Semifinal Coppa Italia, Manajemen Wonderkid Inter Milan, AC Milan, dan Juventus

coppa italia inter milan ac milan juventus MOJOK.CO

MOJOK.COSemifinal Coppa Italia yang mementaskan Inter Milan, AC Milan, dan Juventus bukan hanya soal gengsi, tetapi sebagus apa manajemen wonderkid mereka.

Semifinal Coppa Italia musim 2019/2020 menyajikan banyak kemungkinan. Empat kontestan yang akan bermain adalah Inter Milan, Napoli, AC Milan, dan Juventus.

Kemungkinan pertama, peluang terjadinya Derby della Madonnina di laga final. Jika terulang, AC Milan punya satu kesempatan paling megah untuk membalas kekalahan atas Inter Milan di kompetisi Serie A. Jika menengok sejarah pertemuan di Coppa Italia, sudah 24 kali Inter Milan melawan AC Milan.

Menariknya, di ajang Coppa Italia, AC Milan punya catatan yang lebih baik dibandingkan ketika melakoni derby di Serie A. Tercatat, AC Milan memenangkan 10 pertandingan atau unggul tiga kemenangan atas Inter Milan. Derby della Madonnina terakhir di Coppa Italia terjadi pada 6 Agustus 2011. AC Milan menang dengan skor 2-1.

Kemungkinan kedua, potensi terjadinya Derby d’Italia, antara Inter Milan vs Juventus. Khusus untuk musim ini, saya rasa, ketimbang Derby della Madonnina, banyak orang yang ingin melihat Inter Milan vs Juventus. Selain performa, jika melihat klasemen saat ini, pertemuan Inter dan Juventus bakal sangat menjanjikan. Ada intrik dan gengsi besar yang dipertaruhkan.

Maaf saja buat Napoli. Bukan hendak meremehkan. Namun, harga pertandingan akan lebih mahal dengan jangkauan penonton lebih luas jika salah dua dari Inter Milan, AC Milan, dan Juventus yang lolos ke final. Meskipun memang, peluang Napoli untuk menjadi juara Coppa Italia tidak pernah tertutup.

Manajemen wonderkid Inter Milan, AC Milan, dan Juventus

Final Coppa Italia memang akan sangat menjanjikan jika Napoli tidak lolos. Sekali lagi, mohon maaf. Selain sejarah dan romantisnya laga derby, final Coppa Italia paling ideal akan memanjakan mata para scout.

Paling tidak, di kompetisi selain liga, sebuah klub lebih berani untuk memainkan para pemain muda. Kalau mempertimbangkan beratnya laga, kita mungkin tidak akan melihat banyak pemain muda diberi kesempatan. Hanya mereka yang memang exceptional yang bakal mendapatkan kesempatan.

Beruntungnya, baik Inter Milan, AC Milan, dan Juventus memang tidak banyak punya pemain dengan kategori wonderkid. Tentu saja, yang saya maksud adalah mereka yang sudah didaftarkan ke tim utama. Terutama bagi Juventus, skuat tim utama mereka hampir separuh diisi oleh pemain dengan usia 29 tahun atau lebih.

Semifinal Coppa Italia ini seharusnya memungkinkan kita melihat Sebastiano Esposito (17 tahun), striker Inter Milan yang dianggap sebagai generational talent. Pemain yang pernah terdaftar sebagai pemain akademi Brescia ini sudah mencicipi pertandingan tim utama di Liga Champions. Oleh sebab itu, melihat kemampuan dan pengalamannya, Esposito bakal sangat bersyukur kalau mendapatkan kesempatan bermain di semifinal Coppa Italia.

Sementara itu, dari AC Milan dan Juventus, kita bisa kembali menganalisis performa wonderkid yang sudah terhitung matang. Mulai dari Gianluigi Donnarumma, (20) Rafael Leao (20), dan Matthijs de Ligt (20). Untuk ketiga pemain ini, sudah bukan lagi soal jatah menit, tetapi apakah memang layak dimainkan di laga sepenting semifinal Coppa Italia.

Sejauh musim 2019/2020 berjalan, baik Donnarumma, Leao, dan de Ligt belum bisa dibilang konsisten. Khusus untuk de Ligt, performanya sempat lebih konsisten ketika ditemani oleh Merih Demiral. Sayang, Demiral malah cedera dan akan absen dalam waktu yang lama. Sementara itu, kerja Donnarumma untuk AC Milan tidak pernah mudah. Kita tahu alasanya.

Oleh sebab itu, semifinal Coppa Italia ini juga bisa menjadi ajang menilai kualitas manajemen Inter Milan, AC Milan dan Juventus untuk wonderkid mereka. Untuk masalah ini, saya hendak bertanya. Apakah pembaca masih ingat dengan Renato Sanches? Pemain ini tidak punya hubungan dengan Inter Milan, AC Milan, dan Juventus. Namun, dari Renato kita bisa melihat betapa pentingnya manajemen wonderkid.

Renato terpilih menjadi pemain muda terbaik di ajang Euro 2016 ketika Portugal menjadi juara. Prestasi yang mengantarkan Renato hijrah ke Bayern Munchen dengan mahar 35 juta euro. Konon, ditambah bonus dan klausul penjualan, harga Renato mencapai 80 juta euro. Sayang, dia gagal menggenapi ekspektasi.

