Demi efektivitas biaya atau apalah itu namanya, banyak perusahaan kini mengatasnamakan pengalaman sebagai nilai tukar sah atas kerja keras yang ditumpahkan mahasiswa pemagang. Meski sudah saling sepakat, saya rasa hal itu kurang adil bagi pemagang. Tapi, banyak yang tidak sadar, bahwa perusahaan sebenarnya rugi jika mereka menganut unpaid internship ini.
Fenomena unpaid internship dapat dijelaskan dengan teori ekonomi permintaan-penawaran sederhana. Penawaran tenaga kerja dari mahasiswa melampaui jumlah permintaan dari perusahaan penyedia program magang. Hal tersebut berujung pada tenaga kerja tanpa kontrak yang mau dibayar berapa pun demi menambah titel di LinkedIn serta menyelesaikan tugas praktik kerja lapangan. Perusahaan menyadari hal tersebut, kemudian memanfaatkan momentum ini untuk mempekerjakan mahasiswa dengan cuma-cuma.
Sudah banyak diskursus yang membahas bagaimana unpaid internship merugikan mahasiswa dan merupakan bentuk ketidakadilan yang harus dihentikan. Sayangnya, argumen tersebut belum kunjung sukses membuat perusahaan dan lembaga besar memberhentikan program unpaid internship. Maka, anggaplah dua argumen berikut sebagai bentuk usaha dalam meyakinkan perusahaan bahwa unpaid internship merugikan tidak hanya mahasiswa, tapi juga perusahaan.
Produktivitas meningkat dengan naiknya upah
Unpaid internship memberikan kesan non-kompetitif serta tanggung jawab yang ringan bagi pendaftarnya. Mahasiswa biasanya sadar bahwa mereka akan melakukan pekerjaan ecek-ecek tanpa tekanan berat. Mereka tahu betul bahwa mereka bekerja tanpa upah, sehingga harapan yang muncul adalah tugas yang tidak mungkin memberatkan. Apabila mereka merasa diberatkan, tidak ada yang menghentikan para pemagang untuk berhenti begitu saja. Mereka tidak akan merasa kehilangan pekerjaan.
Ya meski nyatanya meski diberi kerja berat pun mereka tak kabur, tapi tetap saja hasilnya kurang dari yang diharapkan.
Berbeda dengan mahasiswa dengan paid internship, pemagang tersebut berkemungkinan lebih besar untuk berkomitmen karena ia akan merasa terancam kehilangan upahnya. Jika hasil kerjanya tidak memuaskan, perusahaan dapat menegur pemagang dan mengharapkan perubahan. Itu semua berkat beban tanggungjawab yang meningkat dengan adanya upah bagi pemagang. Sehingga para pemagang akan cenderung lebih produktif dengan adanya bayaran yang sesuai.
Keterkaitan antara upah dengan performa karyawan juga dianalisis Harvard Business Review yang mengulas peningkatan upah minimum oleh Amazon. Pada 2018, Amazon meningkatkan upah minimum yang awalnya $7.5 menjadi $15 dan terus meningkat hingga kini pada angka $19. Kenaikan tersebut kemudian dianalisis oleh Harvard Business Review dengan mengaitkan risetnya terhadap firma di Amerika Serikat.
Lembaga tersebut memperkirakan beberapa keuntungan yang dipertimbangkan Amazon untuk meningkatkan upah minimumnya. Yaitu pertama, upah lebih tinggi memungkinkan Amazon untuk menarik dan mempertahankan karyawan yang lebih baik. Kedua, mengupah karyawan dengan gaji yang lebih tinggi dari harga pasar dapat memberi motivasi terhadap karyawan untuk menetap di perusahaan tersebut.
Ditambah dengan intuisi dasar untuk mengejar pekerjaan dengan gaji tinggi, hal tersebut menghasilkan ketertarikan yang lebih tinggi terhadap lowongan di Amazon dari para calon pekerja. Dengan peminat yang lebih banyak, kini Amazon dapat memilih tenaga kerja yang paling berkualitas dari lapangan luas tersebut.
