Saat ini seluruh masyarakat Indonesia sedang berbahagia. Nggak peduli apakah dia penyuka bakso atau penyuka mi ayam semuanya merasa gembira. Pasalnya Pemerintah melalui Presiden Joko Widodo mengumumkan bahwa vaksin corona akan digratiskan untuk seluruh rakyat Indonesia. Hal yang membahagiakan lagi adalah Jokowi adalah orang pertama yang akan disuntik vaksin tersebut. Saya sendiri tentu saja ikut senang, apalagi saya ini nggak takut disuntik lho Pak Jokowi. Jadi kalau Pak Jokowi mau memprioritaskan saya juga nggak masalah.
Sebagai manusia yang masih punya ingatan, kita jangan sampai berlarut-larut dalam euforia vaksin gratis. Ingatlah, jika kita masih ada di Indonesia, di mana uang adalah segalanya dan segalanya membutuhkan uang. Bukannya saya mau skeptis dengan Pak Jokowi. Saya akui kinerja Pak Jokowi ini bagus, wong sudah terbukti di periode pertama yang kemarin kok. Kalau periode kedua sih nggeh dingapunten rumiyin. Yang saya maksud adalah orang-orang yang paling pertama bersentuhan dengan masyarakat, ya sebut saja orang-orang kelurahan.
Berbeda dengan bantuan sosial yang semakin ke bawah semakin sedikit. Untuk urusan barang gratis, di Indonesia itu semakin ke bawah justru semakin bengkak biayanya. Sebut saja untuk transportasi lah, untuk mendapat rekomendasi lah, yang paling nggateli sih untuk biaya ngeprint katanya. Ya ampun, berapa sih biaya ngeprint?
Selain dari pembiayaan yang disebutkan di muka. Sepengalaman saya ketika ngurus-ngurus di kelurahan itu seringkali disuruh bolak-balik, kadang juga dibilangin masih banyak kesalahan, atau kadang juga orang-orang kelurahan baru saja dapat apdetan terbaru, jadinya harus ngulang prosesnya dari awal. Ujung-ujungnya adalah uang untuk beli bensin semakin membengkak. Uang yang seharusnya buat sangu ke klinik atau ke rumah sakit tempat vaksinasi corona eh malah habis untuk ngurus ini itu di kelurahan.
Belum lagi soal ngeprint ini itu. Pernah sekali waktu saya ngurusin bantuan UMKM milik Ibu saya, waktu itu kebetulan syaratnya harus buat proposal terlebih dulu. Okelah saya buatkan proposal, ya kira-kira belasan lembar lah. Setelah jadi, saya ke kelurahan terus sudah di-acc. Nggak lama saya diminta untuk ngeprint sejumlah delapan salinan, sebenarnya saya sempat mbatin “Kok banyak banget” tapi karena saya pikir itu sudah syarat mutlak maka saya print lah sebanyak delapan salinan. Kalau nggak salah habis 50 ribuan, soalnya sambil dijilid juga.
Selesai nge-print delapan salinan tadi, saya kembali ke kelurahan untuk mendapatkan tanda tangan dari Pak Lurah. Ehhh, kok belum sempat minta tanda tangan dari Pak Lurah, sudah dibilangin salah satu orang kelurahan bahwa tadi proposalnya ada yang salah, jadi harus ada yang diubah. Selain itu ternyata ngeprintnya nggak sampai delapan salinan, cukup tiga salinan. Hee laa asem tenan, sudah habis 50.000 jhe. Ya karena itu adalah perintah dari Ibu selaku CEO warung UMKM yang kami miliki ya tetep saya turuti, walaupun sedikit nombok. Kejadian itu sudah terjadi berbulan-bulan lalu, dan sampai sekarang tidak ada tindak lanjutnya. Memang pemerintah ini jago banget untuk memberi harapan palsu.
Selain dari cerita yang sudah saya sampaikan tadi. Masih ada alasan lain mengapa kita jangan terlalu berharap bahwa vaksin akan gratis seratus persen. Kebiasaan orang-orang Indonesia yang pengen selalu ndisik dewe dalam berbagai hal terkadang menimbulkan efek buruk bagi masyarakat itu sendiri.
Misalnya saja ada orang yang cukup kaya di desa dan pengen selalu cepet dewe. Di data yang ada, sebenarnya orang ini termasuk orang-orang yang agak belakangan menerima vaksin. Tapi, kembali lagi soal kebiasaanya yang selalu pengin cepat sendiri ditambah punya cukup uang, makanya dia akan memberikan sedikit rejeki yang dimilikinya kepada orang yang memegang data. Alhasil orang tersebut bisa divaksin gelombang pertama, ya paling nggak jadi yang pertama di kampung tersebut.
Imbas dari perilaku tersebut adalah orang-orang yang seharusnya diprioritaskan jadi digeser ke agak belakang, jadinya distribusi vaksin bisa saja amburadul. Di tengah keamburadulan tersebut, biasanya akan datang malaikat bernama calo ataupun orang dalam. Malaikat jenis ini biasanya menawarkan jasanya kepada orang-orang dengan tagline “Wes karo aku wae, bakalan oleh disik”, jadinya di tengah euforia orang-orang untuk divaksin membuat jasanya laku. Alhasil semua orang pengin cepet, dan ujung-ujungnya praktik tersebut dilegalkan yang pada ujungnya vaksin nggak jadi gratis.
BACA JUGA Balada Program Televisi yang Makin Hari Makin Berisik Saja dan tulisan Imron Amrulloh lainnya.