya, Iqbaal berhalangan hadir.
Penayangan Bumi Manusia berlangsung tepat waktu. Acara dibuka dengan sambutan dari sang sutradara Hanung Bramantyo, disusul Gubernur D.I. Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubawana 10. Kecuali Iqbaal, hampir semua pemeran utama turut hadir. Ada Sha Ine Febriyanti yang memerankan Nyai Ontosoroh, Mawar Eva de Jongh sebagai Annelis Mellema, Donny Darmawan sebagai bapaknya Minke, dan Whani Darmawan yang memerankan Darsam.
Malam itu saya ikut “membaca” Bumi Manusia dengan perasaan yang bungah. Sebab saya membawa bayangan yang begini: Sebagai buku, karya Pramoedya Ananta Toer ini sudah menjadi kanon. Posisinya bukan novel lagi, melainkan sudah dianggap sebagai dokumen sejarah (bersama dengan kisah hidup tragis pengarangnya) yang mewakili pergulatan manusia Indonesia melawan kolonialisme.
Tapi kitab klasik ini sudah akan berumur 40 pada tahun depan, membuat saya bertanya-tanya, apakah ada regenerasi pembacanya hari ini? Apakah film ini akan disambut baik oleh pemirsa awal 20-an yang lahir setelah Orde Baru berakhir?
Dan sepertinya, itulah tantangan yang mau dijawab Hanung Bramantyo, yang kemudian setelah saya menonton filmnya, saya anggap berhasil.
Hanung Bramantyo menyusun kronologi film Bumi Manusia dalam fragmen-fragmen. Fragmen ini bisa berdiri sendiri lewat narasi tokoh. Setiap dialog, terlebih yang melibatkan Minke, Ibunda, Nyai Ontosoroh, Jean Marais, Annelies Mellema, dan Robert Suurhorf. Bagi pemburu kata-kata mutiara lewat situs penyedia kutipan, percakapan mereka adalah tambang emas.
Bentuk ini mengingatkan saya pada komik digital yang akrab bagi milenial rombongan akhir dan Generasi Z. Komik digital di aplikasi disusun per satu fragmen yang memenuhi layar. Ini memudahkan pembaca untuk mengamati lekat-lekat ilustrasi dan dialog yang sederhana. Saya rasa ini memang kecenderungan baru dari cara menyampaikan sesuatu.
Generasi milenial dan Z dikesankan tidak menyukai teks yang rumit dan berpanjang-panjang. Puisi digital yang pendek dengan kalimat sederhana lebih disukai. Bahkan sudah banyak puisi digital seperti itu yang dibuat menjadi buku. Dan menjadi best seller.
Orang sekarang lebih suka memungut potongan-potongan dan seolah-olah menjadikannya seperti miliknya sendiri. Mereka merasa senasib dengan kalimat-kalimat sederhana seperti itu. Pada titik ini, Hanung Bramantyo cukup berhasil menerjemahkan “Bumi Manusia” untuk milenial dan Generasi Z.
Dialog antara Minke dengan Annelis di tepi danau menjadi fragmen roman yang berbekas di hati pemburu kutipan cinta. Pemilihan Iqbaal Ramadan sebagai Minke juga seleksi menarik. Milenial dan Generasi Z mengenalnya sebagai Dilan, remaja cerdas penjaja rayuan. Sisi romantis yang sudah menempel dalam diri Iqbaal membuat Hanung lebih mudah menghidupkan Minke bagi penonton muda.
Diskusi antara Minke dengan Nyai Ontosoroh soal pekerjaan ditutup dengan salah satu kutipan masyhur Pram: “Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri, bersuka karena usahanya sendiri, dan maju karena pengalamannya sendiri.” Sebuah kutipan pendek yang bisa dibawa pulang penonton muda dan dijadikan wording unggahan tiket nonton Bumi Manusia di Instagram.
Ada berapa banyak milenial dan Generasi Z yang sudah ratusan kali mendengar kutipan “Adil sejak dalam pikiran”? Tahukah kamu itu kutipan dari Bumi Manusia tepatnya ketika dialog antara Minke dengan Jean Marais di tepi pantai?
Penonton muda bahkan tidak perlu mengetahui dinamika hubungan Minke dan Jean di novel Bumi Manusia. Hanung tidak mungkin menjelaskan latar belakang Jean, seorang spandri (serdadu kelas satu) secara tuntas. Namun, kita hanya perlu mencintai kalimat-kalimat mutiara seperti:
“Cinta itu indah, juga kebinasaan yang mungkin membuntutinya. Orang harus berani menghadapi akibatnya,” katanya. Ia juga yang mengutarakan: “Cinta itu indah, terlalu indah yang bisa didapatkan dalam hidup manusia yang pendek ini.” Dia pula pemilik kata-kata ini: “Belajarlah berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan.” Petuah-petuah itu selalu diingat Minke.
Apakah cara produksi Hanung ini salah? Tentu tidak. Satu hal yang pasti, mengangkat Bumi Manusia ke layar lebar bukan pekerjaan yang sederhana. Kompleksitas latar sosialnya tidak mungkin dimampatkan menjadi film berdurasi tiga jam. Bagi pembaca karya-karya Pram, eksekusi Hanung mungkin terasa mengganjal. Namun, bagi saya, ia berhasil menghidupkan Bumi Manusia, khususnya Minke dan Nyai Ontosoroh, menjadi entitas yang bisa diakrabi pembaca muda. Terasa dekat, tetapi tidak kehilangan kekuatan. Terutama Nyai Ontosoroh yang diterjemahkan dengan baik oleh Sha Ine Febriyanti.
Seperti bukunya, film Bumi Manusia ditutup oleh kalimat penohok ulu hati dari Nyai Ontosoroh: “Kita sudah melawan, Nak, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”
Dada saya mendadak terasa penuh.
Intonasi, mimik wajah, dan tatapan mata Ine Febriyanti seperti memanggil kembali ingatan sejarah lama pertentangan pribumi, Indo, dan kawula kompeni. Ia seperti kesimpulan, seperti foto yang jelas tercetak. Bahwa Indonesia pernah kalah oleh gencetan zaman kolonial. Namun, ada keindahan dari sebuah usaha untuk “mencoba”.
Membaca Bumi Manusia di layar lebar adalah sebuah usaha untuk berlutut di depan megahnya perjuangan, untuk mencoba, meski pada akhirnya kalah. Sebuah pengingat yang bisa dengan mudah diterima oleh “pembaca segala zaman”.