Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) kampus pelarian orang-orang yang gagal tembus Universitas Gadjah Mada (UGM). Selentingan itu pasti nggak asing di kuping mahasiswa UNY atau orang Jogja asli. Entah sejak kapan narasi semacam itu beredar, sepertinya sih sudah dari generasi ke generasi ya.
Dahulu, UNY yang berada di sisi timur UGM itu punya kesan lebih merakyat dan membumi. Mahasiswa UNY terima-terima saja, toh memang begitu adanya. Lagi pula, zaman dahulu, bisa kuliah saja sudah syukur.
Akan tetapi, setelah dipikir-pikir lagi, selentingan itu kian tidak relevan saat ini. Sekarang, banyak lulusan SMA yang menargetkan Universitas Negeri Yogyakarta sebagai pilihan pertamanya. UNY tidak lagi jadi “cadangan” setelah UGM.
Selain itu, rasanya sudah tidak pantas menyebut Universitas Negeri Yogyakarta sebagai kampus merakyat dan membumi. UNY sudah masuk liga yang sama soal gengsi, biaya, dan masalah dengan kampus-kampus besar lain di Jogja. Itu mengapa, kalau ada yang bilang UNY itu kampus jelata, sata cuma bisa tersenyum miris dalam hati.
Romantisasi yang mengaburkan realita
Romantisasi Universitas Negeri Yogyakarta sebagai kampus yang merakyat sudah basi sekarang ini. Citra kampus negeri yang mudah diakses oleh siapa saja sudah usang. Kenyataannya, UNY tidak seperti itu. Kampus yang kini berstatus PTNBH (Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum) ini punya banyak persoalan.
Saya paham, banyak orang punya memori indah tentang UNY. Ada yang merasa UNY itu “rumah kedua” karena suasana kampusnya ramah. Ada yang bangga karena UNY melahirkan banyak guru hebat. Bahkan, di kampung saya, lulusan IKIP sebagai cikal bakal UNY itu disegani.
Akan tetapi, semua memori indah itu jangan sampai menutupi persoalan Universitas Negeri Yogyakarta sekarang ini. Apalagi sampai melindungi kebobrokan yang ada. Misalnya, kasus ijazah mahasiswa yang sudah lulus, tapi tidak kunjung diterbitkan. Ini persoalan yang perlu mendapat sorotan secara terang benderang.
Yang bikin tambah geleng-geleng kepal;a, aspirasi mahasiswa soal ini malah dibungkam. Ada semacam tembok tak kasatmata yang memisahkan mahasiswa kritis dan pihak kampus. Melihat kenyataan tersebut, apakah masih pantas UNY diromantisasi sebagai kampus kerakyatan? Rasa-rasanya kok tidak ya.
PTNBH, janji mandiri yang malah membebani mahasiswa
Buat yang belum tahu, status PTNBH itu berarti kampus punya otonomi lebih dalam mengatur diri, termasuk soal keuangan. Teorinya, ini bikin kampus lebih mandiri, nggak melulu bergantung pada anggaran negara. Praktiknya? Di banyak kampus PTNBH, termasuk UNY, status ini sering jadi pintu masuk kenaikan UKT (Uang Kuliah Tunggal) dan komersialisasi fasilitas kampus.
Di satu sisi, PTNBH memang membuka peluang pengembangan kampus. Tapi di sisi lain, mahasiswa yang ekonominya pas-pasan bisa kelabakan. Ini ironis, mengingat UNY pernah di-branding sebagai kampus merakyat. Apa gunanya merakyat kalau rakyatnya malah megap-megap bayar kuliah?
Terimalah kenyataan bahwa UNY yang dahulu bukanlah yang sekarang
Saya nggak bilang kita harus membenci Universitas Negeri Yogyakarta. Sama sekali nggak. Kritik itu justru lahir dari rasa peduli. Kalau kita cinta sama kampus, kita harus berani mengakui bahwa ia punya sisi gelap.
Universitas Negeri Yogyakarta bukan lagi kampus yang cuma diisi anak-anak yang gagal masuk UGM. Ia sudah berkembang, punya nama, punya prestasi internasional. Tapi, bersamaan dengan itu, UNY juga membawa beban berat masalah tata kelola, transparansi, dan kebijakan. Masalah yang sering bikin mahasiswanya geleng-geleng. Kita harus segera menghentikan romantisasi UNY sebagai kampus merakyat agar melihat kenyataan secara lebih terang benderang.
Penulis : Janu Wisnanto
Editor : Kenia Intan
BACA JUGA 13 Tabiat Mahasiswa KKN yang Dibenci Warga Desa, Jangan Dilakukan atau Kalian Jadi Musuh Bersama.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















