Di antara sekian banyak makanan khas Sunda, ada dua makanan fenomenal yang membuat saya ingin sekali mengetahui siapa penemunya. Pada titik tertentu, saya bahkan sampai berkhayal, seandainya saya menjadi Gubernur BI, maka saya akan mengabadikan gambar mereka dalam pecahan uang rupiah terbaru Indonesia.
Bukannya lebay, tapi menurut saya, dua makanan khas Sunda ini memang istimewa. Dan jujur, saya ingin sekali tahu, siapa penemunya.
Pertama, penemu seblak
Bagi Anda yang baru mendengarnya, saya perlu tekankan bahwa makanan ini cukup dilafalkan seblak saja. Huruf ‘e’ dalam kata seblak tidak perlu dilafalkan menjadi ‘eu’ seperti dalam kata peuyeum, atau ‘e’ seperti dalam kata ember.
Sementara untuk Anda yang rajin mengaji dan tinggi ilmu tajwid-nya, huruf ‘b’ dan ‘k’ di sana juga tidak perlu dilafalkan menggunakan hukum bacaan Qalqalah. Jadi, biasa saja.
Lantas, apa itu seblak?
Seblak adalah makanan beraroma khas yang terbuat dari kerupuk mentah —umumnya kerupuk Sumber Sari warna oranye— yang biasanya direbus terlebih dahulu kemudian dimasak dengan bumbu sederhana berbahan dasar bawang merah, bawang putih, cengek a.k.a cabe rawit, dan cikur alias kencur. Keberadaan kencur inilah yang membuat seblak memiliki cita rasa dan aroma yang khas.
Penampakan seblak memang tidak begitu menggiurkan. Tapi, tekstur kerupuknya yang kenyal, wangi kencur yang lambat laun menyusup ke dalam lubang hidung, serta rasa gurih plus pedasnya cengek akan menggoyang manja lidah Anda. Pokoknya, hau jek sen cing ping lah.
Pada umumnya, seblak memang disajikan dengan rasa pedas. Oleh karena itu, makanan ini sering kali dikategorikan ke dalam famili makanan pedaseae (maksa, sih). Pada level tertentu, terutama ketika cengek yang digunakan adalah cengek merah dan dibuat saat si ibu penjual seblak sedang PMS atau badmood, niscaya pedasnya akan meledak di mulut, memekikkan telinga, hingga membuat air mata (juga leho a.k.a ingus) mengucur tak tertahankan.
Seblak ini sebenarnya terdiri dari dua jenis, yaitu basah dan kering. Seblak kering lebih mirip kerupuk bumbu pedas saja, cuma teksturnya agak keras karena tidak digoreng hingga mengembang. Sementara yang paling fenomenal adalah seblak basah. Seblak basah ini sendiri terbagi dua, ada yang berkuah dan ada juga yang tidak. Nah, seblak basah inilah yang dari tadi saya ceritakan.
Belakangan, seblak hadir dengan berbagai bahan pendamping —iya, bahkan seblak pun sudah bosan hidup sendiri. Ada yang ditambah telur, jamur, ceker ayam, tulang, bakso, sosis, dan lain sebagainya. Untung saja tidak ada yang ditambahi dengan beling atau paku payung (yakali… debus). Bahan utamanya pun kini sudah beragam, tidak melulu kerupuk. Ada makaroni, batagor kering, siomay kering, hingga basreng (baso goreng). Semoga tidak ada penjual yang iseng menggantinya dengan Caviar.
Terpujilah wahai engkau penemu seblak…
Kedua, penemu cuanki
Ada banyak versi mengenai cara penulisan makanan ini. Ada penjual yang menulisnya dengan kata biasa saja, yaitu cuanki, tapi ada juga yang menulisnya dengan cuanky (ejaan basa Sunda-American), cuankie (ejaan basa Sunda-British), hingga chuanky (sepertinya ini dialek Irish English dioplos Sunda Cianjur). Namun, walaupun tulisannya berbeda-beda, tapi pelafalannya tetap satu jua: cuangki.
Cuanki adalah makanan yang umumnya terdiri dari bakso ukuran kecil atau pun besar, tahu putih atau kuning, dan siomay. Jadi, cuanki tidak merujuk pada satu makanan tertentu, melainkan gabungan dari aneka makanan yang tumplek dalam satu mangkuk lengkap dengan kuah beningnya.
Dalam beberapa kasus, terutama ketika lapar akut, seporsi cuanki ini dapat juga ditambahi dengan mi. Tapi, mi yang digunakan bukan mi kuning seperti dalam mi bakso. Mi yang digunakan biasanya mi instan —sebut saja Indomie. Dalam kasus yang lebih ekstrem, seperti saat lapar stadium lanjut, seporsi cuanki juga dapat ditambahi dengan sepiring nasi. Untuk yang satu ini, si mamang cuanki tidak menyediakannya.
Rasa cuanki ini begitu gurih, terutama bagian kuahnya. Saat memakannya, Anda tidak akan peduli berapa banyak kadar penyedap rasa yang digunakan si mamang cuanki untuk bisa menimbulkan rasa gurih tersebut. Dan menurut saya, rasanya akan lebih nendang lagi kalau ditambah cuka dan sambal yang banyak. Niscaya rasa gurih dan pedasnya akan sulit terlupakan.
Seiring dengan jumlah fans fanatik cuanki yang semakin meningkat, penjual cuanki pun kini memperluas wilayah kekuasaannya. Dari yang awalnya hanya area kampung atau perumahan warga, kini mereka sudah melakukan invasi ke berbagai area publik lain seperti area pertamanan di kota Bandung.
Saking luasnya wilayah kekuasaan tukang cuanki ini, seorang teman bahkan sempat bercerita bahwa mereka bahkan bisa ditemukan di area pendakian gunung Papandayan. Ya ampun, Mang, meni jarambah tea jualan teh.
Selain itu, cuanki sebenarnya sudah banyak dijual di tempat yang lebih layak, seperti di kedai makan sampai hotel.
Tapi sebagai cuanki’s junkie, saya percaya bahwa cuanki sejati itu dijual oleh mamang-mamang dengan cara dipikul dan pikulannya berbentuk kotak warna perak metalic yang begitu shiny. Titik. Tak lupa, si mamangnya harus bawa pentungan kayu kecil berbunyi “tok-tok-tok” —semoga tidak ada tukang cuanki yang kelewat kreatif sehingga mengganti bunyi pentungannya dengan nada telolet. Amiiin Ya Rabb…
Ya, begitulah. Dua penemu makanan yang begitu saya kagumi dan sampai sekarang belum saya temukan siapa mereka.