Jika di Jogja atau kota besar lainnya warmindo menjadi tempat makan atau nongkrong yang biasa bagi anak muda, rupanya hal tersebut tak terjadi di Banjarnegara. Anak muda pengabdi makanan murah dan praktisi tongkrongan di sini rupanya nggak tertarik dengan tempat makan bernuansa kuning ini.
Saat saya cek melalui Google Maps, di kabupaten seluas 1.064,52 kilometer persegi ini saya hanya bisa menemukan 14 warmindo yang mana 2 di antaranya sudah tutup permanen. Sisa 12 warmindo lainnya pun sepi ulasan. Tak seperti RM Padang atau kedai kopi yang ramai akan pengunjung dan sebagian dari mereka memberikan ulasan di Google Maps.
Daftar Isi
Warmindo di Banjarnegara sepi
Pengalaman saya mencoba makan di salah satu warmindo di Banjarnegara memang tak mengecewakan lidah. Kala itu saya memesan Mie Sedaap Singapore Spicy Laksa. Topping yang ditawarkan pun lengkap seperti sosis, otak-otak, telur, dll., dengan beragam level pedas.
Akan tetapi waktu itu hanya ada saya dan satu orang yang memesan kopi susu. Padahal saat saya menyesap kuah Mie Sedaap, jam masih menunjukkan waktu makan siang. Singkat cerita tak sampai setahun, warmindo yang saya kunjungi itu tutup permanen.
Sepinya warmindo di Banjarnegara membuat saya bertanya-tanya, kenapa tempat makan yang diklaim banyak orang sebagai penyelamat anak muda khususnya pelajar dan mahasiswa ini justru malah sepi peminat. Saya merasa beberapa alasan berikut menjadi penyebab warmindo bukan sesuatu yang umum di Banjarnegara.
Tak banyak mahasiswa di Banjarnegara
Saat ini ada 5 perguruan tinggi di Banjarnegara, yakni STAI Tanhibul Ghofilin, STIT Tunas Bangsa, STMIK Tunas Bangsa, Politeknik Banjarnegara, dan STIE Taman Siswa. Namun jumlah mahasiswanya tidak sebanyak Solo, Jogja, maupun Purwokerto, alhasil tak dapat meramaikan warmindo sebagai tempat nugas maupun yang-yangan.
Hal ini jelas berbeda dengan kota lain yang memiliki banyak perguruan tinggi dengan mahasiswa yang membludak. Kebanyakan mahasiswa ini menjadikan warmindo sebagai tempat nyaman untuk ngobrol atau sekadar menyantap Indomie telur kornet kuah susu. Oleh karena itulah membuka bisnis warmindo di Banjarnegara agak gambling jika ingin balik modal dalam waktu kurang dari satu tahun.
Menurut Dea Voni, salah seorang anggota BEM STIE Taman Siswa yang saya jumpai, teman-teman mahasiswa di Banjarnegara jarang datang ke warmindo karena mereka lebih senang makan di saung untuk makan berat. Jika ingin makan porsi sedang, rekan-rekan mahasiswa lebih senang datang ke kedai angkringan, sementara jika ingin nongkrong, tentu saja pilihannya adalah angkringan.
“Tapi kalau mau nongkrong asyik, biasanya temen-temen nongkrongnya di kafe yang estetik gitu,” tambah Dea.
Ngapain beli Indomie di warmindo, masak sendiri lebih murah
Harga Rp9 ribu untuk seporsi Indomie di warmindo masih dianggap mahal oleh sebagian besar masyarakat Banjarnegara. Hal tersebut diamini rekan saya, Iqbal, yang sudah setahun lebih nggak jajan di warmindo.
“Daripada uang Rp9 ribu buat beli Indomie, mending tambah seribu buat beli nasi padang Rp10 ribu, kan,” ujar Iqbal.
“Terakhir aku ke warmindo malah bukan beli mie goreng, tapi beli nasi goreng karena porsinya banyak. Sayang banget warmindonya udah tutup,” tambah Iqbal.
Yang dikatakan Iqbal memang tak salah. Nyatanya kita bisa memasak Indomie sendiri di rumah tanpa harus ke warmindo asalkan gas elpiji masih terisi. Tinggal tambah telur, irisan cabai, dan sawi segar sudah cukup untuk membuat Indomie mewah ala rumahan. Intinya, selagi bisa bikin, ngapain harus beli?
Pemikiran seperti itulah yang akhirnya membuat aktivitas membeli seporsi Indomie siap santap jadi kurang mBanjar. Sebagian besar kaum mendang-mending di Kota Dawet Ayu ini lebih memilih mencari mie ayam murah atau nasi padang Rp10 ribu untuk mengganjal perut daripada mengunjungi warmindo.
Lantas, bagaimana agar warmindo bisa tetap bertahan di Banjarnegara?
Meniru model bisnis warmindo di Jogja lalu diaplikasikan di Banjarnegara adalah hal yang sebaiknya nggak dilakukan. Ini ibaratnya seperti memindahkan ibu kota dari Jakarta ke IKN lengkap dengan logat elo gue dan aksen Inggris ala Jaksel.
Tentu saja warmindo di Banjarnegara perlu berinovasi dengan menyediakan makanan ataupun minuman yang mBanjar banget, misalnya kayak mendoan, buntil, dawet ayu, dll. Meskipun risikonya Indomie berbagai varian yang terpajang di rak depan hanya akan menjadi pajangan dan nggak banyak dibeli. Tapi setidaknya pemasukan dari menu tersebut bisa memperpanjang napas bisnis warmindo di sini.
Jika inovasi tersebut tetap nggak berhasil mendatangkan pelanggan, sudahlah, jual sesuatu yang umum saja di Banjarnegara. Misalnya kayak ayam geprek, seblak, atau nasi goreng porsi mbludak dengan harga terjangkau. Dijamin lebih digemari masyarakat sini.
Penulis: Dhimas Raditya Lustiono
Editor: Intan Ekapratiwi
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.