Dibanding tinggal di perkampungan yang biasanya ibu-ibunya lebih “nonggo” alias ngerumpi di rumah tetangga, working mom kayaknya lebih aman tinggal di perumahan, deh.
Buat kalian, apa saja kiat yang kalian lakukan saat mencari tempat untuk dijadikan rumah? Kalau saya sih mencari rumah tak sekadar karena lokasinya strategis, tanahnya luas, atau tipe bangunannya yang besar. Setelah 5 tahun tinggal dengan mertua di area perkampungan yang padat penduduk, saya jadi punya pertimbangan lain yang nggak kalah penting saat mencari rumah: lingkungan tetangga.
Bukan tanpa sebab lho saya memasukkan tetangga dalam daftar mencari rumah yang ideal. Rumah itu akan kita tempati seumur hidup, jadi kalau sampai salah memilih lingkungannya, sama saja seperti menciptakan neraka di dunia.
Daftar Isi
Tetangga nyinyir sama working mom yang pulang kerja malam dan nggak sempat masak
Sedikit curhat. Jadi, 5 tahun terakhir ini saya hidup dengan mertua di lingkungan yang rata-rata wanitanya adalah ibu rumah tangga. Ibu-ibu ini punya waktu yang lebih leluasa untuk saling dolan ke rumah tetangga. Sembari ngeteh dengan santapan gibah, tambah nikmat.
Sementara itu, saya adalah working mom. Tahu sendiri kan orang kantoran itu punya kerja minimal 8 jam? Itu minimal ya, kenyataannya sih banyak lemburan. Belum lagi suami saya punya pekerjaan sampingan yang kadang usai pulang kerja, saya masih harus membantunya juga.
Alhasil ada saja tetangga yang hobi nyinyir. Pulang kerja larut jadi bahan omongan. Kalau saya nggak sempat masak dan order makanan lewat ojek online makin jadi bahan gorengan. Belum lagi kalau saya nggak sempat ikut arisan dan bayar arisannya cuma nitip, komplet sudah jadi bahan pergibahan ibu-ibu.
Saya tahu, nggak semua ibu-ibu tetangga itu nyinyir. Sebenarnya cuma ada satu atau dua orang. Tapi, kelakuannya yang hobi jual info, lho, bikin citra diri menurun! Kadang saya sampai down juga kalau dengar jadi bahan gibahan. Nah, belajar dari pengalaman tersebut, saya punya tips buat kalian yang sedang mencari tempat tinggal, khususnya buat working mom seperti saya.
Jangan buru-buru, coba tanya-tanya dulu ke pejabat desa setempat
Kalau kalian dapat tanah atau rumah yang lokasinya oke banget, jangan buru-buru deal dulu, ya. Coba deh datangi dulu pejabat setempat. Minimal ke rumah ketua RT, atau syukur-syukur bisa ketemu lurahnya. Coba tanyakan pada mereka, apa mata pencaharian warga di dekat lokasi tersebut. Selain itu, coba tanyakan apakah banyak perempuan yang bekerja atau banyak ibu rumah tangganya.
Kalau misalnya banyak ibu bekerja alias working mom kayaknya aman, sih. Tapi, kalau banyak ibu rumah tangga, coba tanyakan kegiatan ibu-ibu yang ada di lingkungan tersebut. Kalau kalian merasa banyak kegiatan yang memberatkan, kayaknya kalian perlu pikir-pikir ulang untuk bangun atau beli rumah di lingkungan tersebut.
Sebelum beli, ajak ngobrol orang-orang di lingkungan tersebut
Nah, kalau kalian merasa info dari pejabat desa setempat aman, tips selanjutnya adalah ngobrol dengan warga sekitar. Terlepas dari kalian nantinya working mom atau stay at home mom, ya. Iseng-iseng aja gitu waktu survei lokasi coba ajak ngobrol warga yang sedang ada di depan rumah.
Jangan sungkan untuk bertanya seandainya kalian membangun rumah di area sana apakah akan mengganggu lingkungan atau malah merusak jalan. Sebab saat kita membangun rumah, pasti akan ada mobil berat yang lewat. Atau coba tanyakan apakah nantinya akan memberatkan tetangga sekitar karena saat membangun rumah nantinya kita akan membutuhkan bantuan tetangga juga.
Saya ngomong kayak gini bukan tanpa sebab, ya. Berdasarkan pengalaman, di lahan kosong samping rumah mertua saya sedang dibangun rumah. Nah, setiap hari ada saja tetangga yang ngomel. Ada yang merasa jalannya jadi rusak lah, tembok rumahnya terganggu lah, dll. Sedih banget nggak, sih? Belum resmi jadi tetangga saja sudah digibahin duluan. Semoga hal kayak gini nggak terjadi pada kalian, ya.
Beli rumah di perumahan sudah paling oke buat working mom
Menurut beberapa penelitian yang saya baca, generasi Milenial dan Gen Z lebih suka tinggal di perumahan. Dan sebagai working mom, saya setuju dengan ini.
Membangun rumah di perumahan sepertinya akan minim konflik karena semua sudah di-handle oleh pihak pengembang. Selain itu, karena rata-rata penghuni perumahan adalah Gen Y dan Gen Z, pastinya mereka juga orang-orang sibuk yang nggak punya waktu buat nonggo alias ngerumpi di rumah tetangga. Walaupun tetap ada yang jadi ibu rumah tangga, pasti mereka juga punya kesibukan masing-masing seperti jadi reseller buku atau freelance lainnya.
Akan tetapi perlu hati-hati juga karena tinggal di perumahan bisa jadi red flag kalau sampai nggak mengenal satu sama lain. Apalagi belakangan banyak berita soal orang meninggal di dalam rumah sudah berhari-hari dan nggak ketahuan sama tetangganya.
Kalau kalian setuju sama saya untuk tinggal di perumahan, jangan lupa riset juga. Kalian bisa bertanya ke pengembang atau marketing perumahannya, kegiatan apa saja yang sudah terlaksana di perumahan tersebut. Kalau kegiatannya semacam arisan, kerja bakti, atau sekadar anak-anak ngaji di sore hari menurut saya masih aman. Para penghuni perumahan ini ketemunya saat kegiatan-kegiatan resmi, sehingga pertemuannya lebih bermanfaat dibanding sekadar ngeteh sinambi ngerumpi.
Gimana? Buat para working mom, kalian tim beli rumah di perkampungan atau perumahan? Intinya, di mana pun pilihan tempat tinggal kalian kelak, jangan lupa untuk riset terlebih dahulu. Jangan sampai kalian masih di dunia, tapi sudah ketemu neraka gara-gara tetangga!
Penulis: Umi Hartati
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA 3 Tipe Orang yang Sebenarnya Sangat Cocok Tinggal di Perumahan Cluster.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.