MOJOK.CO – Bundesliga bisa sepak mula berkat pemerintahan Jerman yang eling lan waspada. Sebuah sikap yang Jawa banget, yang harusnya kita temukan dari sosok Jokowi.
Sabtu (16/5), Bundesliga resmi berjalan lagi. Pemerintah Jerman sudah mengizinkan otoritas liga untuk memulai kembali kompetisi. Kembalinya Bundesliga dirayakan seluruh dunia. Merayakan kembalinya sepak bola ke tengah situasi dunia yang penuh kesedihan. Dan di sisi lain, sekaligus menjadi tamparan bagi Jokowi dan para pembantunya.
Pertanyaan besarnya ada dua. Pertama, kenapa Bundesliga bisa kembali berjalan? Kedua, kenapa Jokowi dan para pembantunya harus merasa tertampar?
Jawaban untuk pertanyaan pertama ada dua. Pertama, pencegahan yang diiringi ketegasan. Kedua, akal sehat yang dimiliki pemerintah serta warganya. Izinkan saya untuk menyederhanakan situasi yang terjadi di Jerman, jauh sebelum Bundesliga bisa sepak mula lagi.
Akhir Januari 2020, Pemerintah Jerman mendapati kasus pertama virus corona. Penyebarannya diawali oleh sebuah pertemuan antara karyawan Webasto di Bavaria dengan dua karyawan lainnya dari China. Webasto adalah perusahaan penyalur otomotif.
Salah seorang karyawan asal China baru saja berkunjung ke Shanghai. Di sana, dia bertemu dengan orang tuanya dari Wuhan. Infeksi corona di Wuhan sudah diketahui dunia sejak 22 Januari. Sebanyak 16 pegawai Webasto terinfeksi untuk kemudian menulari sekitar 100 orang di Bavaria.
Sejak Januari hingga Maret, ditemukan 1.151 orang terinfeksi corona. Saat itu, jumlah kasus positif corona di Jerman adalah tertinggi ketiga di Eropa setelah Italia dan Prancis. Sejak Januari 2020, Jerman sudah bergerak cepat. Buktinya, tidak tercatat kasus kematian padahal ada seribu orang lebih yang positif corona.
Jerman mengkarantina sekitar seribu rumah di North Rhine Westphalia. Kebijakan karantina massal diambil karena orang yang terinfeksi pernah mengikuti perayaan karnaval di daerah tersebut pada pertengahan Februari. Semua institusi pendidikan ditutup juga.
Hamburg juga melakukan langkah cepat. Isolasi dilakukan kepada orang tua dan anak-anak yang berhubungan dengan kasus pertama di daerah itu. Mereka diperintahkan untuk tinggal di rumah selama 14 hari. Jens Spahn, Menteri Kesehatan Jerman, mengatakan bahwa akhir Februari di Eropa baru tahap awal pandemi. Namun, Jerman sudah bergerak lebih cepat.
Selanjutnya, Kanselir Jerman, Angela Markel meminta pemerintah daerah di 16 negara bagian untuk memperbarui rencana kesiapsiagaan pandemi. Jerman membatalkan beberapa acara untuk mengurangi penyebaran. Misalnya Internationale Tourismus-Börse (ITB) Berlin yang merupakan pameran pariwisata terbesar di dunia, Hannover Messe 2020 (pameran teknologi industri terbesar di dunia) dan pertandingan olah raga, termasuk Bundesliga.
Inilah gambaran cepatnya Jerman merespons corona yang saat itu bahkan belum ditetapkan sebagai pandemi. Kewaspadaan dan kesigapan menyelamatkan nyawa warganya. Untungnya, sistem kesehatan Jerman sudah disiapkan dengan baik sejak lama. Ini menjadi gambaran betapa Jerman memang sudah lebih maju dari sisi pemikiran.
Sebetulnya saya malas untuk membandingkan sikap Pemerintah Jerman di awal penyebaran corona dengan sikap Jokowi dan para pembantunya, termasuk sikap para kepala daerah. Namun, supaya berimbang dan menjadi kritik, saya harus melakukannya. Ya maaf-maaf saja ya Pak Jokowi. No hurt feeling.
Akhir Januari 2020, Gubenur Sumatera Barat menyambut 174 turis China. Bukannya langsung mengkarantina, sebuah seremoni malah digelar. “Selamat datang uang,” mungkin begitu aura yang tertangkap dari penyambutan itu. Kenapa ini menjadi kritik untuk Jokowi?
