Turunnya hujan kerap ditandai dengan awan mendung. Sering kali ditambah angin semribit, suara guruh, bahkan petir yang menyambar. Kalau sudah seperti itu, ada dua tipikal manusia. Pertama, membulatkan tekad untuk menerjang hujan. Kedua, memilih berteduh sambil menyelami kenangan-kenangan ketika bersamanya. Yhaaa mesakke.
Kasus di atas diperuntukkan bagi orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Nah, bagaimana dengan ibu rumah tangga yang tinggal di daerah Pantura, terutama di Kabupaten Batang dan Pekalongan?
Oke mari kita bahas. Di kedua daerah itu ada istilah urug-urug udan gedhe. Istilah ini kerap diteriakkan ibu-ibu untuk memberikan sinyal kepada tetangga jika hujan akan ataupun sudah turun. Pertanyaannya, mengapa sinyal ini dibunyikan? So pasti, ya untuk ngangkati jemuran. Buat apa lagi coba?
Tak hanya jemuran, sinyal itu juga berlaku bagi siapa pun yang sedang meme gabah, anak-anak yang sedang outdoor activity, ayam-ayam peliharaan, bahkan pedagang cilok, bakso, maupun pedagang keliling lainnya untuk bersiap kalau hujan akan turun.
Dari segi kebahasaan, urug-urug merupakan reduplikasi kosakata bahasa Jawa yakni urug yang berarti timbun. Ada kata urug-urugan berarti timbunan, ngurug berarti menimbun, kurugan yang bermakna tertimbun. Kata urug juga bisa disandingkan dengan kala lurug; nglurug yang berarti menyerang musuh.
Nah, urug-urug merujuk pada suara banyaknya air hujan yang turun yang diibaratkan seperti suara timbunan maupun suara ketika derap prajurit ketika menyerang musuh. Terlihat agak berlebihan ya, tetapi memang seperti itu adanya gaes.
Uniknya, istilah urug-urug udan gedhe jarang ditemukan di daerah lain. Saya pernah bercerita mengenai istilah ini kepada teman saya asal Demak, Sragen, dan Solo. Mereka terheran-heran ternyata di daerah asal saya ada istilah tersebut ketika hujan akan datang.
Oleh karena itu, timbul pertanyaan. Daerah mana saja yang mengenal istilah ini? Apakah sebatas di Batang dan Pekalongan saja? Setelah saya bertanya kepada teman-teman yang lain, ternyata istilah ini juga dikenal di Purwokerto.
Hal tersebut didukung adanya lagu dari Sopsan, sebuah grup hiphop lokal yang berjudul “Udan Barat”. Lagu tersebut menceritakan situasi ketika hujan deras akan turun. Istilah urug-urug udan gedhe tercantum di bagian reff seperti berikut:
Urug-urug udan gedhe, ana lele mlebu mbale, nggo dipecak bumbu jahe, banjur teka udan barat lan karo bledheg jumeger unine.
Dari lagu tersebut, bisa diasumsikan bahwa istilah urug-urug udan gedhe setidaknya juga dikenal oleh masyarakat Banyumas Raya. Mengingat grup Sopsan sudah terkenal bahkan lagu-lagunya sudah tersedia di Spotify.
Lantas bagaimana dengan daerah lainnya? Di Jawa Barat, tepatnya di Bandung ada istilah yang hampir sama dengan urug-urug udan gedhe. Menurut penuturan teman saya, di sana ada istilah cedeum. Istilah ini digunakan ketika terlihat awan mendung yang sekiranya akan hujan dengan intensitas rendah hingga sedang. Kemudian, ada angkeub jika ada awan mendung pekat dan diperkirakan hujan deras.
Berbeda lagi dengan teman saya asal Sanden, Bantul. Di sana ada istilah gabahe dientasi, mendhunge saka kidul kulon. Kidul kulon di sini maksudnya ialah arah barat daya. Mengapa arah barat daya? Teman saya mengaku belum ada penjelasan secara ilmiah mengenai hal itu.
Tetapi, jika melihat letak geografisnya, arah barat daya berarti dari Samudera Hindia. Mungkin, mendung dari arah tersebut berbeda dengan mendung dari arah lain. Ini hanya sebatas kemungkinan, bisa saja salah.
Begitulah sedikit penjelasan dari urug-urug udan gedhe dan istilah serupa lainnya. Jangan sedih jika di daerahmu tak ada istilah semacam ini. Karena setiap daerah ada kekhasan tersendiri. Buat apa ada istilah kalau kumbahanmu malah teles kebes, ya kan?
Penulis: Kukuh Setia Widodo
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Memahami Eksistensi Pawang Hujan Melalui Teori Johari Window