Di depan memberikan teladan, di tengah membangun kekuatan, dan di belakang memberikan dorongan. Ya, ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. Pepatah klasik dari seorang guru bangsa, Ki Hajar Dewantara. Masih relevankah kini? Terutama untuk pada dosen yang jarang ngampus.
Hari ini, saya dan rekan-rekan telah tiba di ruangan itu. Satu per satu yang lain datang dengan nafas yang engap. Sial, liftnya rusak. Alhasil, menaiki anak tangga tujuh putaran bukanlah pilihan. Awalnya suasana terasa menyenangkan dengan gurauan dan cerita yang saling kami lontarkan. Namun, beberapa jam berselang, tak ada lagi seseorang yang datang. Padahal, beliaulah orang terakhir yang tentunya kami harapkan.
Bukan kali pertama, terhitung sudah dua purnama lamanya. Kami tak tau apa yang terjadi. Setelah Ujian Tengah Semester dua bulan lalu, sosok teladan itu menghilang entah kemana. Bukannya tanpa upaya, namun ironisnya percobaan merayu sang dosen hanya bertepuk sebelah tangan.
Bahkan, sekadar menghubungi beliau pun, kami seakan-akan menjadi kelinci percobaan dari beberapa aplikasi tak wajar hanya demi mendapatkan notif bahwa pesan kami telah dibacanya.
Sibuk dan kesibukan dosen
Sebagai mahasiswa, kami tentunya tahu soal apa yang disebut dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat adalah konsep yang terus didoktrinkan bahkan sejak Ospek. Ketiga tugas tersebut mestinya saling melengkapi dan tidak berbenturan satu sama lain sehingga civitas akademik dapat memiliki kualitas yang baik.
Pun sebagai mahasiswa, absennya beliau-beliau awalnya dapat kami terima, walaupun dengan argumentasi yang template, seperti sedang ada kegiatan lain, sedang ke luar kota, ada rapat, atau yang lainnya. Sayangnya, sesuatu yang kami sebut sebagai toleransi itu tak mampu bertahan lama. Tak sampai separuh semester yang beliau hadiri. Sisanya zonk.
Mengajar mestinya adalah tugas utama dari seorang pengajar. Entah ekosistem pendidikan atau karakter pribadi yang membuat prinsip itu bergeser. Ya, Mengajar bukan lagi keutamaan, justru hanya sebagai sampingan. Bahkan saking sibuknya, mengajar bukan bagian dari kesibukan.
Mari kita buat sederhana saja. Apabila sedang tidak mampu mengajar, setidaknya berilah materi. Jika tak mampu memberi materi, setidaknya berilah kami tugas. Kalau memang tak mampu untuk sekadar memberi tugas, setidaknya berilah kepastian. Jika masih tidak mampu juga untuk memberikan kepastian, setidaknya kami mohon untuk jangan menghilang.
Apa yang kami rasakan saat ini ibaratnya dosen sirkus, mahasiswa mampus.
UKT (Uang Kuliah Tunggal) atau UTK (Uang Tidak Kuliah)?
Bukannya ingin jadi mahasiswa yang ambis, namun hanya satu kata yang mampu menggambarkan kebobrokan ini. Rugi. Bayangkan saja, mahasiswa membayar sejumlah uang tiap semesternya hanya untuk menunggu sesuatu yang tak pasti. Jumlahnya pun bervariasi, mulai dari 3-5 jutaan. Itu saja? Oh tentu tidak. Bagi mahasiswa perantau, jangan lupakan biaya hidup ya.
Kemana perginya uang itu? Apakah boleh kami mengajukan cashback? Kenapa sih kami tak mendapatkan hak belajar? Kami kan sudah melakukan kewajiban kami, tolonglah setidaknya tunjukkan sikap profesionalitas dengan tidak mempraktekkan Shunshin no Jutsu seperti itu.
Kepada siapa harus mengadu?
Selain kepada Tuhan, tampaknya tak ada tempat pelarian lain. Bagaimana tidak, ulah oknum dosen yang demikian nyatanya telah diketahui banyak orang, bahkan atasannya sekalipun. Dengan kata lain, ketidakprofesionalan tersebut telah menjadi rahasia umum. Mirisnya, tak ada satu pun respon atas laporan itu. Koordinator progam studi, kepada departemen, atau bahkan dekan seakan-akan bersikap acuh tak acuh. Bahasa kerennya, mahasiswa yang dirugikan malah dikacangin.
Positive thinking saja, mungkin yang bersangkutan bukan satu-satunya. Bisa jadi juga karena yang bersangkutan adalah orang penting di lingkungannya sehingga ada konflik kepentingan yang bermain di sana. Entahlah, logika mahasiswa ini kadang terlalu kemana-mana ya.
Namun, kalau seandainya benar begitu, berarti sisi gelap perkuliahan ini mampu membuktikan sebuah teori ilmu sosial, dimana nilai moral bergantung pada seberapa banyak orang yang melakukannya tanpa memandang tindakan tersebut baik atau tidak.
Pokoknya semakin sering dilakukan, maka akan semakin wajar, termasuk tindakan indisipliner seperti di atas.
Mahasiswa yang menuntut haknya adalah hal yang normal, namun risikonya juga tak masuk akal. Potensi dianggap mencoreng nama baik, adu domba, atau bahkan bapernya beliau seakan-akan menjadi pertunjukan sirkus dalam kampus. Kira-kira enaknya gimana ya?”
Moch. Alfa Alfiansyah, Sumberkedawung Leces Probolinggo alfa.alfiansyah1945@gmail.com
BACA JUGA Penderita Buta Warna Parsial: Sebenarnya Kami Ini Normal atau Tidak? dan keluh kesah lain dari pembaca Mojok di UNEG-UNEG.
Keluh kesah dan tanggapan Uneg-uneg bisa dikirim di sini