“Buku adalah senjata buat melawan lupa, melawan kuasa jahat, melawan pembelokan sejarah. Buku juga menyembuhkan diri sendiri dari luka, dari trauma, kesedihan, dan kesepian.”
Rudy Hantoro, atau yang lebih dikenal dengan nama Han Gagas, adalah seorang penulis kelahiran Ponorogo, 21 Oktober 1977. Tumbuh besar di Kota Reog telah memberikan warna tersendiri dalam karya intelektual lelaki lulusan Geodesi, Universitas Gajah Mada (UGM) ini, salah satunya adalah Tembang Tolak Bala, yaitu sebuah karya yang menggabungkan unsur mistis dan sejarah. Karya-karyanya yang lain adalah Sang Penjelajah Dunia (Republika, 2010); Ritual (Gembring, 2012); kumpulan cerita Catatan Orang Gila (Gramedia Pustaka Utama, 2014), dan Orang-Orang Gila (Buku Mojok, 2018). Selain dalam bentuk buku, cerpen Han juga dimuat di berbagai media massa lokal dan nasional, seperti Kompas, Horison, Republika, Tabloid Nova, Seputar Indonesia, Suara Merdeka, dan Kedaulatan Rakyat.
Menghadirkan unsur sejarah dalam karyanya, Han ingin menyampaikan kepada para pembaca bahwa sejarah memiliki berbagai versi. Sebuah sejarah mungkin benar bagi A, namun tidak bagi B, tapi bisa jadi benar juga bagi C, dan seterusnya. Hal ini dijumpai dalam Tembang Tolak Bala yang memasukkan cerita tentang pemasangan susuk kekebalan oleh para warok untuk mengantisipasi terjadinya kegentingan politik di sekitar 1965—tahun terjadinya banyak pemberangusan reog yang berafiliasi dengan PKI. Tembang Tolak Bala sendiri adalah sebuah karya yang merangkum semua kejadian di Ponorogo—mulai dari masa kejatuhan Majapahit, kolonial, kependudukan Jepang, era 1965, hingga jatuhnya Soeharto—ke dalam lima bagian.
Suami dari Siti Muslifah dan ayah bagi Galuh Rana dan Revo Samudra Aksara ini memang dekat dengan dunia reog. Pengalamannya bertemu dengan warok yang hampir menggemblak temannya dan berbagai cerita setempat serta hasil membacanya dituangkan dalam sebuah karya berjumlah 214 halaman tersebut.
Singgah-singgah kala singgah
Pan suminggah durgakala sumingkir
Sing aama sing awulu
Sing suku sing asirah
Sing atenggak kelawan kang sing abuntut
Padha sira suminggaha
Balia mring asalneki
…
(pulanglah segala yang buruk, pulanglah
pulanglah segala yang jahat, menyingkirlah
segala hama penyakit, segala makhluk yang berbulu
segala makhluk berkaki, segala makhluk berkepala
segala makhluk berleher dan berekor
kalian semua menyingkirlah
kembalilah ke asalmu)
Jadi, apakah nyata adalah yang terindra? Apakah yang tidak terindra adalah tidak nyata? Keduanya nyata atau keduanya tak satu pun yang nyata? Jangan lupa ya, Lur, malam ini malam Jumat, nanti coba tengok kanan-kirimu. Uwuwuwu~