Katanya Banyumas Makmur, tapi kok Warganya pada Minggat?

Katanya Banyumas Makmur, tapi kok Warganya pada Minggat?

Katanya Banyumas Makmur, tapi kok Warganya pada Minggat? (Unsplash.com)

Saya orang Banyumas yang senang merantau. Siapa yang suka merantau kayak saya juga?

Sebagai karyawan PKWT yang akan habis masa kontrak kerjanya, saya sering kali mendapatkan pertanyaan, “Habis ini mau lanjut ke mana?” Pertanyaan itu sebenarnya sulit untuk saya jawab, sebab belum tentu saya diterima di perusahaan yang telah saya incar.

“Lanjut ke Mojokerto, kalau nggak ke area Bekasi atau Cikarang,” biasanya saya akan menjawab seperti itu. Alasannya karena di Mojokerto ada pabrik yang seinduk dengan tempat kerja saya saat ini. Sedangkan alasan saya memilih Cikarang dan Bekasi karena di sana ada saudara saya. Dan yang lebih penting sih karena UMK-nya hampir dua kali lipat daripada UMK di kota perantauan saya saat ini.

“Merantau jauh terus kayak nggak punya keluarga aja. Emangnya kamu nggak kangen rumah? Di Banyumas emangnya nggak ada pabrik?” Pertanyaan seperti ini juga kerap terlontar dari teman yang sudah menjadi karyawan tetap. Bahkan, ada juga teman yang melontarkan guyonan, “Udahlah nggak usah kerja, kan (kamu) udah kaya. Banyumas banyune emas, lho!”

Setelah menerima guyonan demikian, saya yakin teman-teman saya ini belum mengenal Banyumas lebih jauh.

Mengenal Banyumas

Banyumas berasal dari dua kata, yaitu banyu yang artinya air dan mas atau emas. Banyumas merupakan sebuah kabupaten yang berada di Provinsi Jawa Tengah dengan ibu kota Purwokerto. Kabupaten ini memiliki luas area sebesar 1327,60 kilometer persegi dengan total 27 kecamatan, 30 kelurahan, dan 301 desa.

Bagian utara kabupaten ini berbatasan langsung dengan Gunung Slamet, Tegal, dan Pemalang. Sebelah selatannya berbatasan dengan Cilacap. Sebelah barat berbatasan dengan Cilacap dan Brebes. Sementara sebelah timur berbatasan dengan Banjarnegara, Kebumen, dan Purbalingga.

Wilayah Kabupaten Banyumas berupa pedesaan, sawah, kebun, hutan, perbukitan dan sebagian wilayah berada di bawah kaki Gunung Slamet. Di pedesaan nggak seramai kotanya, Purwokerto. Purwokerto sendiri dijadikan kantor pusat administrasi pemerintahan dan tempat yang lebih maju jika dibandingkan dengan kecamatan yang berada di Banyumas.

Baca halaman selanjutnya

Penghasilan orang Banyumas…

Penghasilan orang Banyumas

Lantaran Banyumas berada di pedesaan dan pegunungan, penduduknya bekerja sebagai petani dan buruh. Umumnya, yang memiliki banyak tanah, kebun, dan sawah adalah para orang tua zaman dulu. Mereka akan mencari pekerja buruh untuk menggarap sawah dan kebun.

Tumbuhan yang subur di Banyumas di antaranya pohon cengkeh dan jenitri. Seperti yang kita ketahui, cengkeh adalah rempah yang diminati dunia untuk bahan masak, kesehatan, dan rokok. Sedangkan jenitri sendiri digunakan sebagai bahan tasbih umat Hindu dan herbal. Tentunya kedua buah dari tumbuhan ini bernilai mahal dan menjanjikan untuk ke depannya.

Di tanah Banyumas pete dan jengkol tumbuh dengan subur. Jika dikirim ke kota, tentu akan mendapatkan untung senilai harga beli di petani. Di sini buah-buahan tropis juga tumbuh dengan subur. Para tengkulak sering menebas buah dengan harga jutaan. Dengan kata lain, pohon-pohon ini bisa dijadikan sebagai investasi yang bisa dipanen setiap musimnya.