Selain cedera hamstring berkepanjangan, Renato harus bersaing dengan Joshua Kimmich, Javi Martinez, Xabi Alonso, Thiago Alcantara, dan Arturo Vidal. Otomatis, menit bermain Renato menjadi sangat terbatas. Demi menit bermain, Renato dipinjamkan ke Swansea. Sayang, nasib mentalnya sama seperti Swansea kala itu: deradasi.

Carlos Carvalhal, yang kala itu melatih Swansea berkata: “Renato punya bakat besar, tetapi dia masih harus banyak belajar. Dia berhenti belajar ketika meninggalkan Benfica untuk bergabung dengan salah satu klub terbesar di dunia.” Satu tahun setelah menjadi Europe’s golden boy, dia berubah menjadi bahan tertawaan seluruh Eropa.

Apakah Esposito, striker Inter Milan, akan bernasib sama?

Karier Renato terselamatkan ketika dia pindah ke Lille berkat bujukan Luis Campos, Direktur Olahraga, dan Jose Fonte, rekannya di timnas Portugal. Kepindahan yang pada akhirnya “membuat kita lupa” akan penampilan terburuknya di Swansea ketika melawan Chelsea.

Pada laga itu, Renato berbuah bodoh setelah mengira papan elektronik di sisi lapangan Swansea sebagai rekannya. Seperti tidak punya dosa, Renato mengumpan ke sisi lapangan menuju papan elektronik itu. Aksi bodoh yang sempat viral itu sukses menjatuhkan mentalnya.

Bersama Lille, Renato menjadi pemain terbaik untuk bulan Desember 2019 dan Januari 2020. Kepercayaan dan perlindungan dari pelatih serta rekan-rekan membuat kepercayaan diri Renato pulih. Dia bisa bermain di banyak posisi dan selalu tampil bagus ketika diberi kesempatan.

Perlu dilindungi

Kata “kepercayaan” dan “perlindungan” menjadi kunci dari manajemen wonderkid bagi Inter Milan, Milan, dan Juventus.

Kita tahu AC Milan sempat berada dalam sebuah saga ketika berbicara soal masa depan Donnarumma. Kiper asal Italia itu terlalu sering dikabarkan akan pindah karena tidak jenak lagi bersama AC Milan. Keberadaan agen bernama Mino Raiola juga tidak membantu.

Gangguan seperti itu sangat berpengaruh kepada jiwa anak muda. Mental Renato ambruk ketika dirinya viral karena kebodohan. Tidak ada perlindungan dari klub, yang ada justru pernyataan bahwa dirinya “sudah berhenti belajar”. Donnarumma, yang datang dari akademi AC Milan, punya potensi luar biasa untuk menjadi kiper terbaik. Namun, pandangan itu tidak akan terwujud jika dirinya tidak fokus.

Masalah yang sama juga sebetulnya dihadapi Juventus. Matthijs de Ligt datang dengan price tag sangat tinggi untuk pemain berusia 20 tahun. Dia bukan Kylian Mbappe, remaja dengan price tag selangit lainnya. De Ligt datang ke lingkungan yang keras, bukan seperti Mbappe yang diberi kenyamanan, baik lingkungan maupun komposisi skuat.

Wajar jika Matthijs de Ligt membuat kesalahan. Toh kesalahan memang bagian lekat dari sebuah proses. Tidak bisa kamu tolak begitu saja. Saya masih ingat ketika Matthijs de Ligt membuat kesalahan. Juventus menjadi bahan tertawaan, seakan-akan pemain berusia 20 tahun harus bisa memikul tanggung jawab dunia karena price tag tinggi.

Orang terkadang lupa kalau tahap perkembangan setiap pemain sangat berbeda. Tidak banyak pemain seperti Lionel Messi atau Cristiano Ronaldo yang punya misi mencari kesempurnaan di atas lapangan. Bahkan, Messi dan Ronaldo pernah membuat kesalahan ketika masih remaja. Wajar.

Price tag tinggi memang akan diikuti oleh ekspektasi. Rafael Leao yang dibeli dengan harga 22 juta euro pun merasakan hal yang sama. Dia tidak akan langsung sukses. Oleh sebab itu, manajemen wonderkid dari AC Milan akan sangat krusial.

Untuk Inter Milan, meski Esposito bisa dianggap datang dari akademi sendiri, tidak menutup kemungkinan akan dijangkiti masalah yang sama. Ketika Esposito bermain bagus, orang akan segera menetapkan standar. Wonderkid yang langsung bisa memberi hasil memang seperti candu. Ketika candu itu tidak bisa didapat, otak akan memberontak dan menyalahkan.

Melindungi wonderkid bukan hanya soal melindungi aset masa depan. Melindungi mereka juga soal kerja luhur untuk membentuk manusia terbaik dari lapangan hijau.

BACA JUGA Milan Atau Juventus, Siapa yang Diuntungkan Dari Saga Caldara, Bonucci, dan Higuain? atau tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.

Exit mobile version