Kalau mendengar kata Jogja, apa yang Anda ingat? Mungkin yang diingat pertama adalah mantan dan memori romantis. Tapi bagi para buruh, Jogja akan selalu diingat dengan upah murah. Daerah yang jadi 5 besar UMP terendah se-Indonesia. Saking rendahnya, ongkos transpor buruh Jogja sebesar 60% gaji tiap bulan.
Investigasi oleh Kompas menunjukkan bahwa mayoritas warga Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya harus menguras uang untuk ongkos transpor sampai separuh gaji. Jogja jadi juaranya dengan ongkos transpor sampai 60%. Perbandingan ini didasarkan oleh besarnya UMP DIY yang 1,8 juta lebih sedikit.
Dari skema ini, berarti gaji buruh Jogja yang tersisa untuk hidup tinggal tujuh ratus ribuan per bulan. Ini harus dipotong biaya vital lainnya seperti makan harian dan bayar kontrakan. Bisa terbayang kan betapa hematnya para pekerja yang masih terjebak gaji UMR?
Tentu yang jadi pertanyaan adalah: apa solusinya agar ongkos transpor buruh Jogja bisa lebih irit? Kalau Anda menyarankan agar para pekerja di Jogja naik transportasi umum, lihat realitanya. Tidak semua daerah dijangkau transportasi umum, apalagi warga Jogja daerah pinggiran. Bahkan daerah kota saja tidak semua dijangkau transportasi umum. Gimana lagi, jalannya saja terlanjur ruwet dan semrawut. Ditambah orang yang parkir di bahu jalan.
Bicara mencari jarak tempat kerja yang lebih dekat juga bukan perkara gampang. Pekerjaan dengan gaji “layak” masih tersentralisasi di Kota Jogja. Maklum, cuma daerah Kota Jogja dan Sleman yang menetapkan UMR dua juta lebih. Untuk warga Gunungkidul dan Kulonprogo, jarak tempuh puluhan kilo masih harus ditempuh. Suruh kos? Sama saja karena biaya kos juga tetap tidak murah.
Hanya sebagian orang yang beruntung bisa mengakses transportasi umum dan dekat dengan tempat kerja. Sisanya masih harus ngelaju dan mikir-mikir untuk nightride seperti tren warganet anggota akun menfess Twitter. Jangankan nightride, kerja saja masih harus terancam menuntun motor karena kehabisan bensin.
Lalu solusinya apa? Kita tidak bisa berharap ada pembangunan signifikan di lini tranportasi umum. Paling juga kalau dibangun, itu hanya untuk menunjang sektor pariwisata. Kan sektor ini adalah sumber pendapatan utama Jogja. Daripada membangun transportasi bagi warga, mending membangun spot-spot yang instagramable. Kan pada akhirnya, wisatawan bisa diperas untuk membayar lebih di spot yang viral?
Ya mau tidak mau, solusinya ada di perkara upah regional. Kalau Kriteria Hidup Layak (KHL) masih mencantumkan tiket bis sebagai pengeluaran transpor harian, ya tidak akan pernah logis. Dalam menentukan KHL harus melihat realita yang ada. Realita bahwa buruh Jogja masih harus memakai transportasi pribadi karena memang tidak dijangkau transportasi umum.
Selama KHL masih dirancang dengan angka-angka tidak masuk akal, hidup layak juga menjadi tidak masuk akal. Apalagi biaya hidup di Jogja juga terus naik mengikuti harga nasional dan pendatang. Sedangkan gajinya naik hanya puluhan ribu setiap tahun, masih lebih tinggi bunga pinjol daripada kenaikan upah di Jogja.
Tapi jika upah tidak dinaikkan dan transportasi umum tidak dibangun, solusinya harus kreatif. Mungkin warga Jogja bisa menumpang kendaraan lewat bermodal jempol. Kan kisah pedagang lewat menumpang Jeep milik Sultan HB IX selalu dibangga-banggakan oleh rakyat Jogja. Bukankah sebaiknya kita budayakan saja ilmu menumpang ala anak punk perempatan jalan ini? Siapa tahu bisa numpang mobil mercy milik Sultan HB X.
Solusi yang lebih kejawen juga bisa diambil. Buruh Jogja bisa belajar ilmu melipat bumi agar ke kantor cukup satu langkah. Atau membuat daun pisang selayaknya karpet terbang Aladin. Bisa juga dengan mencari naga di Gunung Merapi sebagai transportasi alternatif. Tidak masuk akal? Sama seperti upah buruh Jogja yang juga tidak masuk akal.
Pada akhirnya, solusi-solusi ini juga tidak bisa serta merta mengentaskan warga Jogja dari ketimpangan sosial. Ya, karena solusinya adalah menaikkan upah sampai benar-benar layak dan realistis. Kalau yang ditekankan selalu hidup hemat, mau dihemat seperti apa lagi? Lha wong gajinya memang cuma segitu.
Wajar jika warga Jogja susah untuk kaya. Terutama yang bekerja di Jogja, ya. Kalau kerjanya di SCBD bisa beda cerita. Bagaimana mau kaya, uang transpornya saja lebih dari separuh gaji. Mau kaya dari trading apalagi investasi? Kembali lagi, uangnya tidak ada.
Lagipula bisa dimaklumi. Salah sendiri kerja di Jogja. Sudah jelas Jogja ini kota pariwisata dan pelajar. Siapa suruh kerja di Jogja, apalagi mau sampai kaya. Kalau mau kaya, sebaiknya jadi mantu Sri Sultan saja.
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Audian Laili