Saya bukan penggemar film-film DC.
Dibanding dengan besutan Marvel, DC ketinggalan jauh. Sangat jauh. Saat Marvel mulai merintis dan mengenalkan satu per satu karakter komik mereka dengan konsep satu semesta, DC masih meraba karakter apa saja yang akan diangkat. Saat Marvel mulai mendapat tempat di mata kritikus dan penonton, DC masih kebingungan menentukan tone dan formula yang tepat untuk film-filmnya.
Okelah, trilogi The Dark Night sukses besar. Tapi itu dulu, ketika Marvel belum muncul ke permukaan dan Arsenal belum di-bully seintens sekarang. DC terlalu terbuai kesuksesan Nolan sehingga abai pada pergerakan pesaing. Mereka juga terkesan malas berinovasi.
Sadar mulai ditinggalkan penggemar dan diserbu kritik, DC pun ikut memakai format universe Marvel. Mereka membentuk semesta dengan nama DC Extended Universe (DCEU). Bagi DC, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
Bersama Warner Bross, pada 2013 DC merilis film pertama DCEU, Man of Steel. Jika melihat popularitas Superman, harusnya film ini tak sukar meraih penonton. Tapi fakta berkata lain. Meski sempat mendapat rekor sebagai film dengan pemutaran perdana terlaris, ujung-ujungnya Man of Steel tak bisa dianggap sukses. DC masih mendapat banyak kritik.
Film kedua menyusul setelah jeda lama: Batman v Superman: Dawn of Justice (2016).
Disangka bisa menaikkan moral DC dan penggemarnya, nyatanya mereka gagal maning. Yang nonton sih banyak, tapi persis Man of Steel, kritiknya pedas-pedas. Misal soal konflik utama yang dipaksakan. Setelah ketegangan yang dramatis, Batman dan Superman nggak jadi berantem cuma karena sama nama doang. Hvft.
Susulannya, Suicide Squad, juga tak bernasib lebih baik. Nilai plusnya cuma satu, kehadiran Margot Robbie sebagai Harley Quinn yang masyaallah aduhai. Selain aktingnya yang memang bagus, ia bisa menarik penonton laki-laki. Kalau tidak … ah sudahlah.
Kemudian, datanglah Wonder Woman (2017).
Sejak tayang pertama kali akhir Mei lalu, Wonder Woman sukses meraih banyak pujian penonton. Rotten Tomatoes memberinya 93%. Di IMDb, rating-nya mencapai 8,3. Artinya, pendapat penonton dan kritikus cenderung sejalan.
Film ini cukup sukses bukan hanya karena kecantikan Gal Gadot sebagai Diana, tetapi juga karena kematangan cerita. Efek visual, audio, koreografi aksi, juga drama berpadu dengan pas turut memberi pengaruh. Dan ada faktor lain: film ini berani.
Proyek Wonder Woman sangat berani. Di mata produser film superhero, karakter superhero perempuan tak akan menghasilkan untung berlimpah. Faktanya begitu. Dari beberapa film superhero yang pernah beredar, tak satu pun sukses di mata penggemar dan mampu meraup keuntungan. Ini terjadi pada Catwoman (DC) dan Elektra (Marvel).
Dipilihnya Gal Gadot juga merupakan keberanian tersendiri. Sejak diumumkan sebagai pemeran Diana, komentar miring berdatangan. Bukan karena zionis sih, ia cuma dianggap terlalu tinggi, itu satu. Kedua, payudaranya terlalu kecil dibanding karakter asli di komik.
Payudara boleh kecil, totalitas tetap besar. Luar biasa bahkan. Lihat saja bagaimana ia bisa berlagak begitu polos ketika tiba di dunia manusia. Atau takjub luar biasa saat pertama kali memakan es krim. Atau ketika ia menganggap perempuan dan lelaki yang tidur bersebelahan hal biasa.
