Liverpool Cetak Biru: Ketika Manchester United dan Barcelona Dalam Bahaya

MOJOK.COSudah saatnya Manchester United dan Barcelona menjadikan Liverpool sebagai cetak biru. Demi perubahan total, demi masa depan yang lebih tidak suram.

Beberapa hari yang lalu, saya menulis kalau Manchester United dan Barcelona harus sudah bekerja di Januari 2020. Keduanya sudah harus bekerja untuk mengamankan satu striker. Kalau tidak bisa membeli di Januari 2020, setidaknya United dan Barca sudah melakukan penjajakan untuk musim panas nanti. Ternyata, salah salah.

Salah salah karena Manchester United dan Barcelona tidak hanya butuh striker. Keduanya butuh sesuatu yang ekstrem. Sebuah aksi yang dahulu pernah dilakukan Pep Guardiola di awal kedatangannya ke Manchester City. Aksi yang saya maksud adalah cuci Gudang. Untuk aksi ini, kedunya bisa menjadikan Liverpool sebagai cetak biru.

Pep Guardiola datang ke Manchester City dengan sebuah misi besar, yaitu menjadi juara Liga Champions. Sebuah misi yang bahkan sampai sekarang masih belum bisa dipenuhi. Untuk memenuhi target itu, Pep melakukan cuci Gudang. Melepas banyak pemain yang tidak cocok dengan sistem. Uang dalam jumlah besar mengiringi aksi tersebut.

Lantas, apakah Manchester United dan Barcelona hanya butuh dana besar dalam aksi ini. Separuhnya benar, separuhnya lagi salah. Pembenahan skuat United dan Barca tidak akan selesai dengan membeli pemain saja. Keduanya perlu melakukan upgrade di banyak sisi. Salah satunya menemukan dan mengumpulkan orang-orang yang kompatibel di balik layar.

Betapa jagonya Liverpool menjual pemain

Sekali lagi, Liverpool bisa menjadi cetak biru. Salah satu aksi cuci gudang adalah menjual atau melepas pemain. Salah satu pekerjaan paling berat dalam aksi transfer adalah menjual. Apalagi ketika si pemain tidak lagi berada dalam puncak karier atau tidak berada dalam performa terbaik. Mendapatkan sejumlah besar uang dari pemain seperti ini memerlukan juru runding yang mumpuni.

Musim 2017/2018, kita bisa memaklumi ketika Pep memberi lampu hijau kepada klub untuk melepas Bacary Sagna, Pablo Zabaleta, Willy Caballero, Gael Clichy, dan Jesus Navas. Kelima pemain ini dilepas secara gratis. Selain usia, kelimanya tidak lagi dibutuhkan Pep dalam sistem yang tengah coba dibangun.

Sebagai gantinya, City membakar 300 juta euro lebih untuk membeli pemain. Jumlah fantastis yang tidak mungkin dilakukan United dan Barca dalam satu kali jendela transfer. Oleh sebab itu, keduanya perlu menjadikan Liverpool sebagai cetak biru.

Tim transfer Liverpool bekerja dengan sangat baik, terutama dalam misi mendapatkan uang banyak dari pemain lokal Inggris. Dimulai pada musim 2016/2017 ketika mereka bisa melepas Jordon Ibe ke Bournemouth dengan harga 18 juta euro, Joe Allen ke Stoke City dengan nilai transfer 15 juta euro, dan Benteke ke Crystal Palace dengan mahar 31 juta euro.

Ketika Liverpool melepas pemain “overrated” tersebut, di jendela transfer yang sama, mereka membeli Sadio Mane dan Gini Wijnaldum, dua pemain penting saat ini. Masih di jendela transfer yang sama, neraca keuangan Liverpool untuk bagian transfer tercatat positif.

Satu musim kemudian (2017/2018), Liverpool melepas Mamadou Sakho ke Palace dengan harga 28 juta euro. Sakho bukan bek yang buruk. Namun, konfliknya dengan Jurgen Klopp berujung penjualan. Pada jendela transfer yang sama, Liverpool membeli Virgil van Dijk, Mo Salah, Chamberlain, dan Andrew Robertson. Sekali lagi, di jendela transfer tersebut, neraca keuangan The Reds masih positif. Kita tahu betapa pentingnya empat pemain itu.

Namun, di jendela transfer 2017/2018, ada satu pemain “hebat” lainnya yang dibeli Liverpool. Dia adalah Dominic Solanke, pemain muda Chelsea yang diambli gratisan. Satu musim kemudian, Dom Solanke dijual ke Bournemouth dengan mahar 21 juta euro! Ketika menjual Solanke, Liverpool juga melego Danny Ward ke Leicester City dengan harga 14 juta euro!

