Wawancara dengan Pagar Bunderan Soshum UGM yang Sering Diketawain karena Dianggap Nggak Guna

Komunisme Berubah Jadi Kapitalisme kalau Soal Mengiklankan Partai terminal mojok.co

Komunisme Berubah Jadi Kapitalisme kalau Soal Mengiklankan Partai terminal mojok.co

Sejak lingkungan kampus UGM diportal, Sunday Morning tidak melintas di kawasan UGM, dan bus-bus kota mengubah trayeknya untuk memutari UGM. Itu tandanya secara tersirat, maka nilai guna pagar bunderan soshum kehilangan nilai gunanya. Pagar yang terlihat begitu tegas, kokoh, dan bakoh ini sering menjadi bahan pisuhan mahasiswa yang kecelik dengan eksistensinya. Saya salah satunya, sempat merasakan kekesalan dengan hadirnya pagar ini. Bagaimana tidak? Setiap minggu pagar ini selalu menutup akses untuk masuk dari Jalan Bhineka Tunggal Ika ke Jalan Olahraga.

Banyak cerita yang melingkupi kehadiran pagar ini. Barangkali tidak bisa dipisahkan dengan keseharian mahasiswa sosial humaniora UGM. Pernah, teman saya nabrak pagar itu karena ngantuk setelah pulang mengurus drama. Padahal yang salah dia tapi yang dilaknat satu komunitas malah pagarnya, karena menciderai pemeran utama drama esok hari.

Banyak kisah jenaka dan mengharukan dari eksistensi pagar ini. Tapi, sejak adanya portal, kisah itu berakhir sampai sana. Lain katanya, pagar itu kini hampir selalu terbuka, tidak pernah tertutup dan digunakan. Ya, ngapain juga, kan sudah ada portal yang lebih gagah dari pagar. Dan dari sana, tiap melintasinya, saya mentertawai pagar ini karena selalu berdiri dengan tujuan yang nggak jelas. Ada tapi nggak guna, hilang juga nggak masalah. Barangkali tinggal menunggu masa pensiunnya saja.

Bagi yang nggak tahu di mana pagarnya. Itu lho, jika melewati bunderan soshum dari Jalan Notonagoro, coba ambil kiri menuju masjid. Nah, ada pagar yang berdiri dengan sendunya. Sampai suatu saat, semua menyadari bahwa ngapain sih pagar ini ada? Bahkan, sempat muncul guyonan bergini, “Jika merasa hidupmu nggak guna, coba lihat pagar di dekat bunderan soshum UGM.” Duh, hati saya tiba-tiba mak nyesss. Simpati saya tiba-tiba muncul untuk pagar lucu yang satu ini.

Entah apa yang merasuki saya, yang jelas bukan burung gagak tiktok yang ngeselin itu. Di awal tahun saya menyempatkan hadir dan berusaha membujuk pagar ini untuk diwawancarai. Ia pun sempat menolak, tapi ketika saya bujuk, ia bersedia dengan satu syarat, yakni jangan sebarkan identitasnya kepada media. Dengan sedikit ngikik, kemudian menyetujuinya.

Sebut saja Pagar Soshum (54), belum menikah apalagi memiliki anak. Hidupnya ia persembahkan untuk menjaga ketentraman civitas akademika UGM. Ia lantas menuturkan kepada saya atas apa saja pengalaman menarik selama menjadi pagar.

Katanya, “Ya, suka nggak suka, ya, Mas. Cari kerjaan itu susah. Apalagi saya ini hanya pagar. Mau alih profesi jadi polisi tidur, yang ada malah saya dipisuhi. Mau coba daftar lowongan kerja jadi net bulu tangkis, katanya saya kurang tinggi. Juga terlalu spaneng, alias kaku, Mas. Ditubruk Mbak Melati sama Mas Praven, ya kepala mereka pasti bonjrot.”

Saya pun bingung menanggapi dan menerka apakah Pak Pagar Soshum ini sedang guyon atau serius. Kemudian ia melanjutkan, “Sebenarnya yang salah saya sendiri. Dulu orang tua menyarankan masuk Sekolah Tinggi Pagar biar saya luwes dan menyesuaikan perkembangan zaman. Tapi saya ngeyel, malah mbeling dan main PS di rental sama temen-temen pagar saya.”

Raut wajah blio menjadi muram kala itu. Beberapa ojol melihat ke arah saya dan kebingungan. Ah, mereka pasti mengira saya yang bikin Pak Pagar Soshum ini sedih. Dengan berat, Pak Pagar Soshum kembali bercerita, “Saya senang melihat mahasiswa-mahasiswi di sini, Mas. Mereka semua berprestasi. Bahkan kabarnya, Gubernur Jawa Tengah itu alumni sini, ya? Kayaknya blio pernah senderan di tubuh saya waktu jajan cilok. Ingat betul mahasiswa-mahasiswi sering ngobrol di depan saya, keluh kesah khas anak kuliahan lah, Mas!”

