MOJOK.CO – Gelandang sentral yang dominan membuat skuat Liverpool dan Mahchester United menjadi lebih seimbang. Membuat superioritas Mane dan Rashford terpicu keluar.
Ketika diketahui Fabinho akan absen sepanjang Desember, gerundelan soal potensi juara Liverpool terdengar semakin keras. Banyak yang beranggapan inilah saatnya musim The Reds hancur. Seperti biasanya, ketika masalah cedera mulai datang dan performa tim perlahan-lahan menurun. Ujungnya? Ya kalian tahu gimana….
Sebagai #6 atau biasa disebut gelandang bertahan, Fabinho adalah unsur penting dalam format 4-3-3 Liverpool. Bukan hanya soal badannya yang bongsor dan jago tekel. Fabinho menjadi krusial karena kemampuannya mendistribusikan bola dari area sempit sembari ditekan oleh pemain lawan. Artinya, proses membangun serangan dari tengah lebih aman kalau Fabinho ada.
Secara teknis, kemampuan itu disebut pressing resistance, atau kemampuan pemain mempertahankan bola ketika ditekan pemain lawan. Berbekal kemampuan itu, Fabinho bisa menerima bola di depan kotak penalti, mengatasi pemain lawan yang menekan dari belakang, berkelit, lalu mendistribusikan bola ke depan.
Ketika dia cedera, banyak yang sudah kasak-kusuk mencibir musim Liverpool. Namun, kemenangan Everton memberi satu bukti. Bahwa Jurgen Klopp masih punya cara untuk mengatasi absennya Fabinho. Sederhana saja, Klopp menggunakan “dua alat saring” dalam diri Gini Wijnaldum dan James Milner.
Baik Wijnaldum maupun Milner memang tidak bermain seperti Fabinho. Keduanya bukan #6 yang berdiri di depan bek. Wijnaldum dan Milner, dan Jordan Hernderson di babak kedua, bermain seperti gelandang sentral klasik. Tugas mereka sederhana, yaitu memastikan proses build up berjalan dengan bersih, melindungi pertahanan Liverpool, dan membantu menyerang kalau momennya datang. Tugas yang jauh lebih sederhana ketimbang role Fabinho.
Namun, meski sederhana, bukan berarti cara ini bisa disepelekan. Satu hal yang membuat cara sederhana ini bisa berjalan efektif adalah Liverpool memang sudah matang secara tim. Baik dari sisi teknis, seperti pendekatan mereka kepada transisi, persilangan posisi antar-pemain, atau koordinasi pertahanan, hingga non-teknis seperti determinasi dan keyakinan diri bahwa semua pemain punya tanggung jawab yang sama.
Izinkan saya menyimpulkan secara sederhana: matang sebagai sebuah tim, membuat “alat saring Liverpool” berjalan dengan baik. Pun begitu juga yang terjadi di dalam tim Manchester United. Ketika akhirnya Scott McTominay menemukan chemistry yang dicari dari sosok Fred. Dua pemain yang menjadi “alat saring” bagi Manchester United.
Banyak yang memandang Scott McTominay sebatas tukang gasak saja. Pemain dengan kemampuan terbatas dan cuma bisa mengemban tugas sebagai ball winning midfielder. Saya yakin banyak yang tersesat dalam pandangan itu. Apalagi ketika melihat McTominay yang bermain dengan determinasi tinggi dan tidak gentar dengan tubrukan.
Satu hal yang terkadang kita tepikan ketika menilai kualitas pemain adalah kemampuan koordinasi. Banyak penonton Youtube yang hanya menilai bagus seorang pemain jika dia bisa melewati tiga orang lalu mencetak gol dengan tendangan salto. Ingat, ini sepak bola, bukan latihan akrobat.
Atau, ada juga yang menilai tim yang jago bertahan itu sebagai tim yang jelek. Tidak layak tonton. Padahal, 70 persen aksi di sepak bola adalah aksi bertahan. Karena pada dasarnya, bertahan bukan hanya soal menumpuk pemain di depan kotak penalti. Mengincar transisi lawan dan menekan dengan garis pertahanan tinggi hingga wilayah lawan juga sebuah aksi bertahan.
Dan di dalam proses yang begitu kompleks itu, kemampuan koordinasi menjadi sangat penting. McTominay, perlahan, berkembang menjadi gelandang yang lebih matang. Bersama Fred, keduanya menjadi “alat saring” yang penting bagi Manchester United. Seperti kebanyakan tim, masalah Manchester United juga ada di transisi. Koordinasi dari dua pivot sangat krusial untuk mengikis kelemahan itu.
Secara pribadi, punya “alat saring” yang meyakinkan itu cukup memberi ketenangan. Liverpool dengan Fabinho dan perubahan sistem untuk mendukung. Manchester United dengan partnership antara McTominay dan Fred yang semakin matang. Saya rasa, tinggal geser Paul Pogba sebagai #10, Manchester United punya lini tengah yang oke.
Saya mengajak kamu semua untuk lebih mengapresiasi kerja gelandang sentral dan gelandang bertahan. Mereka seperti batu-batu besar di dasar kapal klasik yang menjadi penyeimbang. Jika tidak seimbang, sebuah tim akan kehabisan waktu untuk memikirkan cara bertahan yang baik dan cara mencetak gol.
Berkat “alat saring” yang ideal, sebuah tim bisa lebih superior. Sistem Liverpool membuat Sadio Mane, Divock Origi, dan Sherdan Shaqiri lebih leluasa untuk bergerak ke depan. Terutama Mane, yang tugas bertahannya berkurang berkat keberadaan dua pivot. Dua asis dan satu gol yang dibuat Mane menggambarkan superioritas tim dan si pemain itu sendiri.
Bagi Manchester United, ketika sebuah tim lebih seimbang, kerja penyerang juga lebih ringan. Marcus Rashford, lebih leluasa bermain dari sisi kiri. Sisi yang dianggap Jose Mourinho sebagai posisi Rashford paling ideal. Di mata Mourinho, Rashford bukan #9 atau penyerang tengah. Rashford adalah inside forward yang bermain dari sisi kiri.
Melawan Spurs, Rashford memang bermain begitu lepas. Berbeda dengan Rashford di minggu-minggu sebelumnya. Apakah karena taktik yang semakin matang? Atau Spurs yang memang pada dasarnya, seperti biasa, jiwa medioker yang meledak-ledak? Perlu analisis yang mendalam.
Satu hal yang pasti, sebuah tim lebih bisa menyerang ketika punya keseimbangan. Berlaku di mana saja. Apresiasi yang pantas perlu disematkan kepada para “alat saring” Liverpool dan Manchester United.
BACA JUGA Fabinho, Raksasa Liverpool dan Cinta Arsenal yang Hinggap di Lain Hati atau tulisan Yamadipati Seno lainnya.