Karena Jokowi dan para pembantunya tidak memberikan contoh kesigapan dan kewaspadaan seperti Angela Markel. Saya tidak percaya dengan narasi bahwa Angela Markel bisa begitu waspada karena latar belakangnya sebagai sarjana sains, sedangkan Jokowi lulusan kehutanan. Saya rasa ini soal akal sehat saja. Sekali lagi, ya maaf ya Pak Jokowi.
Akal sehat karena penyebaran virus corona di Wuhan terjadi begitu cepat. Artinya, virus bisa menular dengan mudah. Apalagi belum ada vaksin untuk mengobati. Saya membayangkan, alarm naluri bertahan hidup setiap manusia harusnya sudah menyalak begitu keras ketika ada fakta sebuah virus mematikan bisa menyebar dengan cepat. Bahkan di Indonesia ada sebuah peribahasa yang berbunyi: “Mencegah lebih baik daripada mengobati.”
Selain tidak ada kewaspadaan, Jokowi dan para pembantunya malah meremehkan. Bahkan ada yang, dengan begitu gobloknya, bilang corona tidak mungkin masuk Indonesia. Well, kamu pasti tahu cerita-cerita Jokowi dan para pembantunya yang meremehkan corona. Saya sudah muak menulisnya lagi.
Jerman bisa mengizinkan Bundesliga sepak mula lagi karena corona bisa “dikontrol”. Masih ditemukan kasus baru sebelum Bundesliga berjalan. Namun, pemerintah Jerman jelas percaya diri dengan sistem kesehatannya ketika memberikan lampu hijau untuk pagelaran sepak bola. Ingat ya, sementara bisa mengontrol, bukan mengobati.
Semuanya diawali oleh mawas diri dan menggunakan akal sehat semaksimal mungkin. Miris, yang justru eling lan waspada malah Jerman, bukan Pak Jokowi yang pasti akrab dengan petuah Jawa itu.
Saya rasa, virus tidak bisa diajak bicara baik-baik, apalagi diajak “hidup dalam damai”. Virus akan selalu mencari inang baru dan mengandalkan imun tubuh saja tidak bisa jadi satu-satunya pegangan. Mengapa? Karena di Indonesia, masih banyak warganya yang tidak “sehat” pola pikirnya. PSBB omong kosong, mudik atau pulang kampung, merayakan penutupan McD Sarinah, dan lain sebagainya. Media penularan dibuat sendiri oleh manusia Indonesia.
Banyak yang mengkritik kalau Pak Jokowi sebetulnya tidak punya strategi selain imun tubuh. Bahkan ada yang bilang kalau Jokowi sudah menyerah. Padahal, sejauh yang saya tahu, sejak 2018, sudah ada peringatan dari dr. Sigit Priohutomo, Deputi Peningkatan Kesehatan Kemenko PMK. Pak dr. Sigit sudah mengingatkan kalau Indonesia harus waspada dengan potensi pandemi baru setelah vlu burung berhasil dijinakkan.
Pak dr. Sigit, 2 tahun yang lalu sudah menegaskan kalau fokus Indonesia adalah pencegahan. Kesiapan Indonesia, konon, sudah sangat baik dan kuat. Misalnya dengan adanya program SIZE atau Sistem Informasi Zoonosis dan Penyakit EID (Emerging Infectious Diseases). Dua sistem ini berfungsi sebagai pemberi informasi apabila ada masalah di daerah baik pada binatang maupun jika sudah menular ke manusia.
Lho, sudah ada sistem untuk mencegah, ya? Kenapa masih kecolongan juga?
Saya rasa, jawabannya cuma satu: dulu, ketika membandingkan Jerman dan Indonesia, saya melihat ke kebijakan dan infrastruktur. Namun, ternyata yang membedakan bukan dua hal itu, tetapi kualitas manusia. Baik mereka yang ada di pemerintahan, maupun warganya sendiri.
Bundesliga bisa sepak mula di akhir minggu berkat pemerintahan Jerman yang eling lan waspada. Sebuah sikap yang Jawa banget, yang harusnya kita temukan dari sosok Pak Jokowi. Dan di sini saya merasa sedih.
BACA JUGA Indira Kalistha Wujud Lembeknya Pemerintahan Jokowi, Perlu Belajar Sama Menteri Kesehatan Kerala atau tulisan lainnya dari Yamadipati Seno di rubrik BALBALAN.