Pak Pagar Soshum menjadi lebih tenang kini. Ketika saya tanya apakah ia berteduh ketika hujan, ia menjawab, “Ya nggak, toh. Mas ini ada-ada saja. Saya itu taat sama tugas saya. Nggak mungkin saya abai dengan perintah-perintah untuk saya. Jangan kan hujan, pas kemarin hujan angin di daerah sini saja saya anteng di tempat, Mas.”

Kendati ia terlihat bahagia ketika mengingat masa-masa kerja kerasnya, terbesit sebuah pilu ketika saya tanyai perihal peralihan rute Sunday Morning yang kini tidak melewati dirinya. Ia menyebutkan, “Waktu itu saya senang. Jujur saja. Ya bagaimana, berarti Minggu pagi saya bisa kelekaran. Biasanya kan para pedagang datang pukul tiga, bahkan ada yang tengah malam. Mereka menyiapkan dagangannya, di depan saya. Ya bayangin, Mas. Dini hari di mana harusnya saya bobo, ini malah pada berisik. Bahkan ada yang nyetel musik. Iya sih Sunday Morning, jam dua belas lewat satu menit juga udah masuk morning.”

Lantas ia melanjutkan, “Dari tahun 1994, Mas, bayangkan! Bayangkan! Tapi sejak pemindahan lokasi, duh, Mas…” Pak Pagar Soshum pun bersimpuh di depan saya. Para ojol dan mahasiswa yang lewat melihat saya dengan tatapan kebingungan. Saya pun hanya bisa puk puk. Wah, keras juga punggung Pak Pagar Soshum.

Dengan terisak-isak, ia melanjutkan penuturannya, “…rindu bukan main, Mas sama keramaian sunmor (sunday morning, red). Awalnya saya senang melihat keramaian yang ada di depan mata saya, kini berpindah sedikit ke luar. Tapi, Mas, sekarang saya malah rindu sama keriuhan antara pedagang dan pembeli, para mahasiswa yang berjualan untuk danusan, sampai konser-konser mini ala-ala mahasiswa yang acap kali lagunya enak-enak walau saya nggak paham.”

Pak Pagar Soshum pun mengusap air matanya ketika saya memberikan blio tisu. “Maaf, Mas, baper…” wah, jebul Pak Pagar Soshum ini tahu kata-kata kekinian segala.

Kemudian Pak Pagar Soshum melanjutkan ceritanya, “Kini saya cuma bisa melihat mahasiswa yang pulang pergi dengan ojolnya. Dulu saya gagah, menjaga dua jalan agar rapih dan tertib. Tapi ini saya hanya sebatas ‘turun di depan pagar itu ya, Bang!’ Gitu. Cuma jadi sebatas penanda mahasiswa turun dari ojol.”

Sebagai penutup perbincangan karena saya malah turut menangis mendengar cerita blio, saya bertanya apakah nggak coba-coba merantau dan meninggalkan tempat ini. Dengan senyum yang sedikit dipaksakan, blio berkata, “Nggak apa saya dibilang nggak guna. Saya senang melihat perubahan, Mas. Apa pun itu. Belajar dari hilangnya keriuhan sunmor, saya justru kini menikmati para mahasiswa yang pulang pergi, naik ojol, naik sepeda kampus. Pokoknya saya berusaha menjadi lebih baik lagi dari saya yang dulu. Juga, satu hal, saya denger puisi bagus yang dibacakan oleh anak ilmu budaya, aku ingin hidup seribu tahun lagi.”

Perubahan, kita tahu adalah sebuah faktor yang berurusan dengan hal-hal bijak seperti ingin menjadi lebih baik. Padahal, perubahan bisa saja menyentuh hal-hal di luar aspek tersebut seperti Power Rangers yang menjadi kuat kala bersatu atau Pokemon yang berevolusi menjadi lebih kuat. Padahal dari apa yang saya dapat dari pagar tua yang tinggal menunggu waktu untuk dipindahkan, perubahan adalah seputar hal ringan seperti yang awalnya ada dan tidak berguna, kala menghilang atau renta justru dicari karena ada yang kurang.

Dan kini, kala UGM benar-benar sepi tak ada yang melewati, ia tetap berdiri kokoh di tempatnya, tidak pergi kemana-mana, setia dengan janji yang ia katakan. Mungkin saja ia kini sedang bermonolog dengan kesepian tentang kebaikan di masa depan. Sekali lagi, terimakasih, Pak Pagar Soshum.

BACA JUGA Perjuanganku dari Kaum Rebahan Sampai Kuliah di UGM atau tulisan Gusti Aditya lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version