Adegan aksi yang dipertontonkan Gadot juga warbyasa. Pergerakannya natural, tak kaku sama sekali. Ia mampu melompat, berlari, dan menghunus pedang dengan begitu baik. Hal itu ditunjang pula oleh efek visual beserta audio yang saya rasa tak kalah dengan efek visual Doctor Strange besutan Marvel.
Keberanian lain juga terlihat dari penunjukan Patty Jenkins sebagai sutradara. Ini lumayan mengejutkan. Jarang ada perempuan yang diminta menakhodai film superhero. “Aku bukan hanya pembuat film, aku perempuan pembuat film,” kata Jenkins.
Wonder Woman memang dimaksudkan untuk mengampanyekan kesetaraan gender. Terutama di layar lebar. Terutama lagi di dunia superhero.
Sepanjang sejarah persuperheroan, jarang ada superhero perempuan yang menjadi superhero utama dan difilmkan. Di DC, seingat saya hanya ada Supergirl dan Catwoman. Sementara Marvel, rival mereka, hanya pernah menelurkan Elektra. Sayangnya ketiga film itu dinilai tak sukses.
Namun, Jenkins bersama Wonder Woman seolah ditakdirkan untuk meraih sukses bersama. Ia berhasil membuktikan dua hal sekaligus: perempuan bisa menyutradarai film superhero dan superhero perempuan bisa mendapat atensi penonton.
Terakhir, yang saya rasa paling utama adalah keberanian menyelipkan humor. Film-film DC, terutama semenjak kedatangan trilogi The Dark Night, dikenal kelam. Jarang atau bahkan tidak ada sama sekali humor segar. Anda masih bisa merasai jejaknya di Batman v Superman.
Suicide Squad sempat mencoba menampilkan humor, tapi film itu kadung dinilai tak sukses. Humornya dianggap terlalu bagus ketimbang jalan ceritanya. Dengan kata lain, porsinya tak seimbang. Di tangan para kritikus, film ini juga babak belur.
Di sinilah Wonder Woman hadir sebagai momentum. Film ini muncul dengan warna berbeda dari film-film sebelumnya yang super duper serius. Patty Jenkins dengan cermat mampu memaksimalkan kemampuan Gal Gadot dalam berakting. Oleh Jenkins, Diana menjadi sosok yang jenaka karena polos dan naif. Dan Chris Pine sebagai Kapten Trevor jadi tandem yang bagus.
Satu momen berbau humor yang paling saya ingat dalam Wonder Woman adalah ketika Steve Trevor tengah mandi di kolam yang airnya berkilauan. Diana kemudian mendatangi Trevor yang saat itu berstatus tawanan. Sontak Trevor kaget. Ia langsung berdiri. Sangat disayangkan ia tidak sempat mengenakan apa-apa sehingga, tampaknya, benda pusakanya terlihat.
Diana kemudian menunjuk ke tubuh bawah Trevor dan bertanya, “Apa itu?”
Trevor salah tingkah dan bukannya menjawab, malah langsung menutup tubuh depannya dengan tangan. Ealah, ternyata yang Diana tunjuk adalah jam tangan yang berada di dekat Trevor. Di pulau tempat Diana tinggal, jam tangan tidak pernah ditemui. Penonton tertipu. Pesan moralnya: jangan gampang ngeres wkwk.
Untungnya humor film ini sukses. Sebab, kalau tidak, saya sudah berencana nge-tweet ke @DCComics untuk memakai jasa @AgusMagelangan sebagai konsultan humor. Setidaknya Agus berpengalaman jadi aktor dan ngesyut Movi. Hampir saja Justice League melawan musuh-musuh anti-Pancasila.
Saya kira keberhasilan Wonder Woman akan memengaruhi tone film-film DC selanjutnya. Lewat porsi pas antara aksi, unsur kelam, dan humor, DC bersama Jenkins membuktikan bahwa mereka bisa tampil segar, penuh drama, aksi menegangkan, serius, sekaligus tetap menyelipkan dialog jenaka.
Pada paragraf awal saya menyebut diri bukan penggemar film-film DC. Untuk Wonder Woman, hal itu tidak berlaku.