Jogja, Kuliner, dan Kenangan

Jogja, Kuliner, dan Kenangan

Jogja, Kuliner, dan Kenangan

Menjadi orang Solo lalu memutuskan tinggal di Jogjakarta bukanlah hal mudah buat saya. Terutama buat lidah saya. Semakin jarang pulang ke Solo, maka semakin rindulah saya dengan beragam kuliner khas kota itu. Apalagi sejak satu tahun terakhir, seorang teman memasukkan saya ke grup WhatsApp yang isinya teman-teman sekelas semasa SD dan banyak di antaranya yang tinggal di Solo. Topik pembicaraan tiap hari adalah makanan.

“Jam segini enaknya makan apa, guys?” lontar seorang teman yang tinggal di Solo dan hampir tidak pernah memasak makan malam.

“ Bestik enak kayaknya,” jawab yang lain.

“ Lagi pengen sego liwet, nih,” celetuk yang lainnya lagi.

Alhasil, berkumpullah 3 hingga 5 orang kawan SD Saya di sebuah tempat makan di Solo. Sisa anggota grup yang lain, yang kebetulan tidak tinggal di Solo hanya kecipratan foto-foto. Foto makanan, foto mereka sedang makan dan foto mereka bersama-sama setelah kenyang makan. Nggrantes? Hati saya tidak. Lidah dan lambung saya, iya.

Tidak heran, jika berkesempatan pulang ke Solo, jadwal saya akan penuh dengan jadwal berburu kuliner. Tiap jam makan adalah saat tersulit untuk pengambilan keputusan: mau makan apa dan di mana. Terutama jika saya ingin mengajak teman untuk bergabung makan bersama. Pengambilan keputusan menjadi makin rumit. Alhasil acara mudik 1-2 hari akan berbuah 1-2 kilogram penambahan berat badan.

Meskipun begitu, tidak bisa dipungkiri, makanan Jogja memiliki kandungan yang mencerdaskan otak saya. Tidak ada penelitian ilmiah yang saya lakukan untuk memperkuat dugaan ini. Saya hanya mengamati kemampuan otak saja saat bekerja. Selama 15 tahun terakhir, banyak ide brilian yang saya dapat lebih banyak saat di Jogja. Mungkin karena saat berada di Solo, otak saya isinya hanya “makan apa sekarang?”.

Untuk Anda yang pernah tinggal di Jogja dan sudah tidak lagi tinggal di Jogja, tetapi merindukan stimulasi otak menyerupai saat tinggal di Jogja, berikut saya jabarkan beberapa jenis makanan yang kemungkinan besar membuat otak kita secemerlang masa lampau. Anda bisa mereproduksi makanan-makanan ini di dapur rumah Anda. Tapi, lagi-lagi, saya juga tidak memiliki bukti ilmiah bahwa hal tersebut bisa berhasil.

Berikut beberapa menu tersebut:

Sego Kucing

Menu ini bisa dikatakan menu penyelamat bagi hampir sebagian besar anak kos. Sego kucing adalah sekepal nasi yang disisipi sesendok lauk, umumnya oseng tempe atau sambel teri yang terinya maksimal hanya 4 biji. Saya bahkan pernah mengalami masa di mana sego kucing hanya dibanderol 500 perak dengan teri sejumlah 1 biji. Saat itu saya gundah, manakah yang akan saya makan terlebih dahulu: nasi atau teri?

Sekarang sego kucing rata-rata dibandrol 1500 hingga 2000 rupiah di angkringan seputaran Jogja Selatan. Masih murah. Tapi ketika banyak warung burjo mulai melebarkan ekspansi menunya ke nasi telor, nasi sarden dan nasi oseng, sego kucing mulai kehilangan pasar.

Burjo

Burjo adalah akronim dari bubur kacang ijo. Umumnya dijual di warung berupa kios sederhana yang menurut pengamatan saya seringnya di cat krem atau hijau pupus. Jenis warung ini awalnya hanya menyediakan pilihan bubur kacang ijo hangat atau es dan beberapa minuman sachet. Jika kita pesan burjo, Aa’ nya akan menyodorkan segelas air putih. Awalnya saya pikir aa’ ini perhatian sekali. Ternyata semua Aa’ di semua warung burjo melakukan hal yang sama. Saya kemudian menyimpulkan, segelas air putih ini adalah ‘Standar Operasional Prosedur’ (SOP) di semua warung Burjo.

Tapi tidak semua mahasiswa suka burjo. Saya, misalnya, lebih sering memilih gorengan yang dilumuri kecap di seluruh permukaannya. Mungkin kelakuan seperti ini menjadi pengamatan jeli para pelaku bisnis burjo, hingga akhirnya mereka melebarkan sayap ke menu-menu bercita rasa asin seperti mie instan yang dilengkapi dengan telur, nasi sarden, atau cukup nasi telur saja.

Sungguh sebuah strategi bisnis yang mematikan!

Pecel Lele atau Penyetan

Mungkin karena sejak awal saya kecewa dengan warung jenis ini, menu pecel lele atau penyetan bukanlah favorit saya. Tampilannya serupa kaki lima. Spanduknya putih bertuliskan “pecel lele” atau “penyetan”. Tapi sama sekali tidak ada pecel dan sesuatu yang dipenyet di hasil akhir penyajiannya. Sungguh sebuah kebohongan besar. Harapan saya waktu pertama kali jajan di warung “pecel lele” adalah sepiring nasi pecel dengan lele sebagai lauknya. Tapi yang hadir adalah sepiring nasi putih, satu mangkuk air cuci tangan dan sebuah piring plastik kecil berisi sambal tomat blenderan, lalapan, dan lele. Jika sedang menuju defisit, kita bisa memesan tempe telur. Jika benar-benar defisit, pilih saja tempe.

