Akhir tahun 2021 lalu, saya akhirnya melepaskan masa jabatan menjadi seorang mahasiswa. Kalau ditanya bahagia? Tentu saja bahagia, bagaimana tidak saat ini saya jadi fresh graduate. Sudah menyandang gelar sarjana, gelar yang akan terus tersemat di belakang nama saya. Beratnya beban yang saya rasakan selama 4 tahun, pada akhirnya membuahkan hasil.
Saya tidak bosan-bosan berterima kasih kepada orang tua karena ikut turut andil dalam perjuangan saya selama 4 tahun. Setelah memegang surat keterangan lulus, rasa-rasannya impian saya selangkah lagi akan terwujud.
Selepas wisuda, saya membayangkan mendapatkan pekerjaan impian, bekerja di gedung-gedung bertingkat tinggi, pakai pakaian formal, menggunakan lanyard, mendapatkan gaji setiap bulannya agar bisa traktir orang tua dan hangout bareng teman-teman.
Perasaan saya waktu itu campur aduk sekaligus menggebu-gebu, fresh graduate tersemat dalam diri saya hingga berpikir, pokoknya terus apply, pantang berhenti sebar CV sampai job fair pun waktu itu saya jabanin.
Pada waktu itu saya benar-benar tidak peduli di manapun saya diterima dan bersedia di tempatkan di mana saja. Jiwa ambis saya saat itu sangat besar hingga saya merasa kalau keterima di awal tahun 2022 saya orang paling keren dibanding dengan teman-teman yang lain.
Tetapi kenyataanya tidak sesuai ekspetasi, saking semangatnya apply hingga tidak sadar tahun 2022 akan berakhir dan saya masih berkutat menyebar CV. Segala hal sudah saya lakukan. Ikut bootcamp bedah CV pun saya ikuti. Hingga saya merasa sudah tidak ada lagi yang harus saya ubah di CV tapi kenapa tidak ada satu pun panggilan yang masuk ke email saya.
Setiap hari saya terus ditampar pada kenyataan dan juga foto wisuda yang tersenyum sumringah. Rasanya bagaimana? Ya tentu saja sakit dan malu. Kalau dipikir-pikir saya juga bukanlah seorang mahasiswi kupu-kupu ‘kuliah pulang kuliah pulang’ pengalaman organisasi, magang, volunteer selama perkuliahan sudah saya jalani.
Setidaknya CV saya tidaklah terbilang sepi. Selama menyebarkan CV pun saya ikut turut mengikuti berbagai pelatihan baik pelatihan sesuai jurusan perkuliahan atau pelatihan sesuai hobi saya untuk menambah portofolio. Berikhtiar dan mengharapkan doa dari Allah selalu saya jalankan.
Semakin ke sini antara harapan dan kenyataan ternyata berbanding terbalik. Saya sudah mencoba, tetap tidak membuahkan hasil. Hidup saya hampir putus asa, pertanyaan “Sudah kerja apa belum?” dari berbagai arah membuat saya tertekan.
Ada satu titik di mana waktu itu saya membaca segala persyaratan loker yang tersebar di berbagai sosial media. Saya menyadari bahwa selalu ada tulisan “Min pengalaman 1-2 thn,” “wajib memiliki pengalaman” “Punya pengalaman lebih disukai” ini membuat saya tertegun. Apa ini yang menjadi alasan saya ditolak karena memang pengalaman saya tidak begitu lama hingga bertahun-tahun.
Saya melihat kembali loker-loker yang pernah saya apply sebelumnya karena waktu itu perasaan saya yang kelewat pede hingga tidak membaca kualifikasi yang ada. Iya, kebanyakan yang saya apply harus wajib berpengalaman. Lantas bagaimana nasib fresh graduate kalau semua lamaran diperuntukkan bagi yang berpengalaman?
Anak fresh graduate yang sedang mencari kerja selain ingin mendapatkan gaji juga ingin mendapatkan pengalaman yang belum pernah didapat sebelumnya. Mereka juga ingin menuangkan segala ilmu yang sudah didapat di tempat kerja impiannya. Kalau seperti ini apa semakin tidak banyak pengangguran?
Kalau orang yang dicari itu harus punya pengalaman minimal 1-2 tahun, seakan-akan orang yang baru lulus, tidak diperkenankan untuk terjun ke dunia kerja. Namun, di satu sisi kalau tidak bekerja diejek ‘gak berguna’, ‘si paling beban orang tua’.
Jangankan untuk lowongan kerja, saat ini untuk lowongan sekelas magang pun syaratnya harus berpengalaman. Lalu bagaimana anak fresh graduate bisa mendapatkan pengalaman kalau dari sana-sini tidak ada celah untuk mengembangkan bakat.
Seakan-akan organisasi, pelatihan, IPK seperti tidak dipertimbangkan jangankan dipertimbangkan dilirik pun sepertinya tidak.
Saya berpikir apakah memang orang dalam adalah senjata bagi fresh graduate untuk memulai karir yang sukses di perusahaan impian. Memang cara ini satu-satunya yang paling mudah, tapi kalau misalkan kita mengingat orang-orang yang tidak memiliki relasi, mereka pasti akan bilang ‘gak adil’. Banyak pekerja yang masih berpikir punya pengalaman sama dengan bisa segalanya, padahal fresh graduate ada loh yang sudah bisa ini itu apalagi kalau sudah menunjukkan portofolio dan berbagai kumpulan sertifikat, apa masih tetap dibilang tidak bisa apa-apa?
Setiap hari saya harus muter otak gimana caranya agar beberapa harapan bisa terwujud, sedikit demi sedikit bisa memenuhi segala kebutuhan orang tua. Orang tua memang tidak menuntut banyak hal secara blak-blakkan tapi harapan yang mereka pikul begitu besar belum lagi saya harus berkejaran dengan usia orang tua, tentu saya sebagai seorang anak harus tahu diri, jadi tanpa disindir pun sudah membuat mereka kecewa. Semoga apapun yang saya usahakan saat ini dapat membuahkan hasil, doa yang saya panjatkan ke langit semoga tidak menjadi angin.”
Hanifa Ramadhanti
Jl TB. Simatupang Jakarta Timur
[email protected]