Halo perkenalkan saya Imanah, saya seorang pelajar yang masih duduk di bangku SMK. Dari tulisan ini saya ingin berbagi keluh kesah saya dan beberapa teman saya selaku pelajar Indonesia untuk guru Indonesia.
Banyak hal yang menjadi kekesalan para pelajar Nusantara, berteriak ingin didengar, tapi nyatanya tidak sama sekali. Saya selaku pelajar Indonesia juga merasakan hal ini. Berdirinya sekolah seharusnya bisa menjadi wadah bagi pelajar untuk bisa menjadi individunya sendiri.
Tujuan belajar harusnya untuk bahagia bukan nilai mata pelajaran
Seperti yang Ki Hadjar Dewantara utarakan, bahwa tujuan belajar di sekolah adalah untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Sedangkan kami di sekolah, mendapat tuntutan untuk dapat memenuhi kriteria penilaian semua mata pelajaran.
Seperti nilai yang tidak boleh di bawah KKM, harus bisa di semua mata pelajaran. Seakan lupa bahwa kami juga punya kemampuan yang berbeda, tidak dapat disamaratakan.
Guru juga tak jarang membanding-bandingkan antara siswa pandai dan tidak, “Kamu lihat dia, dia belajar keras jadi nilainya bagus semua,” katanya. Seakan lupa kalau kemampuan kami berbeda.
Bukannya mendorong kami untuk semangat belajar, tapi sebaliknya. Mereka yang belum paham materi, setelah belajar akhirnya paham dan mendapat nilai bagus. Bukannya mendapat apresiasi malah mendapat tuduhan, “Kamu nyontek ya? kok bagus nilainya”. Oke, kalau memang siswa tersebut benar menyontek, kalau tidak?
Guru Indonesia harusnya menyesuaikan kemampuan siswanya
Guru seharusnya bisa menyesuaikan kemampuan siswanya. Jika nilai memang harus di atas KKM, harusnya mereka yang belum bisa, mendapat bimbingan khusus supaya bisa. Ketika materi satu sudah selesai, guru lanjut ke materi kedua. Benar mereka tanya “sudah paham atau belum?”.
Ketika ada yang bilang belum paham “belajar sama si ini” katanya. Tanpa tahu orang yang ditunjuk mau tidak mengajari temannya ini. Kalaupun mau, tidak semua orang mampu mengajari temannya.
Syukur untuk mereka yang bisa mengajari dan sudah mampu memahami pelajaran, kalau yang tidak? Itu tugas guru, bukan untuk memastikan siswanya paham dengan materi yang diberikan.
Tak sedikit guru yang hanya memberikan nilai kepada siswa favorit. Jika ada, tak peduli sekeras apapun usaha siswa tersebut untuk dapat nilai baik, akan sia sia karena mungkin mereka bukan siswa favorit mereka.
Dimana guru ketika kami kena bullying?
Tak hanya itu, ribuan sekolah yang berdiri. Hanya beberapa yang betul-betul peduli dengan yang terjadi kepada siswanya. Salah satu hal yang masih menjadi momok kami adalah bullying.
Memang benar, sekolah menyuarakan No Bullying. Tapi nyatanya, tidak ada penanganan lebih lanjut terkait hal itu. Tulisan No Bullying saja yang besar, kepedulian gurunya tidak. Bahkan tak jarang yang masih menyepelekan bullying, menurut mereka bullying hanya soal kekerasan fisik. Faktanya banyak dari korban bully yang merasa lebih tersakiti di luar penindasan fisik, dan berdampak kepada psikis korban.
Banyak guru yang bilang, kalau kami adalah generasi lemah. Bagaimana mungkin seorang guru yang seharusnya mendorong kami untuk maju malah mengatakan hal sebaliknya?
Teman-teman kami yang punya masalah malah dikata “kamu masih terlalu kecil untuk punya masalah pribadi” padahal masalah tidak pernah memandang usia, wajar bukan kami yang sudah SMA punya masalah pribadi? Seakan menyepelekan dan bilang bahwa masalah kami masalah kecil, tanpa tau yang kami hadapi.
Adanya bimbingan konseling di sekolah nyatanya tidak berperan sama sekali di sekolah. Yang katanya rahasia akan tersimpan rapi jika curhat kepada guru BK. Yang ada malah tersebar ke seluruh sekolah, ada memang yang betul-betul guru BK yang baik, tapi sedikit jumlahnya.
Ketika ada siswa yang bermasalah, banyak juga guru yang menggosipkan. Guru yang seharusnya menjadi contoh yang baik malah melakukan hal yang tidak baik seperti itu.
Guru Indonesia, jadilah orang tua, bukan tetangga pindah rumah
Di beberapa kesempatan ada guru yang bilang “Kami ini manusia biasa yang bisa merasakan sakit hati, kesal, dan marah” saya akui benar, mereka manusia. Tapi kami juga manusia. Kami juga tidak dapat mengutarakan opini kami, ketika berdiskusi opini kami seakan ditolak mentah-mentah.
Mereka menyuapi paksa opini ke kami, tidak boleh ada protes dan sanggahan. Guru mengajari kami, bahwa ketika tidak ada keadilan harus melayangkan protes, selama itu benar. Namun, jikalau kami protes malah mendapat cap murid yang tidak sopan.
Saya harap dari tulisan saya ini, guru-guru di Indonesia bisa sadar. Tak sedikit dari kami yang merasa guru bukanlah orang tua kedua, namun hanya tetangga yang pindah rumah.
Kami juga ingin dapat barokah ilmunya. Tidak perlu juga membandingkan kami dengan siswa lain. Karena kami jelas-jelas individu yang berbeda.
Nur Imanah, Kab.Mojokerto, Prov.Jawa Timur ma0587419@gmail.com
BACA JUGA Uneg-uneg dari Guru PNS yang Tak Dapat Sertifikasi karena Belum Sarjana dan keluh kesah lain dari pembaca Mojok di UNEG-UNEG
Keluh kesah dan tanggapan Uneg-uneg bisa dikirim di sini.