Siapa yang tidak tahu nasi padang? Mungkin hampir seantero manusia di Indonesia pasti tahu. Mulai dari pelosok desa hingga pemukiman perkotaan. Atau barangkali hampir kecenderungan manusia di Indonesia menyukai, walaupun yang menyantap plus suka tidak mesti orang sesuku. Maksudnya di sini, suku minang. Suku Jawa, Melayu, Bugis, Sunda dan banyak lagi lainnya.
Nasi padang merupakan salah satu makanan terbaik yang berasal dari Sumatera Barat. Provinsi yang dijuluki dengan Kampung Rendang. Negeri segudang resep makanan, yang berhasil membuat rendang menjadi salah satu makanan terenak di dunia. Bukan maen-maen. Karena memang olahan rendang berasal dari negeri mereka. Bukan dari Malaysia, seperti yang viral di tik-tok beberapa pekan lalu.
Just for Information, di sana, di Sumatera Barat, sejauh saya melangkahkan kaki, tidak ada rumah makan berlabel, “Nasi Padang”, yang ada, “Kadai Nasi”, “Ampera”. Hanya di luar Sumatera Barat yang melabelinya dengan rumah makan padang.
Ada hal yang membuat saya sedikit terkejut ketika merantau untuk mengambil studi magister di salah satu kampus Islam di Jogja. Saya kaget ketika melihat nasi padang, yang secara subjektif jauh dari esensi nasi padang itu. Salah satunya istilah “Padang-Jawa”.
Bagaimana mungkin citra masakan suku Minang gurih nan lamak bertemu dengan masakan Jawa-Jogja yang manis? Saya bukan menjelekkan suku tertentu, tidak. Tidak.
#Nasi padang kok pulen
Haduh, baru pertama kali menyicipi masakan padang di Jogja, kami orang Sumatera harus menyantap nasi putih pulen, sesuatu yang nggak mungkin ada di Sumatera Barat. Belum makan sudah menjelma menjadi Rene Descrates, berpikir sejenak mengaktifkan nalar, sok kritis. Bagaimana bisa nasi putih pulen dicampur kuah gulai, gak nyambung rasanya?
Ini bukan nasi padang. Mestinya itu nasi harus sedikit keras, berasnya mesti beras pera, bukan pulen. Kenapa? Karena simpelnya nasi pera dengan guyuran kuah gulai lebih gurih ketimbang nasi pulen. Saya berani bertaruh dah, coba teman-teman pergi ke Sumatera Barat, saya pastikan di kadai nasi masakan padang tidak ada secuil pun nasi pulen seperti yang di Jogja. Indak masuk dalam lambung awak sanak, kata orang Minang
#Nasi padang sambalnya kok manis
Kali ini kita pergi ke sambalnya, biasanya kami menyebutnya dengan istilah “Lado”. Karena menu sudah terpesan, mau tidak mau mesti di makan. Walhasil, sambelnya aduhai manis, tidak gurih. Jauh beda rasanya dengan di Sumatera Barat. Nasi padang, itu paling tidak secara esensi nasi padang sambal mesti ada dua jenis, lado merah dan hijau.
Sambalnya tidak boleh manis, mesti gurih, asin dan pedas. Tetapi di Jogja tidak demikian, manis, manis dan manis. Tak jarang di beberapa warung nasi padang justru tidak menyediakan sambal. Ini lebih menyedihkan lagi. Orang Sumatera makan gak pakai sambel? Mana bisa. Yang bener aje rugi dong!!!
Baca halaman selanjutnya
#Kuah gulai yang tidak kental dan kurangnya menu bakar-bakaran di nasi padang Jogja
#Kuah gulai yang tidak kental dan kurangnya menu bakar-bakaran di nasi padang Jogja
Kali ini, kita komentari gulai pada nasi padang di Jogja. Di Jogja gulainya cenderung secara tekstur tidak kental, atau cair. Kadang, warnanya tidak pekat kuning, tapi ya kuning seadanya. Susah juga untuk menjelaskannya, yang jelas poin pentingnya kuahnya tidak kental sebagaimana nasi padang yang saya kenal di kampung halaman.
Tidak hanya itu, menu lauk-pauknya juga cukup buat pencinta nasi padang terpukul.
Kebanyakan menunya hanya goreng-gorengan. Ayam goreng, ikan goreng, tempe dan tahu goreng. Ikan nila bakarnya mana? Gulai Asam Padeh Patih mana? Dendeng Batokok mana? Telur Barendo mana? Susah carinya khususnya di Jogja. Sekalinya ada, rasanya tidak padang, tapi padang-padangan.
Sekali lagi, saya tidak bermaksud menjelekkan. Saya susun sepuluh jari jika ada yang merasa dijelekkan oleh saya, tapi demi Tuhan tidak demikian maksud saya. Pernyataan yang saya susun dalam tulisan, sudah sering saya curhatkan kepada teman-teman dari kampung yang sama, baik dari Riau, Sumatera Barat dll. Semua punya kesamaan, sama-sama mengalami kegelisahan yang pada semua hal hampir sama.
Nasi padang itu nasinya harusnya sesuai jatah
Tetapi, mesti diberikan A plus untuk siapapun yang berani membuka usaha nasi padang di Jogja yang masyarakatnya mayoritas suku Jawa. Ini karena masyarakat di sini cenderung suka manis dari segi makanan. Terciptanya usaha nasi padang memberikan sinyal bahwa suku Minang bisa berada dan menunjukkan identitasnnya dimana saja.
Sekaligus menyuguhkan masakan khas kampung halamannya tersebut, tetapi tetap mesti berbenah dari segi masakan. Seperti yang sudah saya sebutkan di atas, nasi harus beras pera, kuah gulai mesti kental, sambal mesti gurih, asin, dan lamak. Itu baru esensi sebenarnya “Nasi Padang.”
Hal menarik terakhir yang kebalikannya, banyak saya temukan di Jogja dan jarang ada di Sumatera yakni saat mengunjungi rumah makan padang, pelanggan dipersilahkan untuk mengambil nasi, lauk, dan sayur masing-masing atau model prasmanan.
Ini pasti menguntungkan orang yang suka makan banyak. Susah menemukan hal ini di Sumatera. Di Pulau Sumatera, baik Sumatera Barat, Riau dan provinsi lain, pelanggan yang datang ingin menyantap nasi padang otomatis akan dapat jatah secentong batok kelapa. Jika mau nambah harus bayar lagi, tidak seperti di Jogja bebas dan puas mengambil sebanyak-banyaknya.
Akhir kata, walaupun tetap banyak kekurangan, kita mesti bangga tetapi tidak lupa berbenah. Bangga berani menunjukan identitas sebagai warga Sumatera. Mempertahankan kekayaan warisan kuliner Indonesia bagi generasi mendatang. Dan tidak lupa, tambuah ciek dah. Artinya tambah sekali lagi nasinya Mas, Bang.
Hariyanto, Yogyakarta, hariyantoafi2@gmail.com
BACA JUGA Surat Cinta untuk Petugas Parkir Liar di Jakarta yang Cuma Modal Peluit dan keluh kesah lain dari pembaca Mojok di UNEG-UNEG
Keluh kesah dan tanggapan Uneg-uneg bisa dikirim di sini.