Kemarin, saat saya sedang berselancar di Facebook (iya, saya masih rutin di medsos satu itu), saya menemukan postingan yang amat aneh (untuk tidak mengatakan bodoh) di Info Cegatan Jogja. Postingan tersebut berisi kira-kira seperti ini: toko retail milik kaum tertentu sudah menjajah Jogja, bikin warga lokal terancam. Kalau buka postingan tersebut dan melihat komennya, Anda akan tahu kalau yang dimaksud warung madura. Betul, ada orang yang menganggap warung madura adalah penjajah dan ancaman untuk Jogja.
Sebentar, saya ketawa dulu. Ini lucu lho, guyonan kayak gini hanya akan Anda temukan sepuluh ribu tahun sekali.
Tak bisa dimungkiri, jumlah warung madura di Jogja itu buanyak banget. Mungkin ratusan, atau ribuan, saya nggak tahu, tapi bisa dibilang tiap satu kilometer, Anda bisa menemukan warung tersebut. Kalau memang melihat jumlahnya, jelas Anda bisa mengkategorikan warung madura adalah penjajah…
Sebelum Anda tahu berapa banyak warmindo yang tersebar di Jogja.
Serius, saya heran betul dengan postingan di ICJ tersebut. Selain menunjukkan small dick energy, baru kali ini saya melihat ada orang yang merasa terancam dengan warung kelontong. IYA, WARUNG KELONTONG.
Ada orang terancam sama warung yang penjaganya sering telponan, kalau nggak main PUBG aja udah aneh.
Isi warung madura padahal nggak ada bedanya dengan warung lain. Keunggulannya yang terasa, bagi saya, hanyalah buka 24 jam. Selain itu, rokok mereka yang lebih lengkap ketimbang warung lain. Pun itu bisa disaingi oleh minimarket lain. Kalau Anda pernah main ke Basabasi Sorowajan, minimarket depan kafe tersebut punya dagangan yang lengkap dan koleksi rokok yang jauh lebih banyak, dengan harga yang amat terjangkau.
Jadi, dibanding warung-warung yang ada, kelebihan warung madura yang paling kentara, hanya buka 24 jam. Itu pun jika Alfamart dan Indomaret sudah kembali buka 24 jam (di Jogja), praktis mereka tak punya keunggulan lain.
Lalu, apa sebenarnya yang bikin warga lokal merasa terancam?
Baca halaman selanjutnya
Warung madura adalah penyelamat…