Ada masalah apa dengan tim-tim medioker Inggris ini? Dengan mudahya mereka membakar uang untuk pemain yang performanya ambruk total. Namun, biarkan ke-medioker-an mereka tetap ada karena Liverpool menangguk untung dari kebodohan itu. Sudah? Belum!

Musim 2019/2020, The Reds berhasil menjual Danny Ings ke Southampton senilai 22 juta euro! Kayaknya tim-tim medioker Inggris ini mabuk rebusan pembalut ramai-ramai.

Pelajaran bagi Manchester United dan Barcelona

Pelajaran pertama adalah rekrut pelatih yang kompatibel. Saya bukan sedang meremehkan Ole Solskjaer atau Valverde. Namun, pada kenyataannya, keduanya tidak mampu mengontrol ruang ganti maupun membendung ide-ide konyol dari board masing-masing.

Ole Solskjaer, seharusnya jeli membaca pasar ketika ada nama-nama seperti Kalidou Koulibaly atau Caglar Soyuncu yang tersedia. Alih-alih membeli bek potensial itu, United membakar 87 juta euro demi Harry Maguire. Dia bukan bek yang buruk. Namun, Ole tidak bisa membangun ekosistem yang membuat Maguire “terlihat bagus” selain media-media Inggris yang tolol ketika menilai Maguire bukan flop ketika bermain buruk karena berasal dari negara yang sama.

Ole begitu, Valverde begini. Beredar kabar kalau Frenkie De Jong dan Antoine Griezmann bukan pilihan Valverde. Keduanya pemain sangat bagus. Namun kalau tidak cocok dengan sistemnya, Valverde seharusnya berani berkata tidak. Malahan, Barcelona gagal membeli striker muda sebagai pelapis Luis Suarez dan Lionel Messi yang tidak lagi punya “fisik” untuk ikut dalam proses bertahan.

Ketika Suarez dan Messi tidak perform, Barcelona terlihat sangat jelek. Valverde terlihat seperti tidak lagi punya rencana B untuk mengubah situasi. Pada titik ini, baik Manchester United maupun Barcelona butuh pelatih yang berani bersuara di ruangan manajemen.

Pelajaran kedua yang bisa diambil dari Liverpool adalah membangun tim transfer terbaik. Uang yang didapat dari menjual, dialokasikan untuk membeli pemain. Tentu saja pemain yang tepat sesuai sistem Jurgen Klopp. Siapa yang pernah mengira Andrew Robertson akan menjadi bek kiri terbaik di dunia saat ini? siapa yang tahu kalau Gini Wijnaldum akan menjadi penyeimbang lini tengah?

Uang dalam jumlah besar bisa menjadi kekuatan yang juga besar ketika dimanfaatkan secara cerdas. Bukan sebatas membeli pemain “yang lagi bagus” atau “yang disayang media” saja. Maguire harus menjadi contoh terakhir dari pemain overrated yang dibeli United.

Manchester United gagal menjual Nemanja Matic dan Juan Mata di jendela transfer musim panas. Ole malah sempat membekukan Matic selama hampir setengah musim. Matic bermain hanya setelah Paul Pogba dan Scott McTominay cedera. Apa yang bisa kamu harapkan dari Fred yang didukung Jesse Lingard?

Untuk Lingard, saya usul kepada Manchester United supaya segera membujuk si pemain untuk pensiun. Lebih baik, Lingard mulai memikirkan karier di dunia hiburan. Bisa dengan mulai mendaftar acara Britain’s Got Talent. Saya rasa kemampuannya menari dan jadi badut akan jauh lebih menjanjikan ketimbang menendang bola.

Sama juga kepada Valverde. Musim panas yang lalu adalah saat yang tepat untuk menjual Ivan Rakitic. Bukannya menjual Rakitic, Barcelona malah sempat merekrut Kevin-Prince Boateng. Mauanya apa, sih? Saat ini, di Januari 2020, Barca malah dikabarkan akan melepas Jean-Clair Todibo.

Bek berusia 20 tahun itu seharusnya “dirawat” dan diproyeksikan menggantikan Gerard Pique yang menua atau Umtiti yang semakin sering cedera. Todibo malah akan dijual ke AC Milan. Maunya apa, sih? Nggak heran apabila di Liga Champions musim ini mereka akan merasakan “momen AS Roma dan Liverpool” lagi.

Sementara ini, dua pelajaran dulu yang diambil dari Liverpool. Kalau kebanyakan saya takut lingkar kepala Manchester United dan Barcelona nggak akan tahan. Mulai Januari 2020 dengan mengidentifikasi dead wood dan segera dijual. Musim panas nanti, segera tancap gas untuk merekrut pelatih baru, membangun tim transfer, dan membeli pemain secara cerdas.

BACA JUGA Fabinho dan Naby Keita: Liverpool Mengatasi Kelemahan atau tulisan Yamadipati Seno lainnya.

Exit mobile version