Biasanya saya tertarik mengkritisi hal-hal besar yang signifikan untuk negeri ini. Entah mengapa di tengah kesibukan dan agenda saya yang tentunya sangat padat, tiba-tiba saya ingin menulis sedikit catatan tentang buku berkualitas ecek-ecek berjudul Out of the (Truck) Box karya Iqbal Aji Daryono. Sebenarnya batin saya yang sangat pragmatis meronta-ronta dan menolak agar saya tidak menghabiskan waktu menulis hal-hal remeh-temeh seperti ini, tapi benak dan otak saya tak bisa menahan kegatalan intelektual saya.
Tidak, tidak, saya bukan Rusdi Mathari, Arman Dhani atau bahkan Agus Mulyadi yang membahas buku ini dari perspektif Iqbal yang tengah mbribik mahmud abas. Maaf, analisis saya terlalu mahal dan serius untuk menjadikan buku setebal lebih dari 300 halaman itu sebagai olok-olok.
Saya sendiri sungguh sedih, penulis-penulis hebat seperti mereka membedah buku dengan gaya bercanda. Tak tampak level Rusdi Mathari yang berpengalaman 40 tahun sebagai wartawan atau Arman Dhani yang begitu serius membanggakan koleksi bukunya. Kasihan Dhani, gagal memunculkan impresi cerdas lewat diskusi serius dan buku ke dedek-dedek GMZ. Malah tuduhan kurang piknik yang datang. Agus Mulyadi pun hanya membahas yang sifatnya kelucuan-kelucuan dalam buku. Tak tampak analisis seorang pria yang sudah menelurkan karya-karya best-seller.
Setelah saya baca tuntas dalam waktu dua hari—level buku seperti ini tidak akan menghabiskan banyak waktu saya—impresi positif dan beberapa catatan penting mulai muncul. Di luar dugaan saya, ternyata isi buku Iqbal ini lebih banyak seruan-seruan serius untuk kemajuan negeri ini. Sebuah karya besar yang cocok untuk saya bedah sebagai sesama pemikir besar. Toss sik, Bal!
Menurut Puthut EA dalam pengantarnya, buku Iqbal ini kesannya kemripik. Rusdi Mathari bilang, buku yang bukan buku. Cerita anggota Srimulat yang menyamar jadi sopir, kata Agus Mulyadi. Saya memandangnya berbeda.
Bagi saya, Iqbal tengah memberikan wejangan kepada Indonesia. Khususnya kepada Jokowi. Hah? Presiden jadi tujuan buku Iqbal? Sila tuding saya lebay, alay yang galau di usia 25 tahun (tentunya ini bukan fakta). Yang pasti, itu yang saya rasakan. Anda ingin merasakan impresi yang sama? Beli! Jangan cuma modal pinjam. Yang pasti buku tersebut adalah sebuah adikarya ber-casing sederhana namun bermakna dalam. Kecerdasan yang terbungkus kepekokan. Pintar berlagak bodoh.
Ada tiga hal menarik yang saya tabulasi dari buku Iqbal dan akan saya bedah satu per satu.
Tak ada yang Absolut
Poin ini sungguh menohok. Sayang Rusdi Mathari hanya menyenggolnya sedikit di acara #MojokBareng di Tribute to Kretek tempo hari. Padahal ini adalah pelajaran utama dari buku Iqbal. Entah Iqbal terinspirasi Rusdi Mathari yang sejak dulu sudah berucap tak ada satupun pihak/orang yang berhak memonopoli kebenaran atau ketidakbenaran. Semoga saya tidak salah tulis. Bisa jadi Iqbal memang memiliki kesamaan pemikiran dengan Rusdi Mathari.
Di beberapa bahasan dalam buku, terutama bab tentang pertentangan pejuang antirokok dan prorokok, terlihat Iqbal berupaya keras mengubah mindset orang-orang yang sudah rusak tentang rokok. Melawan kondisi bahwa antirokok adalah kebenaran absolut. Langkah yang berani di masyarakat yang sungguh (sok) moralis hari ini.
Pertentangan kehidupan beragama juga menjadi landasan tak ada yang absolut bagi Iqbal. Nikmatilah tulisan-tulisan yang mengalir ringan mengenai perjuangan orang-orang suku Hazara yang, kebetulan Syiah, harus berjibaku demi hidup di negeri orang setelah mengalami diskriminasi luar biasa di negaranya. Sementara banyak sekali kesan seolah absolut bahwa setiap orang Syiah hadir untuk merusak tatanan Islami dunia.