Saya sangat khawatir jika melihat wisatawan asing melenggang masuk ke warung jenis ini.

Pertama, karena spanduk warung pecel lele kadang menampilkan grafis yang agak jauh dari ekspektasi: gambar-gambar ayam, bebek, lele dan nila yang tampak masih hidup dan bugar. Tidak ada tanda-tanda bahwa mereka akan disajikan dalam bentuk gorengan atau bebakaran.

Kedua, tentang air kobokan. Saya khawatir mereka menganggap itu kuah kaldu.

Bakmi Jawa

Saya pikir salah jika orang menyebut Jogja sebagai Kota Gudeg. Gudeg hanya bisa ditemukan di kawasan tertentu. Lebih tepat mungkin menamakan Jogja sebagai Kota Bakmi Jawa. Warung ini ada hampir di seluruh sudut kota dan kabupaten di seluruh propinsi yang gubernurnya raja ini. Cita rasanya pun sangat kaya. Meskipun begitu jangan harap mendapati jomblo sering makan di sini. Harganya tidak begitu ekonomis dan porsinya besar. Sangat cocok jika makan bakmi jawa seporsi berdua. Hal yang sulit untuk direalisasi oleh jomblo, kecuali ada dua jomblo bersatu. Selain itu rata-rata warung bakmi jawa memiliki suasana romantis dengan caranya sendiri. Romantis yang njawani. Saya tidak yakin seorang jomblo sanggup menghadapi suasana seperti ini. Sendiri.

Untuk itu, sebagai ibu muda yang baik dan peduli jomblo, berikut saya beri sedikit tips memasak mie instan agar terasa seperti bakmi godog jawa. Bahan dapat Anda dapatkan di warung sayur terdekat. Yang Anda butuhkan selanjutnya hanyalah pisau, kompor, wajan dan sothil. Jika Anda sebegitu jomblonya sehingga tidak memiliki alat-alat tersebut, coba mbribik ibu kos untuk meminjamkan alat-alat tersebut untuk Anda. Sial jika kos Anda tidak memiliki ibu kos. Cukup baca selintas saja resep anjuran saya ini.

Bahan yang diperlukan:

1 sendok minyak goreng. Jika ibu kos berbaik hati, Anda bisa nempil jlantah yang ada di dapur.
1 siung bawang putih, digeprek.
1 butir telur ayam
Sayur mayur. Apa saja. Sebonggol sawi hijau dan sebuah tomat misalnya. Iris-iris.
1-2 gelas air. Tergantung ukuran gelasnya.
Mie instan rebus. Rasa apa saja. Asal bukan rasa ingin tahu tentang mantan.

Caranya:

Panaskan minyak. Masukkan bawang. Tumis hingga harum. Masukkan telur. Diorak arik hingga sedikit crispy tepinya atau sesuai selera. Masukkan sayur dan tumis. Sebentar saja. Tuang air, tunggu mendidih lalu masukkan mie instan dan seperangkat bumbunya. Angkat setelah mie kenyal. Makanlah dengan lahap. Lupakan semua kenangan mantan. Menu ini akan cukup mengobati rasa rindu Anda akan cita rasa bakmi Jawa. Mungkin sedikit perpaduan dengan mie rebus ala burjo. Yang jelas, Anda bisa menikmatinya dalam kesendirian tanpa perlu dihantui suasana romantis warung bakmi Jawa.

Teh Gawe

Mungkin minuman ini tidak banyak yang tahu. Saya sendiri bertemu dengan minuman ini hanya di beberapa tempat di Jogja Selatan. Orang sering menyebut ‘teh damel’. Penyajiannya pun berbeda-beda di tiap tempat. Prinsipnya minuman ini adalah DIY, Do It Yourself. Bikin sendiri teh menurut seleramu. Terdiri dari satu gelas yang berisi seduhan teh, satu gelas belimbing yang kosong, saringan (kadang ada kadang tidak) dan gula batu. Jika ingin mengencerkan seduhan teh, cukup minta isi ulang air panas ke penjualnya.

Minuman ini tidak bisa hanya dinikmati untuk waktu singkat sebagai penutup hidangan. Teh gawe sangat cocok dipesan saat kita ingin berdiskusi panjang dengan teman-teman yang memiliki level kecerdasan yang seimbang, atau sekadar untuk nglaras sambil dobos-dobosan. Minum teh gawe membuat otak kita rileks karena topik pembicaraan saat ngeteh gawe tidak perlu bermutu seperti kalau sedang ngopi di starbak, karena harga wedang ini cuma berkisar 2500 hingga 3500 rupiah.

Nah, itulah beberapa jenis makanan (dan minuman) yang menurut saya memiliki andil dalam kecerdasan para mahasiswa-mahasiswi lulusan jogja. Tak terhitung pula jasa para penjualnya yang mau buka tutup folder mencatat hutang, alias mau dibayar belakangan setelah awal bulan.

Saran saya, bagi Anda yang rindu Jogja atau sekadar ingin bernostalgia, janganlah buru-buru ke Wijilan berburu gudeg. Saya tidak yakin ada kenangan di sana. Kunjungilah angkringan, burjo, pecel lele dan bakmi jawa langganan Anda. Jika perlu bertanyalah apakah masih ada folder hutang Anda di buku tulis merk ‘gelatik kembar’ milik mereka.

Siapa tahu Anda lupa membayarnya.

Exit mobile version