Kateter itu prosedur yang nggak pernah sepele.
Gara-gara nila setitik, rusak susu sebelanga. Kira-kira begitulah efek dari konten TikTok mahasiswi perawat magang yang viral kemarin. Padahal, selama pandemi, tenaga medis dihajar bertubi-tubi gara-gara disinformasi dan tuduhan tak jelas, masih ditambah kelakuan taek oknum yang nggak bisa dinalar ini.
Ya gimana bisa dinalar, konten tersebut sudah termasuk pelecehan seksual. Detil kontennya saya kira nggak perlu kita bahas. Saya nggak mau merusak sel otak kalian. Kalau penasaran, cek sendiri saja.
Tapi, jujur saja, selain heran karena bisa-bisanya ngelantur dan pede saja mengunggahnya ke medsos, saya takjub bisa banget itu orang “menikmati” dan bikin candaan tentang hal itu. Padahal, jujur saja, kateter itu nggak bisa dibilang sepele. Serius ini.
Namun, bagi kalian yang nggak tahu apa itu kateter, dan kenapa itu nggak sepele, saya kasih tahu dulu sedikit. Dimulai dari bagaimana rasa memasang kateter.
Untuk menjawab pertanyaan netizen mengenai bagaimana rasa memasang kateter, dan sensasi-sensasinya. Coba saya jawab lewat dua hal. Pertama tentang penyakit-penyakit yang perlu dipasang kateter, kedua terkait prosedur.
Lewat pertanyaan mengapa seseorang harus dipasang kateter, tentu prosedur tersebut dilakukan pada pasien tertentu dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu.
Beberapa pasien yang menurut pengalaman saya sering dipasang kateter, pertama pada pasien dengan retensi urin akibat saluran yang mengalami pembuntuan, misalnya pasien dengan pembesaran prostat atau penyempitan saluran. Kedua pada pasien dengan trauma kepala atau trauma saraf tulang belakang, serta pasien dengan stroke. Karena ada masalah dengan sistem saraf, gangguannya bisa bermanifestasi hingga retensi urin.
Maksud dari retensi urin, adalah kencingnya tidak bisa keluar secara otomatis. Kencingnya akan tertahan di kandung kemih, yang dikhawatirkan jika kondisi tersebut terus berlanjut, ginjal lama-lama akan kena dampaknya. Ingat kan kalau proses pembentukan urin itu berawal dari ginjal, cairan kemudian dilanjutkan ke ureter, lalu ke kandung kemih, kemudian ke lubang kencing lewat uretra.
Jadi, apa Anda bisa bayangkan pasien-pasien seperti apa yang sering dipasang kateter? Tentu mereka merupakan orang yang kesusahan dan biasanya cukup berumur. Apalagi pasien pembesaran prostat dan stroke, biasanya berumur 60 tahun ke atas.
Sebagai penolong, sudahlah, Anda pasti tidak punya pikiran aneh-aneh ketika memasang kateter ke mereka. Fokus saja memasang, sudah.
Kedua, tentang prosedur. Pemasangan diharuskan melalui prosedur yang steril mengingat kandung kemih yang menjadi target kateter adalah organ yang seharusnya steril. Makanya pemasang harus hati-hati betul, menggunakan sarung tangan steril dengan tata cara memasukan yang juga steril. Karena resikonya bisa malah bikin infeksi.
Setelah memakai sarung tangan steril dan alat yang lain siap, operator akan melumasi ujung kateter. Bahan kateter yang dari lateks tentu perlu dilumasi supaya bisa lancar masuk ke saluran kemih. Anda tidak perlu bayangkan, tentu prosedur tersebut membuat pasien tidak nyaman.
Nah, lubang di kateter itu ada dua jika tampak dari luar. Lubang pertama adalah tempat keluarnya kencing, lubang kedua adalah tempat memasukan air steril sebagai pengunci. Lewat lubang kedua ini nanti, air dimasukan dan diteruskan ke ujung lain sehingga membentuk balon, penggelembungan ini akan membuat ujung kateter tertahan di kandung kemih. Membuatnya tidak lepas ketika pasien tidak sengaja menariknya.
Prosedur yang harus dilakukan hati-hati dan kurang nyaman tersebut tentu membuat proses pemasangan kateter harus konsentrasi penuh, bukan? Apalagi kalau pasiennya terlihat nyeri gara-gara ada pembuntuan seperti pembesaran prostat atau malah penyempitan saluran. Belum lagi kalau pasien perlu dipasang kateter gara-gara sehabis kecelakan yang melibatkan otak dan saraf tulang belakang. Tambah ngeri.
Maka dari itu, saya merasa bingung dengan konten mbak itu. Kok ya bisaaa mikir gituan dan berpendapat gituan waktu melakukan prosedur tersebut. Namun, yang saya lebih heran itu satu, kok ya nggak mikir sebelum bikin konten, mengingat ada kode etik yang harus dijaga?
Kalau kode etik dilanggar, yang jadi taruhan karier, kan? Udah kuliah mahal-mahal, eh malah kebanyakan atraksi. Kadang, saya heran sama orang yang dengan sadar mematikan jalan rezekinya sendiri. Uangel, Dab.
Buat kalian yang menemukan konten serupa lagi di kemudian hari, pegang ini: kalau memang ada yang berpendapat waktu pasang kateter bisa mikir aneh-aneh. Tentu saya berkesimpulan bahwa yang berpendapat itu belum pernah pasang kateter. Coba deh pasang sekali, sirna sudah pikiran kotor itu.
Penulis: Prima Ardiansah Surya
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Rodrygo, The Starboy