Pesan Iqbal yang kuat dalam karyanya seolah mengingatkan Presiden bahwa tidak boleh menggunakan kuasa absolut secara semena-mena. Demikian juga dengan para pendukung setianya yang kerap hanya mengakui prestasi Jokowi secara semena-mena. Contohnya di pembangunan infrastruktur. Pokoknya semua program pembangunan infrastruktur Jokowi adalah mutlak benar. Infrastruktur yang dihasilkan akan memberikan nilai tambah perekonomian secara luar biasa, akan terbangun dengan cepat, dan semua permasalahan teknis permodalan, operasional berikut feasibilty study yang sempurna di sekitarnya terselesaikan. Pihak yang mempertanyakan soal infrastruktur adalah pembenci, pendengki, dan tidak propembangunan. Luar biasa membabi-butanya dukungan ke Jokowi terkait infrastruktur, yang hasil nyatanya baru groundbreaking. Peace semua, yak, saya pemilih Jokowi juga kok.
Rasanya Pak Jokowi perlu membaca buku Iqbal dengan sungguh-sungguh. Tak hanya demi menggali lagi betapa pentingnya mendekatkan telinga rezim ke mulut rakyat kecil, namun juga membelai lembut kepala para pendukung dan pembantunya di kabinet agar tak main absolut-absolutan.
Juga untuk para kelompok yang sudah merasa telah memiliki kavling di surga, rasanya perlu membaca buku Iqbal. Resapi nasihat-nasihat Iqbal yang cenderung liberalis itu mengalir ke benak Anda. Betapa Anda merasakan perasaan bersalah ketika secara absolut menghakimi orang dengan kafir, Syiah biadab, liberalis sipilis, antek Yahudi dan lain sebagainya. Anda merasa tak bersalah? Berarti buku Iqbal tidak cocok untuk Anda. Buang atau bakar saja. Tidak usah emosi, saya takut.
Untuk yang concern ekonomi dan selama ini cuma belajar dari kultwit atau facebook tanpa menggali buku-buku teori berikut kondisi negara, ada baiknya juga membaca buku ini agar tidak berpikir absolut-absolutan hanya berbekal tembung jare. Iqbal dengan luwes menjelaskan konsep welfare state di Ostrali yang sungguh kiri banget. Iya, Ostrali yang pendapatan per kapitanya lebih dari 10 kali Indonesia itu sangat respect terhadap semua pekerjaan. Keadilan masalah gaji kerah putih dan kerah biru diceritakan Iqbal. Sementara tukang sampah, bersih-bersih toilet, dan sopir sering dipandang (dan digaji) ‘rendah’ di Indonesia yang katanya berdasarkan ekonomi pancasila, Ostrali justru memberikan mereka pendapatan yang tak jauh berbeda dengan kerah putih kantoran.
Perbedaan yang Mempersatukan
Slogan bhinneka tunggal ika alias berbeda-beda tetapi tetap satu dalam bentuk kemanusiaan juga dikupas Iqbal. Beyond Indonesia nationalism, beyond chauvinism, it’s just pure humanity. (Kadang saya ingin sedikit memamerkan skor TOEFL saya yang 600—skor akumulatif sekeluarga sih, hahaha).
Iqbal menceritakan persahabatannya dengan orang-orang dari berbagai belahan dunia. Cerita-cerita sedih mereka, etos kerja mereka, bagaimana mereka bergaul. Sama dengan kodrat manusia di seluruh dunia, kadang mereka menyebalkan, kadang mereka baik dan ngangeni (yang ini jelas gue banget), serta fanatik terhadap beberapa hal. Perbedaan-perbedaan itu yang menyatukan.
Seolah klise bahwa Indonesia besar karena unik. Suku, budaya, daerah, dan kekayaan alamnya sungguh luar biasa. Namun akhir-akhir ini dapat kita rasakan bahwa ada upaya-upaya ‘penyeragaman’ dan pembungkaman suara yang berbeda. Perbedaan karena agama, hingga pembungkaman bakal dibuldozer jika melawan pembangunan lahan monokultur nan sakti bernama Kelapa Sawit.
Pak Jokowi katanya ingin menggali akar kebesaran bangsa ini. Perbedaan kultur budaya, wilayah, agama, fisik, hingga kontur tanah inilah kekayaan negeri ini yang harus dipelihara. Itulah kebersamaan. Apa perlu kita menciptakan Iqbal-Iqbal baru untuk dikirim ke seluruh pelosok dunia melihat betapa cairnya citizen of the world dalam membangun kebersamaan di tengah kondisi yang kian individualistik ini? Betapa mereka akhirnya memilih pergi dari tanah airnya karena terusir/terdiskriminasi secara SARA, akhirnya memilih memberikan sumbangsih tenaga dan pikirannya untuk negara lain.
Walau saya melihat Iqbal agak ‘menyombongkan’ bacaannya tentang sejarah dunia, saya cenderung memaafkan kenarsisannya karena melihat substansi tentang kebersamaan dan komunikasi. Substansi yang saya serap adalah bahwa banyak negara kehilangan potensi-potensi pekerja keras hanya karena isu SARA. Indonesia pun sebenarnya mengalami hal ini tanpa terasa. Orang hebat asal Indonesia memilih menjadi citizen of the world, melanglang buana mencari penghidupan dan penghormatan atas talentanya karena di dalam negeri mereka tak mendapatkannya.
