Bagi para mahasiswa atau perantau yang sedang berada dalam keadaan miskin ingin berhemat, salah satu harta karun kuliner yang paling dicari adalah lauk kemarin.
Ketika perut terasa begitu lapar dan dompet ternyata terlalu tipis untuk dibelanjakan bahan-bahan makanan, adalah sebuah kebahagiaan ketika kita membuka kulkas di kos dan rupanya ada sisa-sisa lauk kemarin. Setidaknya, perut untuk satu kali makan sudah terselamatkan.
Tetapi ada satu permasalahan dari lauk kemarin yang saya kira cukup jelas, yaitu keadaannya: sudah busukkah lauknya? Masih layak makan atau tidak? Rasa dan baunya bagaimana?
Pertanyaan-pertanyaan ini kerap mengerubungi kepala kita sampai akhirnya kita mencium bau dari lauk kemarin (kemarin atau minggu kemarin, tidak tahu juga sih). Dari baunya, sudah agak tidak enak, tapi bisa ditolerir; dari bentuknya, ya namanya lauk kemarin jangan dikira gourmet dish-lah; ketika dirasakan dengan lidah … hoooeeek! Rupanya kita tidak tahan memakannya. Alhasil, lauk kemarin yang sudah dengan begitu bahagia kita temukan berakhir di tong sampah. Sad ending.
Ada beberapa kawan saya yang tinggal di asrama kampus mengaku tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut. Kulkas di asrama kampus saya memang hanya ada satu di setiap lantai, jadi semua penghuni lantai lantas memasukkan semua bahan makanan ke dalam kulkas tersebut.
Permasalahannya adalah tidak satu pun dari mereka yang mengingat keberadaan kulkas setelah memasukkan bahan makanan (iya, saya juga bingung kenapa hal semacam itu bisa terjadi) sehingga bahan-bahan makanan dengan cepatnya membusuk. Nah, ketika dompet mulai mengering, berbondong-bondonglah orang-orang ini makan bahan makanan yang sudah tidak baik itu. Benar, mereka bisa tahan memakannya, tapi perut mereka tidak. Klinik, here they come.
Yang saya lihat paling lihai dalam mengurus, mengolah, dan akhirnya menghargai lauk kemarin tak lain tak bukan adalah ibu saya sendiri. Ibu merantau ke Jakarta pada usia yang masih begitu muda, dan tinggal di sana sendiri selama beberapa waktu sambil bekerja. Ibu kerap bercerita bagaimana beliau dulu harus cerdik mengolah lauk-lauk atau bahan makanan yang ada di dalam kulkas. Atau lebih tepatnya, mengolah bahan makanan menjadi lauk yang tahan lama sehingga ketika lauk tersebut berevolusi menjadi lauk kemarin, ia tetap sedap dimakan.
Ibu selalu mengatakan bahwa salah satu spesialisasi orang Minang adalah kemampuan mengurus dan mengolah bahan makanan menjadi santapan yang bisa dimakan dalam waktu yang relatif lama. Dari situ terbentuklah suatu derivasi kemampuan untuk menghargai lauk kemarin dengan mengolahnya kembali menjadi sajian yang menyelerakan.
Sajian-sajian yang berasal dari lauk kemarin ini dinamakan angek-angek. Nama sajian tersebut berakar dari kata angek, yang berarti hangat. Maknanya, sajian tersebut asalnya adalah lauk lama yang dipanaskan (baca: diolah) kembali.
Yang menyenangkan dari angek-angek adalah ia tidak memiliki hanya satu bentuk atau jenis makanan khusus; ia bisa berupa nasi goreng, telur dadar, atau gulai campuran; atau sebuah sajian lengkap; atau bisa juga berupa bumbu penyedap atau penunjang sajian lainnya. Pada gulai campuran, misalnya, angek-angek bisa dimakan langsung. Pada nasi goreng atau telur dadar, angek-angek adalah penunjang rasa; bumbu penyedap yang membikin nasi goreng atau telur dadar Anda semakin maknyus rasanya. Pokoknya variatif!
Kunci utama agar angek-angek bisa disajikan adalah ketahanan. Pada dasarnya lauk-lauk yang tahan lama secara otomatis bisa dijadikan angek-angek kalau sudah dimalamkan. Makanan Minang biasanya tahan lama, sebut saja rendang, gulai cubadak (nangka), gulai tambunsu (usus), dan yang lainnya.
Kunci ketahanan makanan Padang terletak pada penggunaan santan dan rempah-rempah alami yang diolah sedemikian rupa. Ibu kerap mengatakan bahwa tidak lengkap rasanya yang namanya makanan Minang jika tidak memakai santan. Alhasil, terbitlah segala macam gulai khas Minang yang berpotensi tinggi untuk diubah menjadi angek-angek jika masih tersisa untuk esok harinya.
Memasak nasi goreng atau telur dadar dengan angek-angek bisa pula menghasilkan nasi goreng atau telur dadar yang khas Minang. Cara pembuatannya relatif mudah. Untuk nasi goreng, misalnya, Anda tinggal mencampurkan sisa gulai atau rendang kemarin dalam proses menumis bumbu sebelum mencampur nasinya. Lalu untuk telur dadar malah lebih mudah lagi, yang perlu Anda lakukan hanyalah mencampur angek-angek ke dalam adukan telur. Campur bawang merah dan bawang putih, tambah sedikit cabai giling, lalu goreng. Dan jadilah dadar khas Minang.
Sebagai sajian, biasanya Anda bisa mencampur berbagai macam gulai menjadi satu hidangan yang sepintas mungkin terlihat agak aneh, tapi ketika Anda merasakannya ia tidak jauh berbeda dengan masakan Minang bintang lima. Kalio, atau gulai daging, kerap dicampur dengan gulai nangka oleh Ibu. Yang dihasilkannya adalah sebuah sajian gulai yang memiliki sayur-sayuran legit khas gulai nangka dan daging olahan kalio.
Intinya, menjadikan angek-angek dari sisa gulai tak ubahnya memainkan mix & match yang mana Anda bisa mencoba berbagai kombinasi untuk menemukan rasa yang baru tanpa menghancurkan kelezatan yang dimiliki masing-masing sajiannya.
Akhir kata, setelah membaca esai ini, saya rasa tidak ada salahnya jika saya menyarankan kepada para pembaca Mojok untuk mempertimbangkan pilihan menikah dengan orang Minang. Siapa tahu nih, nanti ketika keadaan ekonomi negara sedang sulit dan harga pangan naik, maka tentu Anda tidak bisa membeli banyak bahan pangan. Nah, biasanya orang Minang—setidaknya menurut Ibu, yang lahir dan tumbuh di era ‘70 hingga ‘80-an—mampu mengetahui bahan apa yang bisa dijadikan sajian tahan lama, lalu dari situ bisa mendaur ulang berbagai angek-angek secara variatif.