Intuisi mengejar upah lebih tinggi tersebut juga bisa ditemukan pada calon-calon pemagang. Sehingga, perusahaan yang memberlakukan paid internship kemungkinannya akan mendapatkan pilihan calon-calon pemagang yang jauh lebih baik. Tak hanya itu, komitmen pemagang dalam menyelesaikan program tersebut juga akan jauh lebih tinggi. Khawatir kehilangan upah atau uang saku magang akan menjadi salah satu faktor yang kuat untuk mempertahankan posisi tersebut. Pada akhirnya, pemagang memiliki motivasi yang tinggi untuk memperlihatkan etos kerja yang maksimal diri mereka.
Mengancam pandangan publik terhadap perusahaan
Tak hanya itu, unpaid internship menempatkan branding perusahaan dalam posisi yang rentan. Hal ini sangat mungkin terjadi dengan mudahnya akses terhadap media sosial, sehingga informasi menjadi jauh lebih cepat tersebar dan pandangan publik bisa dengan mudah diubah.
Hal ini harus dilalui oleh lembaga internasional, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pada 2015 lalu. Seorang pemagang PBB terlihat bermalam di tenda di pinggir Danau Geneva. Menyorot perhatian publik, David Hyde mengatakan bahwa dirinya merupakan unpaid intern PBB yang tidak dapat menyewa tempat tinggal. Atensi media massa tertuju pada PBB, menanyakan bagaimana hal semacam ini bisa terjadi pada salah satu lembaga yang paling dihormati di seluruh dunia?
Tidak lama setelah berita tersebut menjadi perbincangan hangat di Geneva dan New Zealand, David mengakui bahwa dirinya sengaja bermalam di tenda dan membeberkannya pada media massa sebagai publicity stunt. Ia berniat mengangkat kesadaran publik terhadap unpaid internship oleh lembaga yang ironisnya memperjuangkan hak asasi manusia. Hal tersebut menempatkan PBB pada posisi yang memalukan. Hal ini tidak akan terjadi seandainya PBB dapat memberikan hak yang layak terhadap David.
Hal serupa juga dialami oleh salah satu startup edukasi Campuspedia pada 2021 lalu. Sebuah utas di Twitter memperlihatkan kesaksian dari pihak anonim yang mengaku mantan pemagang dari Campuspedia. Sesuai tangkapan layar yang diunggah, mantan pemagang menceritakan adanya penalti dan kontrak yang tidak masuk akal dari Campuspedia. Utasan tersebut menarik banyak teguran pengguna Twitter sehingga pihak Campuspedia harus mengeluarkan pernyataan permintaan maaf dan pengembalian uang penalti pada mereka yang membayarnya. Setelah insiden tersebut, akun Twitter Campuspedia tidak lagi aktif.
Program Kemendikbud Kampus Merdeka juga sempat menjadi sasaran para pemagang. Serupa dengan kisah David Hyde yang menjadi unpaid intern di PBB, banyak peserta magang kampus merdeka mengaku terpaksa mengutang pinjaman online agar bisa menetap di daerah lokasi magang. Ditambah dengan lamanya keterlambatan pencairan uang saku sebagian peserta, banyak dari mereka kesulitan membayar utang tersebut.
Semua protes terhadap sistem Kampus Merdeka tersebut tertampung pada petisi yang dimulai pada Oktober 2021 dan kini telah ditandatangani oleh lebih dari 11.000 orang menuntut pencairan uang saku secepatnya. Hal ini benar-benar menunjukkan bagaimana sistem permagangan di Indonesia harus segera ditata ulang bahkan dari pihak pemerintahan sekalipun.
Maka demi kebaikan perusahaan dan tenaga magang, unpaid internship harus diberhentikan. Bahkan bukan hanya unpaid internship, tapi pemenuhan hak-hak pemagang juga harus diperhatikan. Mengupah pemagang dengan “pengalaman” tidak seharusnya dipertahankan. Sehingga harus ada upah minimum bagi para pemagang agar perusahaan dapat memaksimalkan potensi tenaga magang sekaligus dan mencegah tindak eksploitasi.
Penulis: Mazaya Sofi Rahmani
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Jadi Anak Magang dan Nggak Dibayar Itu Nggak Buruk-Buruk Amat