Berikutnya, Iqbal juga menjelaskan arti sebuah konsekuensi dari kebersamaan yang tetap harus ada sisi kompetitif berikut bottomline. Walau senasib-seperjuangan dalam bekerja, aturan tetap harus dijalankan. Tiap-tiap orang tak memperoleh fasilitas lebih atau kurang dalam bekerja. Australia mungkin lebih siap dengan masuknya banyak imigran untuk bekerja di sana. Masyarakat lokalnya pun siap berkompetisi dan tentunya sadar kompetisi.
Bagaimana dengan Indonesia? Kita masih sibuk debat tak berujung-pangkal tentang nasib pribumi, asing, aseng, Cina, nasionalisasi aset bla-bla-bla. Tanpa pernah ada upaya mengajak masyarakat berbudaya kompetitif bin produktif. Maklum, Indonesia dikelola pemerintahan dan politisi yang pinter-pinter-goblok yang tiap bulan menerima gaji. Kebiasaan para penggede menerima gaji bahkan setoran off budgeter (uang haram, kasarnya) tanpa dihadapkan dengan kewajiban menorehkan bottomline untuk rakyat secara konkret akhirnya merembes hingga ke bawah. Muncul generasi-generasi pengkritik tanpa solusi, vokal tanpa masuk akal, penggerutu yang tak bermutu. Generasi yang sibuk mempersalahkan kondisi di sekitarnya tanpa sedikitpun berpikir untuk melakukan perubahan. Yang jelas Iqbal bukan generasi ini.
Keteraturan dan Kesuwungan
Iqbal menjelaskan dalam tulisannya betapa taat aturan menjadi semacam dogma yang tidak boleh dilanggar. Jangan-jangan orang-orang Ostrali itu lebih patuh sama aturan jalan raya daripada kitab suci. Harusnya negeri seperti ini yang menjadi target pendirian khilafah. #Tsaaah.
Selain disiplin di jalan, aturan berikutnya adalah jam buka cafe. Ada bagian dalam buku yang menceritakan Iqbal diusir halus dari sebuah cafe yang harus tutup pada jam 8 malam. Please deh… Jam 8 malam, lhoh. Bandung yang menerapkan tutup jam 12 malam saja membuat Ridwan Kamil dicaci-maki banyak orang.
Apa akibat dari sebuah keteraturan yang sungguh dipatuhi publik? Itulah yang dirasakan Iqbal: suwung. Masyarakatnya kosong, kurang menikmati humor, dan menjadi semacam robot. Apakah itu salah? Tentu tidak. Iqbal yang salah karena budaya tertib dan taat aturan dibandingkan dengan budaya bangsa ini yang sungguh tak punya rasa bersalah ketika melanggar aturan.
Iqbal juga menganggap enteng berita bebek yang dibantai di Perth. Rasanya Iqbal tahu persis Black Swan adalah hewan yang dilindungi di Perth bahkan menjadi semacam maskot Western Australia. Biasa berkeliaran bebas di sekitar Swan River. Setahu saya unggas dan burung-burung di Australia dilindungi hukum dari penangkapan yang ngawur. Hukumannya berat.
Bandingkan dengan hukum di Indonesia. Anak-anak ingusan bawa senapan angin dan menembaki burung gereja atau emprit. Semua dilakukan tanpa pengawasan dan penegakan hukum. Semua boleh asal tidak merokok di POM Bensin. Hal yang sama juga terjadi di disiplin motor. Pemotor usia dini tidak pakai helm, tanpa plat nomor, tanpa lampu, mungkin saya yakin juga tanpa otak. Bebas berkeliaran tanpa aturan dan sanksi. Semua boleh asal tidak pakai sepatu masuk Masjid.
Keteraturan membuat kita suwung. Trotoar jalanan juga bakal suwung dari kaki lima, lampu merah sepi dari asongan, dan pengkolan jalan steril dari polisi cepek. Tapi itu harga yang harus dibayar. Jokowi pun sudah selayaknya membuat keteraturan atas hukum yang berjalan. Disiplin dan berhitung sungguh-sungguh. Jangan hanya karena bisikan (entah setan dari mana pembisiknya), koruptor akan mendapat tax amnesty. Luar biasa ini. Demi menarik pajak, aturan dilonggarkan agar koruptor diampuni dan menggulirkan sektor riil hari ini. Hellooo! Kita gak miskin-miskin amat, keleus. Beda dengan kondisi awal 2000-an pasca terpukul krisis multidimensi 1998. Kalau aturan pengampunan pajak dilakukan, sungguh hati saya yang terasa suwung. #Halah.
Akhirul kalam, selamat Iqbal. Saya doakan bukumu ini laku keras seperti karya-karya sang maestro penulis Indonesia: Jonru. Semoga…