Di daerah dataran tinggi, banyak sekali pohon kelapa. Pohon ini juga digunakan oleh warga sebagai mata pencaharian, kami menyebutnya “nderes”. Siapa pun yang nderes, maka dia akan dianggap berada. Nderes sendiri adalah proses pengambilan air nira untuk dijadikan gula jawa yang digunakan sebagai bahan penting olahan masakan dan minuman.

Nasib warga yang nggak punya kebun dan sawah

Umumnya, orang-ornag yang nggak punya sawah dan kebun bekerja sebagai pedagang, industri kreatif, membuka usaha kuliner, guru, dokter, dan abdi negara. Ada pula yang menjadi karyawan toko dan bekerja di rumah makan. Ibu rumah tangga biasanya mencari penghasilan dari rumah seperti membuat keripik, emping, dan sale pisang.

Asal kalian tahu, bekerja menjadi karyawan toko dan rumah makan di Banyumas itu gajinya kecil. Gaji yang didapat berkisar Rp900 ribu sampai Rp1,2 juta saja. Gaji itu akan naik jika seseorang sudah lama bekerja. Mirisnya, gaji segitu belum sama uang makan. Tentu uang segitu bakalan habis untuk bensin dan tuntutan SOP makeup. Kesejahteraan karyawan kurang dan tentu saja saldo rekening nggak nambah-nambah.

Di Banyumas memang ada pabrik, tapi cuma pabrik kecil. Belum tentu juga membuka lowongan pekerjaan banyak. Makanya dengan mempertimbangkan itu semua banyak warga Banyumas yang memilih menjadi perantau untuk mengubah nasib, tak terkecuali saya.

Orang-orang yang lahir pada tahun 70-an banyak yang menjadi perantau dengan profesi sebagai kuli bangunan. Pekerjaan ini memang berat, tapi tetap menjanjikan. Penghasilan mereka bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan sebagian disisihkan untuk membangun rumah. Di Banyumas, perantau kuli bangunan akan dianggap sebagai wong ndue atau orang berada, lho.

Sementara itu, anak muda Banyumas lulusan SMK dan sederajat memilih untuk bekerja di pabrik. Mereka mengincar pabrik-pabrik yang berada di daerah dengan UMK besar. Meski begitu ada juga yang memilih bekerja di pabrik dengan UMK kisaran Rp2 juta saja.

Selain menjadi buruh, ada juga yang merantau dengan cara membuka usaha. Usaha yang dianggap biasa-biasa saja di Banyumas, ternyata bisa cukup menjanjikan bila dilakukan di kota.

Bagi orang-orang yang merasa kecewa dengan lowongan kerja di Indonesia yang memandang umur dan fisik, mereka memilih merantau hingga ke luar negeri. Konon, mengadu nasib di negara lain bisa membuat perantau kaya dan glow up. Seringnya pekerja yang nggak punya banyak modal dan enggan belajar bahasa memilih merantau ke Malaysia. Sedangkan mereka yang punya modal tentu lebih memilih pergi ke Jepang atau Korea. Ada juga yang memilih menjadi TKI di Taiwan, Arab, dan Hongkong.

Pantang pulang sebelum berhasil

“Libur panjang kenapa nggak pulang?”

Begitulah pertanyaan lain yang kerap saya terima dari orang-orang di sekitar saya. Sepertinya ini karena faktor lingkungan yang tertanam menjadi mindset. Sejak dulu, memang nggak ada orang ngapak yang rajin pulang kampung.

Biasanya kami pulang ke rumah waktu libur Lebaran, tahun baru, bulan Agustus, atau ketika ada acara besar di rumah saja. Ada juga yang pulang setahun sekali, bahkan 5 tahun sekali baru pulang.

Pantang pulang sebelum tumbang, begitulah kira-kira. Beberapa orang bahkan ada yang sampai enggan pulang sebelum berhasil membangun rumah dan punya dana untuk buka usaha atau dana pensiun.

Penulis: Ratih Yuningsih
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA 5 Alasan Orang Banyumas Susah Bikin Move On.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version